Perspektif Cadar dalam Islam: dari Landasan Ideologis menuju Aksesoris
Pembahasan mengenai fikih dari zaman ke zaman selalu menemui diskusi panjang di kalangan para mufassir dan ulama untuk memberikan sebuah fatwa sebagai petunjuk guna memudahkan arah hidup kaum muslimin, baik itu dalam hal syariah dan muamalah. Dalam buku yang ditulis oleh Samira al-Khalili yang berjudul ‘The Heart of the Quran: An Introduction to the Qur'an and Its Teachings’ menjelaskan bahwa turunnya kitab suci Al-Quran tidak hanya sekedar hadir mendampingi Rasulullah untuk mensyiarkan agama Islam saja, namun Al-Quran juga hadir sebagai petunjuk dan pedoman bagi kaum muslimin.
Jika melihat budaya dan tradisi di Indonesia, nilai-nilai Islam telah semakin berkembang dan diadopsi dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin. Hal ini tentunya juga bisa dilihat dengan adanya tren pemakaian produk-produk halal dan gaya hidup syar’i (sesuai ajaran Islam) oleh kalangan muslim, terutama kaum muslimin yang memiliki akses lebih di dalam menjalankan syariat.
Khususnya pada kehidupan para muslimah, telah jelas dijelaskan di dalam Al-Quran dan Sunnah bahwa muslimah merupakan mahkluk ciptaan Allah ta’ala yang sangat mulia dan memiliki keistimewaannya tersendiri dalam pergumulannya. Maka dari itu, saya -secara pribadi- sangat kontradiktif dengan pemikiran para pendukung feminisme yang menginginkan keseteraan dalam hal implementasi maupun ideologi. Hal inilah yang memicu polemik di kalangan muslimah saat ini dimana mereka telah mulai terpengaruh dengan ideologi-ideologi feminsime.
Contoh sederhananya, jika kita ambil saja satu persoalan mengenai pergaulan muslimah, dimana dalam firman-Nya Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan yang artinya, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Q. S Al-Ahzab ayat 33). Dalam tafsir as-Sa’di dijelaskan mengenai ayat di atas bahwa janganlah kalian -wahai Muslimah- banyak keluar dari ‘rumah’ dan janganlah berhias secara berlebihan sebagaimana kebiasaan kaum wanita jahiliyah pada zaman dahulu yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan dan agama.
Kontradiksi akan Ideologi
Jika melihat makna ayat di atas, dijelaskan secara eksplisit bahwasanya seharusnya seorang Muslimah itu diperintahkan baginya untuk menjaga marwah harga dirinya (dignity) agar terhindar dari fitnah. Namun jika melihat pada realitanya sekarang ini, saya pribadi cukup terkejut ternyata -masih- banyak sekali para Muslimah yang pada sisi luarnya sudah melaksanakan syariat dengan berpakaian syar’i dengan menggunakan ‘cadar’ tetapi di saat yang sama mereka inkonsisten terhadap apa yang dikerjakannya. Banyak dari mereka -muslimah- yang sudah terlihat -secara luar- berpakaian syar’i bahkan telah bercadar, tetapi juga -dari mereka para Muslimah- masih bermain media sosial dengan memajang foto-foto mereka memamerkan lekuk tubuh mereka.
Jika kita harus berlaku ‘fair’, maka mari bersama-sama melihat kembali esensi daripada sebuah pakaian yang sudah ‘disyariatkan’ oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Tujuan daripada sebuah pakaian dalam perspektif Islam -khususnya pada kum Muslimah- adalah untuk menutup aurat, juga sebagai pelindung tubuh dan bertujuan untuk melindungi mereka dari fitnah laki-laki yang bukan mahram.
Padahal, jelas dikatakan di dalam al-Quran dan sunnah bahwa aurat adalah bagian tubuh yang harus ditutup dan dijaga agar tidak menimbulkan fitnah dan rasa malu. Terlebih lagi bagi para perempuan yang dimana aurat bagi mereka adalah seluruh anggota tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi kontradiksi antara ideologi yang telah diajarkan oleh agama Islam melalui ayat-ayat Allah ta’ala, namun masih ada ummat manusia yang ‘cacat’ dalam melakukan implementasinya.
Saya sangat menyayangkan ketika ‘secara tidak sadar’ melihat beberapa momen yang sudah banyak sekali beredar di media-media sosial, baik itu di Instagram, facebook dan lain-lain dimana masih banyak sekali muslimah yang telah bercadar namun tidak menunjukkan esensi daripada pemakaian tersebut. Terlihat beberapa dari mereka memerkan cara berpakaian dengan berjoget, kemudian banyak dari mereka juga yang menggunakan cadar sebagai pergumulan fashion show wanita yang ditonton oleh banyak orang.
Inilah sebenarnya kritik saya terhadap mereka -yang mengaku Muslimah-, yang sejatinya telah berpakain syar’i terutama yang sudah bercadar, tapi masih inkonsisten dalam penerapannya karena masih belum memahami esensi dari penggunaan pakaian tersebut. Kemudian, saya sedikit bertanya kepada diri pribadi, apakah cadar yang ada dipakai perempuan ini telah diterapkan benar-benar sebagai syariat atau hanya sebuah aksesoris untuk mencari perhatian semata?.
Karena dari pandangan saya pribadi, ketika saya melihat seseorang muslimah apalagi mereka yang telah bercadar itu dianggap memilliki ilmu pengetahuan agama yang lebih dan saya anggap mereka sebagai perempuan yang bijaksana karena tidak ingin tubuhnya dilihat oleh orang-orang yang bukan mahram. Namun sangat sayang sekali jika melihat perempuan yang bercadar justru tidak mencerminkan sebagaimana pakainnya yang tertutup.
Dari Kacamata Ideologis Menuju Aksesoris
Dari beberapa dinamika dan problematika yang terjadi, memang dibutuhkannya pemahaman-pemahaman mengenai syariat -Islam- dan doktrin teologis sebagai penguat akidah kaum muslimin. Jangan sampai hal-hal yang seharusnya telah ditekankan di dalam syariat dirubah menjadi sesuatu yang pragmatis hanya demi mendapat keuntungan pribadi. Tentu hal ini masih dalam kacamata pribadi yang saya lihat selama ini berkeliaran di mana-mana.
Oleh karena itu, saya menyarankan untuk hal-hal yang sifatnya ideologis itu dijaga dengan komitmen yang kuat dan terapkan itu sesuai dengan aturan-aturan yang telah diberlakukan. Sungguh tidak pantas jika sebuah aturan telah dibuat lalu dirubah begitu saja. Jangan jadikan hal-hal yang anda yakini sebagai sesuatu yang bersifat ideologis menjadi praksis aksesoris. Jika memang itu yang sedang dikerjakan, maka lebih baik tidak perlu membawa-bawa syariat ke dalam sesuatu yang sifatnya aksesoris. Karena itu akan mencederai sebuah syariat dan turunannya.
Jika kita memang ingin menjaga syariat Islam tetap utuh di Indonesia ini khsusunya, maka mari kita menjaga sampai ke dalam akar pemahaman kita semua dan juga melaksanakannya dengan konsisten. Jangan sampai diri kita -seluruh kaum muslimin- terbawa arus globalisasi yang kemudian tiba-tiba ingin menjadi trending topic sehingga rela menjual harga dirinya dengan membawa-bawa syariat Islam. Justru inilah yang menjadi prihatin ketika kita sudah menjalankan syariat Islam, namun kemudian juga dari kita masih banyak melakukan tindakan yang kurang pantas.
Artikel Lainnya
-
208924/01/2023
-
392130/03/2020
-
149403/12/2020
-
Optimalisasi Renewable Energy Indonesia Di Kancah Dunia
133715/11/2020 -
Memaknai Perdamaian dari Pemikiran Johan Galtung
70822/10/2023 -
Media Sosial: Sumber Bahagia atau Sumber Petaka?
82028/12/2021