Peroblem Ketidaksadaran Kolektif: Antara Ekonomi dan Budaya Lokal

Mahasantri Mahad Aly Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo
Peroblem Ketidaksadaran Kolektif: Antara Ekonomi dan Budaya Lokal 08/08/2021 1212 view Budaya hinyong.com

Mencari nafkah untuk keluarga adalah salah satu hal penting dalam kehidupan. Terkadang cara yang dipilih seseorang untuk mendapatkan penghasilan tidak sedikit memberikan dampak negatif terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain (memilih yang berisiko demi sebuah kepentingan). Misalnya, memilih untuk mencuri demi menafkahi keluarga.

Salah satu cara mendapatkan penghasilan (uang) yang dipandang memiliki dampak negatif adalah memilih pergi jauh dari kampung halaman untuk berjualan di kota metropolitan. Fenomena ini marak terjadi di Kabupaten Sumenep, yang belakangan sering diistilahkan “toko kelontong”.

Beberapa pemerhati sosial di Sumenep (A. Dardiri Zubairi, Raedu Basha, dll) memandang fenomena toko kelontong memberikan dampak negatif kepada sosial (secara umum). Dampak negatif yang mudah dinilai adalah ketidakikutsertaan mereka (yang mencari nafkah ke kota metropolitan) dalam pilkades (semisal). Seperti yang terjadi di beberapa desa kepulauan Talango, tercatat banyak warga tidak ikut pesta demokrasi tingkat desa. Bahkan ada beberapa desa, lebih dari separuh warganya tidak ikut nyoblos kepala desa karena sedang menjaga toko di kota metropolitan.

Tidak ikut serta pilkades dinilai negatif karena mencerminkan seseorang yang tidak bertanggung jawab atas desanya. Memilih kepala desa adalah bentuk kepedulian seseorang terhadap masa depan desanya. Maka, mereka yang pergi dan tidak kembali untuk bersuara dalam pilkades mengartikan kepergian mereka sebagai ketidakpedulian terhadap kampung halaman.

Dari sisi sosial-budaya, fenomena toko kelontong juga berpeluang memberi dampak negatif melalui tinjauan psikoanalisis Carl Gustav Jung. Secara teori, pembahasan ini akan berkisar pada pemikiran Carl Gustav Jung tentang “ketidaksadaran kolektif”.

Menurut Carl Gustav Jung, kepribadian manusia juga diisi oleh sebuah ketidaksadaran. Yang akan menjadi basis tulisan ini adalah ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) dalam pemikiran Carl Gustav Jung (bukan ketidaksadaran personal/individu).

Secara sederhana, ketidaksadaran kolektif berisi ingatan laten yang diwariskan dari masa lalu yang menumpuk sebab pengalaman berulang dari generasi ke generasi. Ketidaksadaran kolektif ini, terkait dengan struktur otak manusia pada suatu komunitas sosial tertentu seperti ras, suku, bangsa, dan seterusnya.

Semisal seseorang memiliki suatu kecenderungan yang merupakan warisan dari orang tuanya, atau merupakan kecenderungan yang dari generasi ke generasi melekat pada komunitas sosial orang tersebut (ras/suku/bangsa). Inilah yang dimaksud ketidaksadaran kolektif pada kepribadian manusia.

Betapapun kompleks persoalan toko kelontong, seseorang yang meninggalkan kampung halaman akan memberi dampak “meninggalkan” tradisi dan atau budaya kampung halamannya. Tradisi dan budaya ditinggalkan demi uang, beginilah kiranya asumsi yang terbangun dari fenomena toko kelontong.

Dapat dibayangkan bagaimana kondisi tradisi atau budaya saat ditinggal oleh seperempat atau setengah masyarakatnya atau bahkan lebih. Bagaimana kondisi sosial yang ditinggalkan oleh “pemiliknya”? Siapa yang akan menjalankan dan menjaga budaya atau tradisi tersebut?

Pola kehidupan pada fenomena toko kelontong akan mempengaruhi generasi berikutnya di saat perilaku mereka disaksikan oleh anak dan cucu mereka. Sesuai dengan teori Carl Gustav Jung bahwa kecenderungan suatu generasi akan mempengaruhi karakter generasi berikutnya.

Yang terpenting adalah ekonomi (hidup serba berkecukupan) ketimbang merawat tradisi dan budaya akan tetapi hidup susah. Hidup mewah harus lebih prioritas daripada menjaga tradisi dan budaya. Inilah kiranya sebagai watak masyarakat yang meninggalkan kampung halaman demi ekonomi. Yang artinya watak ini akan diwariskan pada generasi mereka berikutnya.

Mereka yang sekarang meninggalkan kampung halaman demi ekonomi akan mewariskan karakter yang cenderung memprioritaskan ekonomi dari hal apapun, termasuk dari ‘menjaga budaya’. Jika karakter ini sudah berhasil diwariskan, maka hanya menunggu waktu dari generasi ke generasi untuk memastikan kepunahan budaya lokal.

Fenomena toko kelontong terasa menguatkan asumsi beberapa filsuf “Bahwa pusat semua permasalahan manusia adalah ekonomi”. Semisal masalah pendidikan bangsa ini tidak bisa dilepaskan dari permasalahan ekonomi negara yang tak kunjung sejahtera. Pada tulisan ini bisa dibaca bahwa ancaman pudar hingga punahnya budaya lokal adalah sebab permasalahan ekonomi di desa-desa.

Penulis saat ini tidak bermaksud menyalahkan mereka yang mencari nafkah meninggalkan kampung halaman karena mereka menelantarkan budaya mereka. Karena perlu juga diperhatikan bahwa fenomena toko kelontong merupakan dampak dari ketidakseriusan pemerintah memberdayakan ekonomi masyarakat. Maka tidak cukup peringatan dari pemerhati sosial akan dampak negatif fenomena toko kelontong terhadap potensi kepunahan budaya lokal, perlu juga keseriusan pemerintah memberdayakan ekonomi guna memberi solusi terhadap fenomena toko kelontong berikut dampak negatifnya.

Dampak negatif yaitu berupa kepunahan budaya lokal secara berangsur-angsur pada fenomena toko kelontong seperti yang telah disampaikan di atas sebenarnya bisa ditanggulangi dengan pendidikan budaya terhadap para pemuda. Sehingga, meskipun orang tua mereka (para pemuda) memprioritaskan ekonomi daripada menjaga tradisi dan budaya, mereka tetap memiliki kepedulian budaya melalui pendidikan yang mereka terima. Dengan seperti ini, tantangan ketidaksadaran kolektif menurut teori Carl Gustav Jung pada fenomena toko kelontong mendapatkan antitesis dari bidang pendidikan. Dan untuk solusi bagi fenomena toko kelontong agar masyarakat tidak meninggalkan kampung halamannya demi mendapat penghasilan, penulis kira butuh keseriusan pemerintah untuk memperbaiki dan atau memberdayakan ekonomi masyarakat di daerah masing-masing.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya