Pernikahan Dini dan Dampaknya bagi Anak dan Orang Tua

Pelajar SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II
Pernikahan Dini dan Dampaknya bagi Anak dan Orang Tua 05/02/2023 254 view Pendidikan its.ac.id

Dewasa ini pernikahan dini menjadi hal yang kerap diperbincangkan di Indonesia. Berita-berita mengenai pernikahan dini beberapa waktu belakangan ini memenuhi jagad maya. Menjadi trending topik dalam waktu yang cukup lama membuat masyarakat menyuarakan hal tersebut.

Menurut United Nations Chilldren’s Fund (UNICEF), pernikahan dini adalah pernikahan yang terjadi ketika berusia di bawah 18 tahun. Pernikahan dini dapat diartikan sebagai pernikahan yang belum memenuhi standar untuk masuk dalam kehidupan berumah tangga. Di Indonesia sendiri pernikahan dini marak terjadi. Komnas Perempuan mendata, pada tahun 2021, tercatat 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan. Meskipun cenderung menurun dibanding tahun 2020, yakni 64.211 kasus, namun angka tersebut masih sangat tinggi dibandingkan tahun 2019 yang berjumlah 23.126 pernikahan anak.

Hal ini bukan saja di daerah pedesaan melainkan juga di perkotaan. Dalam hal ini, diskursus tentang tekanan/pengaruh struktural atau sistem sosial bukan hanya berasal dari tradisi atau adat-istiadat lokal, melainkan juga kultur urban yang kompleks. Di daerah pedesaan, pernikahan dini masih terjadi karena kuatnya faktor budaya yang diwariskan secara turun temurun. Namun jagad maya bukan dihebohkan karena hal itu melainkan karena pernikahan dini yang terjadi karena keinginan sendiri.

Jagad maya digegerkan dengan berita 5.523 pasangan telah melangsungkan pernikahan dini terhitung dari Desember 2022. Ribuan anak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Kepala DP3AKB Jawa Barat merinci permohonan menikah dini hingga mencapai 5.777 permohonan. Dari 5.777 permohonan ada 5.523 permohonan yang diterima. Menurut data yang disampaikan ajuan pernikahan dini diterima karena mempelai wanita telah hamil duluan.

Secara nasional, pernikahan dini dalam jumlah yang besar dan terjadi secara sporadis berpengaruh pada potensi penurunan angka kesejahteraan penduduk. Pernikahan dini memberi sumbangsih pada peningkatan beban rumah tangga nasional. Anak-anak di bawah umur mau tidak mau mesti menghadapi kehidupan keluarga dengan segala kompleksitasnya. Mereka secara usia belum masuk ke dalam golongan angkatan kerja, namun sudah diberi beban rumah tangga. Kalaupun mereka setelah menikah akan tetap tinggal bersama keluara atau orang tua, maka beban rumah tangga, beban mental, serta beban yang lainnya pada orang tua mereka juga tentunya bertambah.

Ada setidaknya dua aspek yang disoroti penulis dalam fenomena ini. Yang pertama adalah aspek pendidikan. Pernikahan dini secara langsung berpengaruh pada penurunan angka pelajar, karena cukup sulit bagi anak di bawah umur untuk melanjutkan pendidikannya setelah menikah. Hal ini terjadi karena banyaknya beban rumah tangga, beban mental, serta kompleksitas struktur pendidikan yang ditanggung. Dengan kata lain, pernikahan dini menambah jumlah kaum tidak terdidik (baca; pendidikan formal). Kualitas pendidikan secara nasional merupakan indikator kesejahteraan suatu negara. Semakin rendah angka pendidikan dalam suatu negara, maka semakin menurun angka kesejahteraan negara tersebut. Pernikahan dini bisa menurunkan kualitas sumber daya manusia nasional karena terputusnya kesempatan untuk bersekolah. Yang kadang menjadi dilema adalah pernikahan dini kebanyakan terjadi akibat putus sekolah.

Di Indonesia pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk menangani hal ini termasuk wajib bersekolah minimal 9 tahun sebagaimana telah ditegaskan dalam UU No. 47 tahun 2008 tentang wajib belajar. Meskipun demikian, masih saja ada pelajar yang putus sekolah akibat keterbatasan ekonomi. Pemerintah dengan bangga membiayai sekolah anak, namun tidak disokong oleh pembiayaan hidup rumah tangga. Alhasil banyak anak-anak di bawah umur yang putus sekolah dan bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Wajib belajar yang dicanangkan pemerintah sejak bertahun-tahun lalu dibiarkan pincang dengan tanpa adanya solusi komprehensif terkait keseluruhan hidup pelajar. Untuk bisa melaksanakan wajib belajar 9 tahun, pelajar butuh makanan bergizi di rumah, akses kesehatan memadai, akses transportasi memadai, dan masih banyak hal penting dalam lingkup rumah tangga yang mesti dibenahi terlebih dahulu.

Aspek yang kedua adalah masyarakat atau lingkungan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan dini yang marak terjadi juga terjadi akibat pengaruh sosial. Satu pasangan ingin menikah, yang lain juga mengikuti. Anak-anak di bawah umur kita memang secara umum pandai untuk menciptakan tren, entah yang positif atau negatif, serta pandai juga untuk mengadopsinya menjadi hal lumrah. Hal ini semakin buruk dengan adanya pembiaran massal oleh masyarakat. Celetukan-celetukan seperti,”sudah biasa, itu lumrah”, menjadi bukti bagaimana sistem sosial kita sudah tidak peduli dengan potensi bencana masa depan bangsa ini.

Dalam konteks ini, keluarga atau orang tua memiliki peran yang sangat krusial. Pendidikan pada level rumah tangga menjadi pendidikan yang paling menetukan bagaimana anak bertumbuh, bagaimana anak menyikapi tren, bagaimana anak melihat pendidikan, bagaimana anak melihat dunia. Pola pendidikan anak atau dalam terminologi modern disebut sebagai pola parenting akan membentuk sifat dan karakter anak, bahkan sejak dalam kandungan. Hal-hal sederhana seperti pembatasan pergaulan, mengajak anak mengobrol atau berkomunikasi, serta penanaman nilai melalui praksisi hidup sehari-hari menjadi sangat penting bagi pertumbuhan anak dan cara anak mengambil keputusan hidup.

Aspek yang berikutnya adalah teknologi. Kemajuan teknologi yang makin pesat merupakan salah satu faktor utama terjadinya pernikahan dini. Kemudahan mengakses informasi bukan hanya memberikan dampak positif tetapi juga banyak memberikan dampak negatif. Kemajuan teknologi bisa berdampak negatif, jika salah digunakan. Dengan teknologi yang semakin maju anak-anak dapat mengakses apapun termasuk konten-konten porno.

Di samping itu, tren menikah di usia dini juga disebarluaskan oleh adanya teknologi, khususnya media sosial. Dengan bekal pendidikan formal, pendidikan sosial, serta pendidikan rumah tangga yang kurang, pemanfaatan yang salah bukan tidak mungkin efeknya ialah seks pranikah.

Sampai pada titik ini, masalah pernikahan usia dini adalah masalah pendidikan, masalah ekonomi, masalah sosial, dan juga masalah pemerintah. Dimensi-dimensi ini harus dielaborasikan sehingga pemecahan masalah pernikahan usia dini benar-benar bisa diatasi. Menurut penulis, pemblokiran situs porno tidak perlu dilakukan jika pendidikan keluarga, pendidikan formal, dan pendidikan sosial sudah benar dilakukan. Pernikahan dini pada dasarnya hanya sebuah gejala dari timpangnya pendidikan yang ada di Indonesia.

Oleh karena itu sudah waktunya semua pihak ikut andil dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera dengan menekan angka pernikahan dini. Solusi sebagus apapun tidak akan berhasil, jika hanya dilakukan pada satu bidang saja (misalnya hanya pada bidang pendidikan formal), karena pernikahan dini bukan hanya masalah satu aspek/dimensi saja, melainkan masalah multi aspek. Dengan demikian solusinya juga benar-benar merupakan rumusan dari semua aspek yang ada, sehingga masalah bisa terselesaikan sampai ke akar-akarnya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya