Peran Guru di Era “Tipu-Tipu”

Perkembangan teknologi dan budaya media yang semakin modern menjadi tanda besar perubahan zaman. Perubahan ini tampak dalam evolusi pola hidup manusia dari situasi primitif menuju suatu kehidupan yang canggih dan modern. Dalam kehidupan yang serba canggih dan modern ini manusia dimanjakan dengan berbagai sarana komunikasi dan internet yang sekali klik, segala macam informasi dapat diperoleh.
Suatu hal yang tidak dapat dimungkiri dari perubahan tersebut adalah teknologi informasi, komunikasi dan internet yang membawa dampak ganda. Di satu sisi, teknologi tersebut mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi, memperlancar komunikasi dan menemukan banyak hal baru. Di sisi lain, teknologi tersebut justru menjadi belati yang dapat menghancurkan kehidupan politik dan sosial masyarakat.
Macam-macam kasus tersebut secara langsung mengantar kita pada era baru yang disebut post-truth atau era pasca-kebenaran. Pada tahun 2016, Oxford Dictionary menetapkan kata pasca-kebenaran sebagai word of the year. Konsep pasca-kebenaran sebagaimana diuraikan dalam oxforddictionaries.com (diakses 2022) sudah ada sejak beberapa tahun terakhir, tetapi kata ini mencuat ke permukaan dan sering didiskusikan pada tahun 2016 dalam referendum Uni Eropa di Inggris dan pemilihan presiden di Amerika Serikat.
Kosa kata ini sepintas identik dengan frase politik. Namun, sebelum kata ini digunakan dalam pembahasan politik, Ralph Keyes (2004; 10) dalam tulisannya berjudul The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception In Contemporary Life telah mengelaborasikan kata ini dengan baik. Menurutnya, era pasca-kebenaran merupakan masa yang penuh dengan kebohongan, penipuan, dan kecurangan yang sering terjadi dalam masyarakat kontemporer namun sudah dianggap biasa oleh masyarakat.
Penyakit pasca-kebenaran ini juga menyebar dalam dunia pendidikan. Penyebaran tersebut melalui media informasi, komunikasi dan internet. Akibatnya, media yang seharusnya menjadi sarana pendidikan dan informasi, justru menjadi momok yang menakutkan dan mengancam, karena banyak modus kekerasan terjadi di dalamnya.
Kekerasan dalam media dikategorikan dalam bentuk kekerasan simbolik. Kekerasan tersebut hadir dengan modus-modus tertentu. Salah satu bentuk kekerasan simbolik yang marak terjadi dalam dunia pendidikan ialah hoaks atau berita palsu. Biasanya, hoaks bersifat provokatif atau mengadudombakan pihak-pihak tertentu dengan tujuan memecah belah persatuan. Sesuai dengan sifat dasar hoaks, yakni memutarbalikan fakta dan mengkonstruksikan pola pikir masyarakat dengan informasi palsu, hoaks juga mengkonstruksikan pola pikir peserta didik sesuai dengan informasi palsu tersebut. Berdasarkan data yang dipulikasikan dalam laman resmi, kominfo.go.id, sekitar 800.000 situs terindikasi sebagai penyebar berita palsu. Hal tersebut tentu menjadi ancaman bagi peserta didik. Kasus-kasus seperti tawuran, perundungan, dan penganiayaan justru disebabkan oleh berita-berita palsu yang berseliweran melalui media-media tertentu.
Lantas, upaya apa yang dapat dilakukan dalam dunia pendidikan? salah satu upaya yang ditawarkan penulis ialah memperketat peran guru dalam mengedukasi peserta didik. Guru merupakan ikon dalam lingkungan sekolah. Dengan kata lain, guru menjadi suri teladan yang digugu dan ditiru. Demikian juga, guru menjadi teladan dalam mengedukasi dan menangkal berita-berita palsu. Edukasi tersebut dilakukan dengan cara menerapkan literasi hoaks bagi warga sekolah, khususnya peserta didik.
Penerapan literasi hoaks mesti melibatkan semua guru dalam lingkungan sekolah. Penerapan tersebut harus dimulai dengan konsep yang sederhana dan mendasar, seperti pengertian hoaks, cara mengetahui berita hoaks, penyebaran hoaks dan hukumannya, ajakan melakukan hoaks, dan cara mencegah berita hoaks. Hal tersebut mengandaikan bahwa guru-guru sudah memiliki pengetahuan mendasar tentang pendidikan literasi media, sehingga terdapat kesamaan perspektif mengenai literasi hoaks.
Selain pengetahuan tentang hoaks, terdapat juga hal praktis yang mesti dicontohkan para guru sekaligus menjadi kebiasaan peserta didik, yakni tidak cepat memercayai setiap berita yang tersebar, mencari informasi yang benar dan sesuai dengan sumber terpercaya, serius dan kritis memberikan perhatian terhadap informasi yang beredar, dan melaporkan kepada pihak berwajib bila informasi tersebut mengancam kehidupan dan keberadaan seseorang.
Selanjutnya, mesti diadakan re-observasi atau pemantauan kembali terhadap penyebaran berita palsu dalam lingkungan sekolah dengan metode-metode penelitian. Hal ini bertujuan untuk menganalisis secara kualitatif atau kuantitatif warga sekolah yang terpapar berita palsu, agar secepat mungkin mencari solusi-solusi alternatif. Pemantauan ini mesti dilakukan secara konsisten dan berkala sesuai dengan tenggang waktu yang dibutuhkan.
Akhirnya, upaya untuk menangkal berita palsu atau hoaks bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini membutuhkan kerjasama semua pihak, khususnya para guru dan tenaga pendidik baik di sekolah menengah atau madrasah, agar literasi hoaks tersebut dapat membuahkan hasil yang maksimal.
Artikel Lainnya
-
68726/09/2024
-
140607/02/2021
-
147829/09/2021
-
Menakar Kualitas Pelayanan Publik Aparatur Sipil Negara
80424/03/2022 -
Melawan Pelecehan Seksual di Kabupaten Lembata
92724/10/2023 -
Strategi Efektif Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam Mempromosikan Isu Lingkungan
14406/10/2024