Penolakan dan Ekspansi Pembangunan Gheotermal Desa Wae Sano
Perspektif pembangunan masyarakat merupakan suatu hal yang vital dan sangat menentukan maju mundurnya suatu negara melalui kebijakan yang dirumuskan secara konsepsional berdasarkan pertimbangan aspek sosial lingkungan yang memenuhi kaidah-kaidah perencanaan pembangunan.
Melalui mekanisme politik yang bertanggung jawab seharusnya mampu menghasilkan pembangunan yang adil dan humanis sesuai pertimbangan aspirasi masyarakat dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan sesuai pranata pembangunan demi menghindari ketidakaturan atau kekacauan.
Namun implementasi pembangunan hari ini menimbulkan situasi dilematis dengan jargon pembangunan demi kepentingan banyak orang, akan tetapi di suatu sisi sebagian kecil masyarakat yang merasakan akibat atau dampak buruk dari pembangunan tersebut seperti kerusakan lingkungan sekitar dan sebagainya.
Pembangunan yang dibicarakan kali ini adalah proyek pembangunan geothermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggaong, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur memiliki danau vulkanik apabila ditinjau dari pemanfaatanya dapat menghasilkan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Untuk mendukung pembangunan proyek geothermal tersebut pemerintah telah meluncurkan program Flores geothermal dari tahun 2017. Dikutip dari laman kemenkeu.go.id potensi energi yang akan dihasilkan dari pembangunan geothermal tersebut sebesar 30 Megawatt (MW) dengan pembiayaan bersumber dari kementerian keuangan di bawah PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Upaya pemerintah melaksanakan pembangunan geothermal di Desa Wae Sano bukan tanpa sebab, selain bisa menghasilkan sumber energi listrik untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur, di mana impact pembangunan ini mampu menghasilkan energi baru dan terbarukan.
Apabila dilihat dari perspektif kebutuhannya, upaya pembangunan geothermal dapat menjadi moda pemerintah daerah untuk mengembangkan visi program sebagai provinsi pariwisata di mana ketersediaan energi (listrik) sebagai infrastruktur tambahan masih menjadi kendala saat ini.
Akan tetapi pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan tidak boleh menggunakan satu perspektif saja, sisi negatif seperti kerusakan lingkungan mungkin akan terjadi apabila tidak dikelola secara humanis, dengan dampak yang dihasilkan dari penggunaan energi panas bumi seperti limbah B3 yang bisa mengancam lingkungan sekitar dan habitatnya.
Selain dampak kerusakan lingkungan sekitar, terdapat kemungkinan yang akan ditimbulkan apabila pembangunan tersebut benar dilaksanakan, masyarakat akan kehilangan tanah mereka yang merupakan warisan leluhur dan selama ini telah menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar.
Ekspansi pembangunan geothermal di Desa Wae Sano pun kemudian memunculkan berbagai macam pertentangan dan penolakan dari masyarakat lokal, aktivis, mahasiswa, maupun pemerhati lingkungan yang ditimbulkan dari kekhawatiran mereka terhadap ancaman kelangsungan hidup masyarakat.
Mereka memiliki tanggapan dari masalah tersebut karena mengacu pada lingkungan hidup, karena bagi masyarakat lokal yang merasakan langsung apabila pembangunan proyek geothermal benar terlaksana, setidaknya paling sedikit merusak peradaban mereka.
Secara bersama tindakan penolakan dari masyarakat terjadi karena ketakutan dan apresiasi dari krisis lingkungan menyeluruh dengan skala yang luar biasa mungkin akan terjadi, sehingga tindakan penolakan masyarakat tersebut bisa diasumsikan sebagai collective will atas dasar kesadaran akan kepentingan bersama.
Gerakan Sosial dan Counter Hegemony Masyarakat Desa Wae Sano Melawan Ekspansi Pembangunan.
Dinamika pembangunan dalam dekade terakhir banyak melahirkan bentuk perlawanan masyarakat akibat konsep pembangunan yang mengabaikan eksistensi peradaban masyarakat lokal, kontras terlihat antara implementasi pembangunan rezim orde baru dan era reformasi dari sisi sosial kemasyarakatan.
Kebijakan pembangunan yang dihasilkan dari dinamika kekuasaan masa orde baru tidak terlihat sedikitpun adanya bentuk penolakan, perubahan sistem demokrasi dan kondisi sosial keasyarakatan yang semakin kritis atas ancaman keberadaan dan lingkungan mereka dari bahaya ekspansi pembangunan melahirkan gerakan sosial masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka kemudian secara sadar membentuk sebuah wadah gerakan untuk memperjuangkan hak mereka. Kesadaran kolektif (collective will) menjadi fondasi atau awal mula munculnya gerakan penolakan terhadap ekspansi pembangunan geothermal.
Pada tataran empiris, gerakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat Waesano merupakan sebuah aksi kolektif dengan orientasi konfliktul di mana terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintah bersama para korporat dalam sebuah relasi politis dengan masyarakat.
Lahirnya gerakan sosial pada masyarakat Wae Sano hari ini bukan tanpa sebab, munculnya aktivitas pemerintah dan korporasi yang berkeingnan untuk menguasai wilayah tersebut kemudian memunculkan tindakan dari masyarakat dalam melawan kekuaatan elit. Gramsci menyebutnya sebagai Counter Hegemony.
Konsep Gramsci ini dibangun atas dasar pengakuan perjuangan demokrasi rakyat melawan penguasa. Gagalnya peran negara dalam memenuhi atau memajukan hak dasar warganya merupakan faktor terkuat munculnya aktivitas civil society penolakan pembanguna geothermal di desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.
Cukup riskan apabila melihat implementasi pembangunan hari ini. Ideology pembangunan yang berwatak kesejahteraan berganti menjadi frase ketidakadilan yang berkeinginan menghilangkan peradaban masyarakat setempat, titik kehancuranya menggambarkan tidak ada keseimbangan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik.
Negara terkadang sangat mementingkan masyarakat politik dan cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat. sehingga untuk mengubah kondisi tersebut sangat mungkin dilakukan dengan memberdayakan masyarakat sipil dan menggerakan collective will masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan-nya.
Relasi Kuasa Dalam Ekspansi Pembangunan Geothermal
Dalam menggagas ekspansi pembangunan geothermal di desa Wae Sano, peran negara yang dinaungi oleh kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dan beberpa usaha milik negara berupaya melakukan legislasi secara sepihak bersama dengan pemerintah daerah.
Hasrat dari para elit dari tingkat pusat sampai ke tingkat lokal tersebut sedikitnya memberikan gambaran dilecehkannya demokrasi oleh pembangunan karena membuat masyarakat diabaikan dalam dalam memberikan partisipasi akibat pembangunan tanpa musyawarah.
Gambaran itu terlihat jelas ketika wacana pembangunan mendapatkan bentuk penolakan dan protes dari masyarakat.adanya hubungan yang terjalin antar penguasa mengakibatkan muncullnya koalisi kepentingan sampai tingkat lokal. Pemerintah desa Wae Sano sebagai wujud dari legitimasi masyarakat akar rumput grassroot menjadi sindikasi terstruktur dengan elit ditingkat pusat mendukung upaya pembangunan tersebut fenomena ini terlihat ketika masyarakat desa melakukan akasi mengecam pemerintah desa setempat.
Di sisi lain apabila kebijakan pembangunan tersebut kelak diimplementasi pengabaian hak masyarakat mungkin akan dilakukan. Kelanggengan antar penguasa yang berkorporasi setidaknya dapat mengorbankan masyarakat dan lingkungan hidup.
Kewenangan yang diperoleh sebagai bagian dari institusi turut menjadi penyumbang bagi pemerintah melakukan dominasi yang membuat masyarakat semakin sengsara oleh diskrimnasi hak dan pemerintah merasa dibenarkan karena tindakanya yang beralaskan kebijakan.
Cukup resisten apabila kepentingan masyarakat selalu diabaikan dalam persoalan kebijakan. Sebagaimana atas dasar kebijakan itulah kaum penguasa telah mengubah cara dalam melakukann penindasan kepada masyarakat, cara tersebut tidak lagi pada pada tindakan fisik tetapi justru lebih pada akal rasional agar masyarakat patuh terhadap peraturan dan kebijakan yang dibuat.
Penetapan kebijakan menjadi sebuah laangkah strategis bagi pemerintah dan kelompok kepentinganya agar pembangunan geothermal tersebut dapat djalankan tanpa adanya gangguan dari pihak manapun termasuk masyarakat setempat. Upaya tersebut termanifestasi dalam penetapan kebijakan Flores sebagai pulau panas bumi. Agar mendaptkan legitimasi dari semua pihak program kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut kemudian tertuang dalam keputusan Mentri ESDM No:2268 K/30/MEM/2017. Tentang Penetapan Pulau Flores Seebagai Pulau Panas Bumi yang memiliki 16 titik dan salah satunya berada di desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggaong, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Dengan demikian, kontras terlihat adanya upaya pembangunan yang dihasikan melalui kebijakan justru telah memarjinalisasikan masyarakat desa atas dasar tanah mereka yang telah diklaim sebagai milik negara yang pengalihanya tanpa melalui proses dialog.
Artikel Lainnya
-
191805/04/2021
-
109529/03/2021
-
68225/09/2021
-
134131/03/2020
-
88206/05/2021
-
Manusia Dari Sudut Pandang Plato
258605/01/2023