Pendidikan Sebagai Komersialisasi Ladang Baru

“Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap.” Ki Hajar Dewantara.
Baru-baru ini banyak sekali berita mengejutkan mengenai naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa Universitas yang tersebar di Indonesia, termasuk salah satunya adalah Universitas Brawijaya (UB) Malang. Melansir dari situs resmi yang dihimpun oleh pihak Universitas, besaran UKT dibagi menjadi 12 golongan dan masing-masing prodi berbeda-beda dalam menentukan besaran UKT. Muchamad Ali Safaat selaku Wakil Rektor 2 menjelaskan bahwa naiknya besaran UKT di UNIBRAW berdasarkan peraturan terbaru dari Kemendikburistek Nomor 2 tahun 2024 dan hampir merata di seluruh universitas yang ada di Indonesia.
Melihat kondisi seperti ini tentu sangat memprihatinkan bagi masyarakat yang masuk dalam kategori ekonomi menengah ke bawah, karena mereka akan merasa kesulitan untuk mendapatkan hak pendidikan sampai tingkat universitas. Hal ini tentu harus menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah, terutama bagi mereka yang bekerja di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, kemudian juga para stakeholder yang memiliki otoritas dalam aspek pendidikan ini untuk bisa mencari jalan tengah agar masyarakat tidak merasa terbebani dengan kenaikan biaya pendidikan ini.
Ada Hak Setiap Warga Negara
Melihat pada sistem konstitusi kita, seharusnya pemerintah bisa menjamin pendidikan yang layak dan tidak memberatkan bagi seluruh warga negaranya dan dilindungi oleh negara. Jika kita merujuk pada Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dalam pasal 28 C telah menjelaskan bahwa “Setiap warga negara, masyarakat berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan ummat manusia”. Adapun juga disebutkan dalam pasal 31 poin 3 bahwa sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Melihat sejumlah pasal yang telah disebutkan tadi, dapat disimpulkan bahwa pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab dalam menjalankan pendidikan yang layak bagi seluruh warga negaranya, tidak membeda-bedakan antar ras, suku, agama dan tidak mendikotomikan antara yang kaya dan miskin. Pemerintah juga harus menjamin untuk melindungi seluruh hak masyarakat bahwa fasilitas yang didapat harus proporsional. Seharusnya, jika memang pemerintah Indonesia mengaku adalah negara yang selalu melindungi dan menjalankan amanah dari konstitusi maka pemerintah tidak boleh dzalim terhadap masyarakatnya dengan mengkomersialisasi hak yang seharusnya didapat oleh masyarakat, termasuk hak masyarakat dalam menjalankan pendidikan.
Saya teringat perkataan salah satu anggota DPR dari Fraksi PDIP yaitu Ibu Ribka Tjiptaning pada tahun 2021 lalu, yang pada waktu itu rapat di Gedung DPR RI bersama dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, beliau pernah mengatakan bahwa ‘negara tidak boleh berbisnis dengan rakyat’. Walaupun berbeda konteks, karena ketika itu beliau mengatakan pada masa pandemi Covid-19 yang mana rakyat sulit sekali mendapatkan bantuan dari pemerintah. Namun saya mulai menangkap secara implisit bahwasanya pesan itu tidak hanya ditujukan pada aspek kesehatan saja, namun juga terhadap aspek-aspek lain tidak terkecuali pada aspek pendidikan yang saat ini mulai mengalami unsur komersialisasi.
Ladang Komersialisasi Baru?
Ada dua permasalahan yang sebenarnya bisa dinilai dan diamati dalam tulisan ini. Permasalahan pertama adalah problem yang sifatnya faktual, contoh konkritnya saja adalah saat ini banyak diperbincangkan mengenai naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terjadi di beberapa Universitas di Indonesia. Dimana kenaikan tiba-tiba menjadi tinggi dan dinilai tidak masuk akal. Salah satu contoh saja adalah seorang mahasiswi di Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto yang protes atas dampak naiknya uang UKT yang naik hampir lebih 3 kali lipat. Permasalahan kedua adalah problem yang sifatnya asumtif, yaitu dugaan bahwa naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) terjadi karena dampak dari sebuah sistem komersialiasi.
Secara definisi umum, komersialisasi adalah proses membawa produk layanan ke pasar untuk diperjual-belikan dan mendapat keuntungan dari proese perdagangan itu. Komersialisasi terjadi ketika sesuatu berubah menjadi bisnis yang menghasilkan keuntungan. Sedangkan menurut Muchtari Buchari dalam bukunya ‘Komersialisasi Idealisme Bukan Tabu’ menghadirkan istilah baru yaitu dengan ‘Komersialisasi Pendidikan’. Komersialisasi pendidikan merujuk pada lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang gedung dan pendaftaran saja namun lalai pada asas-asas pendidikan, yaitu seperti fasilitas, pembelajaran dan juga tenaga kependidikan yang kompeten. Problematika lain mengenai komersialisasi pendidikan ini adalah tidak adanya proses transparansi pemakaian terhadap uang yang telah diberikan oleh pihak-pihak terkait. Sehingga yang terjadi adalah dugaan tindakan deviasi penggunaan dana yang berujung pada komersialisasi tadi.
Hal tersebut bisa saja menjadikan dunia pendidikan sebagai ladang komersialisasi baru untuk memperoleh keuntungan yang akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Tentu saja dalam hal ini yang paling dirugikan adalah mereka yang masuk dalam kategori ekonomi ke bawah karena sulit untuk memperoleh pendidikan yang layak. Karena prinsip dasar dari sistem komersialisasi adalah aktivitas yang berorientasi pada keuntungan dan bersifat finansial. Pada zaman ini, sistem komersialisasi dan industrialisasi hampir masuk dalam lini setiap kehidupan manusia termasuk dalam aspek pendidikan, dimana hanya anak-anak orang kaya yang bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul ‘Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam’ menjelaskan bahwa lembaga pendidikan pada akhirnya hanya akan menjadi instrumen untuk menyebarkan penindasan terhadap rakyat miskin dan terpenjara dalam ‘culture of silence’.
Manifestasi Pendidikan Indonesia
Menghadapi situasi seperti ini, pemerintah harus bersikap secara bijaksana dan terbuka untuk membantu mengatasi persoalan seperti ini. Salah satu yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan revitalisasi pendidikan dengan kembali merujuk kepada konstitusi yang telah disahkan oleh para pendahulu kita. Kemudian, pemerintah juga harus melakukan transparansi mengenai penggunaan, pelaporan keuangan agar tidak terjadi dugaan tindakan penyelewengan anggaran dana yang telah dibayarkan. Pemerintah tidak boleh membuat ladang komersialisasi baru dengan menjual pendidikan yang mahal kepada masyarakat, karena itu akan mencederai perasaan masyarakat.
Kemajuan suatu negara tidak hanya diukur pada satu aspek yaitu sumber daya alam, melainkan juga harus selaras dengan kesejahteraan sumber daya manusia. Karena sumber daya alam tidak akan bisa dikelola dengan baik bila masyarakat tidak mengetahui bagaimana mengelola sumber daya alam yang unggul. Salah satu cara agar sumber daya manusia itu unggul adalah dengan mereka mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan merupakan kunci dalam membangun sebuah peradaban yang melahirkan generasi beradab, berilmu dan berakhlak mulia. Setidaknya itulah cita-cita dari para pendahulu kita untuk melihat masyarakat Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga manifestasi pendidikan Indonesia yang tertuang dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003 bisa terwujud.
Artikel Lainnya
-
100511/10/2020
-
183403/12/2020
-
266528/12/2019
-
Epistemologi Spiritual di Kenormalan Baru
138827/06/2020 -
Dapatkah Uni Eropa Menjadi Contoh bagi ASEAN?
17805/07/2024 -
Kado Akhir Tahun Jokowi untuk FPI
114531/12/2020