Pembangunan Yang Menindas

Admin The Columnist
Pembangunan Yang Menindas 18/10/2019 2303 view Catatan Redaksi Pixabay.com

Fajar Ruddin kemarin lalu itu menulis tanggapan untuk artikel saya, Apa Kabar Ibu Kota, Jadi Pindah..? Ia menyisipkan kata "menggugat" untuk judulnya, Betawi Menggugat Ibu Kota. Jadilah untaian kata yang lugas menggambarkan suasana hati masyarakat Betawi.

Ia bilang, masyarakat Betawi sudah berkorban banyak untuk Ibu Kota. Bahkan siap pasang badan jika kedaulatan NKRI terusik. Namun apa yang di dapat. Tak ada yang lain selain tersisih dari derap langkah kemajuan ekonomi dan pesta politik.

Saya bisa saja menulis balasan. "Jika engkau kehilangan sawah, saya pun di Riau kehilangan udara sehat. Kalau di sana tak satupun kepala daerah berasal dari Putra Daerah, saya punya lebih buruk. Justru tiga pemimpin yang putera daerah itu berturut-turut ditangkap KPK. Silahkan bayangkan keadaan kami. Nasib kita sebelas dua belas bung!"

Untuk mendramatisasi, supaya tuan-tuan pembaca bertambah suka, bisa pula saya jejerkan nasib sial lainnya. Toh, siapa di antara kita yang tak pernah bersua sial.

Tapi saya tak ingin melakukan itu. Ada hal lain yang saya temukan dari artikel Fajar Ruddin. Sebuah perjalanan yang membawa saya melompat-lompat. Dari satu hal ke hal yang lain.

Dari bagaimana sebetulnya Jakarta, beralih ke dua konsep jahanam: "perampasan tanah" dan "ancaman lapar". Lalu melompat lagi kepada pesan yang sebetulnya ingin ia sampaikan.

Baiklah. Akan saya mulai. Tapi ini bukan cerita yang menyenangkan. Dan mungkin ada di antara kita yang mengalami kisah ambyar ini.

Tuan-tuan pembaca, ketika membaca tanggapan Fajar Ruddin itu, maka terbayanglah di benak saya. Sebagian masyarakat Betawi telah menjalani hidup yang tak direncanakannya. Bahkan harus menjalani hidup yang tak disukainya. Sebagian mereka tertindas.

Hal ini telah membuka mata saya. Apa-apa yang dulu saya bayangkan tentang Jakarta sesungguhnya adalah keliru.

Beberapa tahun lalu,  di sebuah kelas Teori Pembangunan, saya berjumpa dengan kawan-kawan kritis dari banyak daerah. Sebutlah Bengkulu, NTB, Flores, Kendari, Makassar, sampai Papua. Dalam banyak perdebatan ada cara pandang yang amat dominan. Jakarta menjalankan kebijakan yang menindas. Jakarta menindas daerah.

Jakarta adalah raja yang tak perlu mendengarkan keluh kesah daerah. Sedangkan daerah seolah hamba yang harus siap mengorbankan apapun demi tuannya.

"Panjang umur tuan Jakarta. Kami yang hidup di kegelapan dan bau ini amat senang melihatmu berdansa bahagia bersama kemewahan", kalimat itu seakan menari-nari di kepala kami.

Tapi cerita Fajar Ruddin telah mengubah cara pandang itu. Jika masyarakat di luar Jakarta merasa ditindas, sebagian masyarakat asli Jakarta pun rupanya begitu. Jika rakyat di daerah kehilangan tanahnya, sebagian Betawi ternyata sama.

Siapapun tahu bagaimana rasanya kehilangan tanah. Ketika tanah dirampas, kehidupan lenyap bersamanya. Karena tanah tak hanya tentang aspek ekonomi saja, terkait besaran pendapatan. Tetapi juga kehidupan itu sendiri.

Ada yang lebih menakutkan lagi dari sekedar pendapatan menurun. Yakni saat manusia tercerabut dari caranya hidup dan bertahan. Karena ini akan mengubahnya menjadi sebuah benda. Benda yang tak punya kuasa atas dirinya sendiri. Benda yang bisa diperjualbelikan seenak hati.

Kemarin-kemarin, ketika masih hidup di atas tanah kita dan menurut cara kita, ada tuan-tuan pembaca temui orang lapar..?

Panennya seseorang akan mengalir ke orang lain. Entah karena hubungan keluarga, tetangga, sedekah, tinggi-tinggian status sosial, atau berharap mendapat pemberian balasan. Sehingga kelaparan tak pernah ada di dalam kosa kata kita, bukan?

Namun ketika tanah dirampas, semua manusia di atasnya serentak kehilangan mata pencaharian dan tak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidup. Kita tak bisa saling melindungi karena sama-sama terancam lapar.

Lantas ke mana muara rasa lapar ini?

Ada yang mengkhayal-khayal cerita tentang rasa lapar. Ternyata kisah kambing dan anjing buas di pulau karangan Robinson Crusoe di Lautan Pasifik punya pesan kuat. Tentang bagaimana cara termudah mengatur manusia.

Ancaman kelaparan memaksa anjing buas berburu kambing di tebing curam dan berbatu cadas. Kondisi yang keras dan berbahaya. Tapi si anjing harus melakukannya karena rasa lapar.

Rasa lapar telah mampu memaksa makhluk hidup untuk bergerak mencari makanan. Manusia adalah makhluk hidup. Jadi, rasa lapar adalah cara terbaik untuk memaksa manusia bergerak, bekerja untuk menghalau rasa lapar.

“Karena itu…”, ucap si pengkhayal ini, “ancamlah manusia dengan rasa lapar. Hanya dengan begitu mereka mau bekerja.”

Si pengkhayal gila lagi kejam, mengatur kehidupan manusia dari hukum kambing-anjing buas. Tapi beginilah kenyataannya. Hukum hewani digunakan untuk mengatur kehidupan manusia sampai sekarang.

Orang-orang yang kehilangan tanahnya bagaimana mau makan kalau tidak bekerja. Hanya dengan bekerjalah ia mendapat uang untuk makan. Sehingga suka tak suka, semua kita yang tak bertanah lagi ini harus menawarkan tenaga kepada orang lain yang punya pekerjaan, industri dan pabrik raksasa.

Inilah tujuan akhir rasa lapar itu. Bukanlah kehilangan mata pencaharian yang menjadi sasaran. Tetapi memaksa kita bekerja di bawah todongan rasa lapar.

Sialnya, ketika ada di antara kita yang sah menjadi pekerja, itulah kiamatnya. Kebebasan sebagai manusia telah lenyap. Ia adalah benda yang bisa digunakan dengan cara bagaimanapun dan kapanpun. Hidupnya diatur jam masuk dan keluar, besaran gaji, prosedur pekerjaan, dan aturan mengikat lain.

Ahh..kalau saya boleh kasih saran, janganlah terlalu tekstual dihadapan artikel Fajar Ruddin. Cobalah lihat apa yang ada di balik susunan kalimat-kalimatnya itu.

Hatinya ingin bercerita sesuatu. Dulu masyarakatnya adalah petani, peternak, dan pedagang. Hasil pertanian dan peternakan mengalir kepada orang lain. Tak melulu soal uang. Karena sering kali berupa pemberian percuma. Lengkap dengan perayaan hasil panen yang dipimpin tetua adat. Mereka adalah orang-orang merdeka di atas tanahnya sendiri.

Bagaimana keceriaan kehidupan itu, bisa terwakili melalui ungkapan Fajar Ruddin berikut:

“Dulu di kampung kami terhampar sawah dan empang. Kami mengisi masa kecil dengan mandi di kali, memancing, main layang-layang, dan berbagai jenis mainan kampung lainnya. Sejak pulang sekolah sampai beduk magrib. Begitu terus setiap hari. Tidak ada perasaan takut lapar karena ada banyak buah yang bisa dipetik.”

Namun itu dulu. Lalu pembangunan datang merampas tanah mereka. Sebagian masyarakatnya lalu terancam oleh rasa lapar, sehingga harus menyerahkan tenaganya ke pasar tenaga kerja. Menjadi tenaga kerja, manusia yang tak lagi merdeka. Hanya punya kenangan akan masa lalu ketika masih menjadi manusia merdeka.

Dari sini saya menjadi paham apa yang sebetulnya ingin disampaikan Fajar Ruddin.

Bukanlah ia kesal karena tak bisa melihat bekas hamparan sawah masyarakatnya dulu. Bukan pula karena ia dilarang 'Universitas Tertutup' bermain petasan karbit di tempat dulu ia kerap bermain. Bukan. Bukan itu.

Hatinya tercabik remuk. Tak hanya sebagian masyarakatnya kini menjadi tenaga kerja yang bisa dibegini dan begitukan. Tetapi untuk sekedar melihat kembali bekas masa-masa dulu ketika menjadi manusia merdeka pun tak punya kuasa. Kenangan indah di benaknya kini tak lagi punya bukti.

Tuan-tuan pembaca, coba engkau raba, bagaimana perihnya hidup model begitu. Gelap, perih, dalam, dan tersimpan.

Orang yang paling bahagia adalah yang hidup merdeka. Yang menderita adalah yang sudah tak merdeka, tapi masih punya kenangan masa lalu ketika hidup merdeka. Sedangkan yang paling menderita adalah yang tak lagi hidup merdeka, tak pula punya bukti dari kenangan dulu waktu masih hidup merdeka.

Tapi saya tak akan menulis artikel balasan untuknya. Saya lebih suka mengatakan hal ini langsung, kalau-kalau kami bertemu.

"Saya bisa meraba perasaan Bung dari tulis itu. Kehilangan tanah, diancam rasa lapar, harus bekerja demi mengusir itu, lantas menjadi benda. Manusia yang tak merdeka, cuma punya kenangan. Kini tak bisa pula membuktikan kalau kenangan itu benar-benar ada. Gelap, perih, dalam, dan tersimpan, bung..”, terang saya mengenai artikelnya.

Lalu saya selipkan dua potong berita di bawah gelas kopinya. “Oh ya. Ada salam dari Kaum Samin Pegunungan Kendeng dan masyarakat Pesisir Selatan Kulon Progo.”

 

Referensi:

Polanyi, Karl (1944), The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time, Beacon Press: Massachusetts.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya