Pembangunan dan Ekspansi Neoliberalisme di Sumba
Ada dua hal penting bagi kehidupan masyarakat di Sumba yaitu tanah dan ternak. Pertama tanah sebagai penghasilan pangan serta berbagai aktifitas ekonomi. Kedua ternak sudah secara turun temurun menjadi dasar tata cara adat. Juga akhirnya menjadi produksi hewan dan membantu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Sumba.
Singkatnya tanah dan ternak menjadi satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat. Dua hal ini tak boleh dihancurkan, karena mengganggu jaringan kehidupan lainnya. Sebagai contoh tanah yang dilepas kosong dan dijadika padang. Itu disengajakan kosong oleh masyarakat supaya melepaskan ternak. Sementara tanah lainnya dijadikan lahan produktif, misalnya menanam padi, kopi dan sejenisnya.
Kendati banyak aspek lain bagi masyarakat Sumba. Namun sepengamat penulis ketika hadir ke tengah masyarakat Sumba. Maka dua hal ini menjadi dasar masyarakat Sumba. Sehingga masyarakat di Sumba tentu tidak memiliki kekurangan dalam sisi ekonomi. Buktinya sederhana, kita menyaksikan masih banyak pencari ternak dari luar Sumba datang membeli ternak seperti; Kerbau, Kuda, Sapi dengan angka yang cukup banyak dan harga yang mahal.
Namun seiring waktu berjalan, Sumba akhirnya mengalami beragam persoalan. Dengan menguatnya discourse pembangunan dan parawisata yang hadir di Sumba, alih-alih memberi dampak baik. Namun berbagai ketimpangan dan praktik ketidakadilan justru masing sering terjadi. Tentu ini harus dipikirkan sejak dari saat ini sebelum ke eksotisan Sumba hilang di tangan para garong.
Pembangunan Neoliberalisme
Pembangunan tak dapat ditolak oleh manusia. Namun jika pembangunan ini mengabaikan dimensi kemanusiaan sehingga berefek pada penyingkiran masyarakat. Maka pembangunan seperti itu harus dilawan. Sejak era Soeharto sampai pasca reformasi, pembangunan di Indonesia dalam berbagai dimensi, bisa dibilang berwatak neoliberalisme.
Dalam kerangka pemikiran neoliberalisme maka kemajuan melalui pembangunan itu dibungkus dalam bentuk persaingan individu dan pasar bebas. Bagi kalangan yang mendukung neoliberalisme, selalu mengucapkan jargon ‘tidak ada alternatif’. Satu-satunya alternatif adalah dengan pasar bebas dan persaingan individu serta melibatkan sektor swasta dalam pembangunan.
Bagi kalangan yang serius mengkritiki neoliberalisme, maka kerja neoliberalisme dianggap sebagai ‘kepengaturan kehidupan manusia’. Kepengaturan ini dimulai dari, pasar bebas, moral, etis, politik, sampai pada pengetahuan (Bdk. Brown, 2005). Singkatnya dalam kerangka teoritik, negara yang menganuti neoliberalisme tidak banyak kerja. Karena membiarkan sektor swasta mengurusi berbagai bentuk dimensi kehidupan, (Hiariej, 2008). Kendati demikian, negara tak serta merta duduk diam, sebab harus melahirkan kondisi bisnis yang baik bagi investasi dan semua proses akumulasi kapital (Harvey 2005, et, Hiariej 2008).
Jika diturunkan dalam konteks pemerintahan lokal, maka neoliberalisme hadir dalam wajah investasi dan memberikan pembangunan pada sektor swasta. Misalnya dalam bidang pariwisata, maka itu diserahkan pada swasta untuk membangun hotel, dll. Selain itu dalam bidang perekonomian, dibangun perusahan-perusahan semisalnya perusahaan, ekstrak, energi, atau berbagai jenisnya.
Sebagai nilai etisnya, sektor swasta menjanjikan, akan mengurangi pengangguran – dengan mempekerjakan masyarakat lokal di perusahan dan di hotel yang dibangun oleh sektor swasta tersebut. Hal-hal lain yang dijanjikan adalah, meningkatkan ekonomi masyarakat, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dll.
Kepengaturan Neoliberalisme
Sumba merupakan lokasi yang tak terelakan dari ekspansi neoliberalisme saat ini dalam wajah sektor swasta melalui perusahan dan pembangunan hotel di tempat wisata. Neoliberalisme di Sumba secara sederhana bisa diwakilkan dalam bentuk konflik vis a vis antara negara dengan masyarakat, hingga pada peristiwa kematian tokoh adat di Sumba.
Jika ditelusuri, bagaimana Sumba dalam kepengaturan watak neoliberalisme setidaknya diwakilkan dalam dua persoalan yang ada berikut ini. Di Sumba Timur terdapat salah satu Perusahan yang membangun Perkebunan Tebu di bawah naungan PT. Muria Sumba Manise (MSM) yang memiliki wilayah konsesi seluas 52.000 Hektare dan sudah beroperasi sejak tahun 2014. Konsesi perusahaan tersebut berada di 30 desa dan di beberapa kecamatan di Sumba Timur. Konsesi PT MSM, berada di atas tanah masyarakat, tanah ulayat, dan tanah pemerintah/negara yang selama ini sebagai wilayah padang savanah penggembalaan ternak masyarakat setempat.
Berdasarkan laporan yang diajukan oleh; Forum Masyarakat Adat Wanga Patawang “Ama Mangu Tanangu – Ina Mangu Lukungu. Maka akibat dari aktifitas perusahan perkebunan tebu ini, masyarakat setempat telah kekurangan air minum, khususnya di beberapa desa. Selain itu savanah penggembalaan ternak hilang, serta kekurangan air bagi ternak-ternak. Dalam investigasi yang dilakukan oleh WALHI NTT dan berdasarkan laporan masyarakat setempat, PT.MSM secara sengaja membendung aliran air dari hulu Sungai Matawai Maringu yang biasanya mengalir dan digunakan masyarakat, lalu dibendung hanya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan.
Tentu, jika dianalisis pembangunan atau investasi melalui perusahan lainnya, tidak dapat ditolak. Namun yang perlu diperiksa adalah logika dibangunnya perusahan tersebut. Jika diperiksa, negara cendrung mengabaikan pikiran-pikiran yang sangat mendasar. Alih-alih akan mempekerjakan masyarakat lokal dalam perusahan yang dizinkan. Namun tidak pernah memikirkan, penyingkiran aktivitas warga dalam mengembangkan peternakannya, merupakan sebuah pembangunan yang berketidakadilan.
Singkatnya kerjanya mesin neoliberalisme melalui ekspansi perusahan dalam konteks lokal, telah memberi catatan ketidakadilan bagi masyarakat. Implikasinya kehilangan lahan ternak, kehilangan air, hingga pada rendahnya produksi ternak. Realitas neoliberalisme alih-alih membangun mitos meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ternyata hanya mensistemikan kemiskinan bagi masyarakat. Pada akirnya apa yang menjadi kekayaan bagi masyarakat Sumba dalam hal ini tanah dan ternak, secara perlahan dihancurkan.
Neoliberalisme, Aspek Wisata
Selain persoalan di atas, persoalan yang belum juga kelar dan masih menyisakan luka sampai saat ini adalah kematian Poro Duka. Jika ditelusuri kronologisnya, dengan data yang (dihimpun oleh Keluarga Poro Duka dan Masyarakat Desa Patiala Bawa Penasehat Hukum Keluarga Poro Duka). Bahwa awal mulanya sejak tahun 1994, dimana telah terjadi pengukuran tanah oleh PT. Sutra Marosi Kharisma lewat kuasanya dengan masyarakat pemilik tanah dengan harga Rp 300.000/M2. Dan pihak perusahaan berjanji akan membangun paling kurang dalam kurun waktu 3 tahun dan jikalau dalam jangka waktu 5 tahun pihak PT Sutra Marosi Kharisma tidak melakukan pembangunan hotel, maka lahan tersebut akan digarap kembali oleh warga pemilik lahan.
Namun masyarakat menunggu bertahun-tahun, tidak ada progres dari rencana pembangunan hotel tersebut. Sehingga ketika tahun 2016, PT Sutera Marosi tiba-tiba mengklaim, tanpa sepengatahuan dan seizin warga. Maka pihak PT Sutera Morasi, melakukan semacam pencaplokan pada wilayah masyarakat setempat. Dari rentetan peristiwa tersebut, akhirnya terjadi konflik dan Poro Duka pun meninggal karena tertembak oleh aparat keamanan. Silakan baca; Konflik Agraria di Pulau Sumba: Peluru Polisi di Dada Poro Duka. Diakses dari; (https://tirto.id/konflik-agraria-di-pulau-sumba-peluru-polisi-di-dada-poro-duka-cJ3m).
Kendati sampai saat ini, kasus tersebut masih diurus mengenai sah dan tidak sahnya perizinan pembangunan hotel di kawasan wisata tersebut. Namun masalah yang harus diletakan dan ditelaah secara bersama adalah: pembangunan telah mengabaikan dimensi kemanusiaa, sampai pada merenggut nyawa dari masyarakat. Artinya pembangunan alih-alih menyejahterakan masyarakat, sementara korban utama dari pembangunan itu masyarakat sendiri, maka sia-sialah pembangunan tersebut.
Singkatnya seluruh rangkaian peristiwa yang penulis ulas di atas, menjelaskan satu hal bahwa neoliberalisme hadir dalam beragam cara. Entah itu kekerasan ataupun menawarkan hasrat lainnya. Dan semua itu terjadi karena negara gagap dan gugup dalam memformulasikan pembangunan secara ideal. Dalam kritikan yang tajam disampaikan oleh (Juru, 2016) bahwa dalam dimensi neoliberalisme, negara hadir dalam peran fasilitatif sedangkan kelompok swasta menjadi motor penggerak dalam pembangunan. Kelompok ini dianggap paling efisien dan efektif dalam menjalankan fungsi pembangunan. Dan nalar seperti ini yang selalu menjadi persoalan selama ini dalam proyek pembangunan di Indonesia.
Penutup
Tentu, untuk mengatasi persoalan pembangunan yang menghancurkan kehidupan masyarakat Sumba, segera dipikirkan kembali. Salah satunya dengan mengembalikan legitimasi Pemerintah Daerah, melalui pembukaan ruang dialog dengan masyarakat secara luas. Mengeluarkan Peraturan, sampai mengontrol sektor swasta merupakan hal yang paling penting. Jangan jadikan negara lokal dalam hal ini Pemda, menyerahkan kendaraan kemajuan melalui pembangunan di tangan sektor swasta. Sumba memiliki beribu potensi. Namun jika potensi ini dikelola oleh sektor swasta secara mutlak, maka yang terjadi nantinya adalah timbulnya berbagai ketidakadilan bagi masyarakat bahkan hingga kemiskinan sistemik terbentuk secara perlahan.
Artikel Lainnya
-
92415/10/2022
-
80902/09/2021
-
7808/10/2024
-
37514/06/2024
-
Intensitas Politik Uang Di Pilkada 2020
129620/08/2020 -
Panel Surya, Mobil Listrik, dan Solusi Semu Energi Hijau
26518/08/2024