Pedagang Kecil dan Kerentanan Menjadi Korban Uang Palsu

Penyuluh Hukum
Pedagang Kecil dan Kerentanan Menjadi Korban Uang Palsu 08/08/2021 936 view Hukum FIN.CO.ID

Pekan ini, uang palsu yang memakan korban kembali ramai di media. Sebagaimana dilansir dari kompas.com (07/08/2021), seorang nenek berusia sekitar 55 tahun bernama Sumarmi, tertipu uang palsu senilai Rp100.000,00 dari pembelinya. Nenek yang sehari-harinya berjualan ubi di Pasar Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur ini terpaksa harus menderita kerugian ganda. Kerugian itu terdiri dari 2 kilogram ubi senilai Rp10.000,00 dan uang kembalian sebesar Rp90.000,00. Jumlah ini terbilang lumayan besar bagi pedagang kecil seperti Nenek Sumarmi.

Sepanjang tahun 2021, peredaran uang palsu telah berkali-kali menyasar pedagang kecil. Salah satunya adalah peredaran uang palsu di wilayah pelosok Kabupaten Purwakarta pada bulan Maret. Kejadian serupa juga telah terjadi di berbagai wilayah lain seperti Jakarta Timur, Bekasi, hingga Bali. Para pedagang kecil seolah menjadi target empuk bagi para pelaku. Karena tidak memiliki alat pendeteksi uang palsu, mereka memang rentan menjadi korban bila tidak teliti saat bertransaksi.

Kejadian yang menimpa Nenek Sumarmi menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Tak dapat dipungkiri, adanya pembatasan aktivitas dan anjuran untuk berada di rumah saja selama masa pandemi juga berdampak bagi pedagang kecil. Kondisi ini membuat mereka mengalami kesulitan untuk bertahan. Padahal, sebagian dari pedagang kecil itu masih menyewa lapak atau kios untuk berdagang. Menjadi korban peredaran uang palsu tentu semakin menambah beban kehidupan yang harus ditanggung.

Mengingat maraknya peredaran uang palsu saat ini, pedagang kecil harus tetap waspada agar tidak menjadi korban. Menerapkan cara Dilihat, Diraba, dan Diterawang (3D) untuk memastikan keaslian uang rupiah masih ampuh untuk dilakukan. Tidak ada salahnya membandingkan dahulu uang yang diduga palsu dengan uang yang sudah diyakini asli. Jangan buru-buru menerima atau memberikan uang kembalian tanpa memeriksa dengan cermat.

Pada hakikatnya, partisipasi masyarakat dalam memberantas peredaran uang palsu memang sangat dibutuhkan. Sebagaimana dilansir dari situs resmi Bank Indonesia, masyarakat dapat melaporkan temuan disertai fisik uang kepada bank, kepolisian, atau meminta klarifikasi langsung ke kantor Bank Indonesia terdekat. Laporan kepada Bank Indonesia baik langsung atau melalui bank, akan diteliti lebih lanjut. Uang yang diragukan keasliannya dan dinyatakan tidak asli, tidak memperoleh penggantian. Sementara bagi yang dinyatakan asli, dapat memperoleh penggantian sesuai ketentuan yang berlaku.

Tindakan mengedarkan uang palsu jelas merupakan tindakan yang melanggar hukum. Karena itu perlu diberikan sanksi kepada para pelaku untuk menimbulkan efek jera. Tidak main-main, dalam Pasal 26 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang telah disebutkan bahwa setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan rupiah yang diketahuinya merupakan rupiah palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 50 miliar.

Rupiah tidak hanya merupakan alat pembayaran yang sah saja, melainkan juga sebagai salah satu simbol kedaulatan negara. Pasal 28 UU Mata Uang menyebutkan bahwa pemerintah berupaya untuk melakukan pemberantasan melalui suatu badan yang mengoordinasikan pemberantasan rupiah palsu,. Badan tersebut yang terdiri atas unsur Badan Intelijen Negara, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia.

Menurut Perpres No. 123 Tahun 2012 tentang Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu, Botasupal merupakan lembaga non-struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Sebagai koordinator pemberantasan rupiah palsu, Botasupal memadukan kegiatan dan operasi pemberantasan rupiah palsu yang dilakukan instansi/lembaga terkait sesuai fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing instansi/lembaga tersebut.

Menyikapi perkembangan yang terjadi, kiranya Botasupal dapat memadukan kegiatan sosialisasi bermuatan edukasi pengenalan uang palsu kepada masyarakat, khususnya bagi pedagang kecil agar tidak lagi menjadi korban. Selanjutnya, perlu diberikan pemahaman agar uang palsu yang diterima tidak dibelanjakan lagi dengan alasan untuk menghindari kerugian. Hal ini merupakan poin penting dalam memutus mata rantai peredaran uang palsu dan melindungi pedagang kecil agar terhindar dari perbuatan yang melanggar hukum.

Kejadian yang menimpa Nenek Sumarmi mengingatkan kita agar lebih berhati-hati. Tetaplah waspada agar tidak tertipu uang palsu. Jangan berikan kesempatan kepadai pelaku untuk melancarkan aksinya. Bersama-sama kita mampu memutus mata rantai peredaran uang palsu agar tidak lagi memakan korban.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya