Pasir Laut Dijual, Lingkungan Tergadai: Selamat Datang di Indonesia

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Pasir Laut Dijual, Lingkungan Tergadai: Selamat Datang di Indonesia 27/09/2024 2061 view Ekonomi Dok Pribadi

Sepertinya saya mulai terbiasa mendengar berbagai kebijakan kontroversial yang datang di saat-saat terakhir masa jabatan Presiden Joko Widodo. Namun, kali ini keputusan yang muncul rasanya lebih menohok lagi. Kebijakan ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut benar-benar menjadi bahan obrolan hangat. Mengapa? Karena ini bukan hanya soal ekonomi semata, tapi juga tentang alam dan masa depan lingkungan kita.

Presiden Jokowi menyatakan, pasir yang diizinkan untuk diekspor adalah hasil sedimentasi di laut yang dianggap menyebabkan pendangkalan, sehingga mengganggu pelayaran. Katanya, "Itu bukan pasir laut ya, yang dibuka (hasil) sedimentasi.” Kalimat ini terdengar seolah-olah ada garis pemisah yang tegas antara pasir laut dan sedimentasi. Padahal, di mata banyak orang, wujudnya sama saja: pasir tetap pasir, dan kerusakan lingkungan yang bisa ditimbulkan juga tidak bisa dianggap remeh.

Di balik alasan "Pendangkalan yang mengganggu pelayaran," kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah benar hanya sedimentasi yang dikeruk? Apakah kita yakin tidak akan ada dampak lain yang lebih luas dari kebijakan ini? Sedimentasi mungkin berbeda secara teknis, tetapi pasir laut tetap menjadi bagian penting dari ekosistem pesisir. Mengganggu salah satu komponen itu bisa menyebabkan ketidakseimbangan yang berujung pada kerusakan lebih lanjut.

Apa yang membuat saya menghela napas panjang adalah bahwa kebijakan ini datang di tengah meningkatnya kesadaran global tentang perubahan iklim. Mantan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti bahkan langsung memberikan kritik tajam, meminta Jokowi untuk membatalkan kebijakan tersebut. Ia dengan lantang menyatakan bahwa perubahan iklim sudah terasa dampaknya, dan jangan sampai diperparah dengan penambangan pasir laut. Saya sangat setuju dengan Bu Susi, kita seolah sedang bermain-main dengan alam, padahal kita tahu akibatnya bisa fatal.

Bu Susi dengan gayanya yang khas bahkan menyarankan solusi yang terdengar sedikit nyeleneh namun masuk akal. "Kenapa tidak pulau-pulau kita saja yang disewakan selama 100 tahun seperti Hong Kong disewakan ke Inggris, daripada mengeruk pasir laut?" Sebuah sindiran tajam. Di balik saran tersebut, ada pesan jelas: kita terlalu cepat menjual sumber daya alam kita tanpa berpikir panjang tentang dampak jangka panjang. Apakah keuntungan jangka pendek itu sepadan dengan kerusakan lingkungan yang mungkin tidak bisa diperbaiki lagi?

Saya rasa ada kekhawatiran yang lebih besar di sini. Ketika kita bicara soal pasir laut, kita tidak hanya bicara tentang penambangan atau sedimentasi. Kita bicara tentang seluruh ekosistem yang hidup di sekitarnya dari terumbu karang, ikan, hingga masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada laut. Apakah mereka dipikirkan dalam proses pengambilan kebijakan ini?

Sebelum kebijakan ini kembali diberlakukan, perlu diingat bahwa ekspor pasir laut sudah dihentikan selama 20 tahun. Mengapa dulu dihentikan? Karena dampaknya terhadap lingkungan pesisir terbukti destruktif. Tidak hanya merusak ekosistem laut, penambangan pasir laut juga berisiko mempercepat abrasi pantai yang dapat menyebabkan pulau-pulau kecil tenggelam. Dan di Indonesia, dengan ribuan pulau yang tersebar, hal ini tentu menjadi ancaman nyata.

Ada ironi besar di sini: di satu sisi, kita dihadapkan pada ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, banjir rob, abrasi, hingga naiknya permukaan laut. Di sisi lain, kita justru membuka kembali pintu ekspor pasir laut yang jelas-jelas dapat memperburuk situasi. Lalu, di mana letak prioritas kita?

Kebijakan ini bukan hanya soal sedimentasi atau pasir laut semata. Ini soal bagaimana kita sebagai bangsa memperlakukan alam dan masyarakat kita sendiri. Kita tidak bisa terus-menerus mengorbankan lingkungan demi alasan ekonomi semata. Seperti yang dikatakan oleh Rachel Carson dalam bukunya "Silent Spring", “Alam tidak pernah diam; ketika kita mengganggu keseimbangannya, ia akan merespons dengan cara yang tidak kita duga.” Kebijakan ekspor pasir laut ini mungkin terasa seperti solusi instan, namun siapa yang tahu harga mahal yang harus kita bayar di kemudian hari?

Sebagai catatan terakhir, saya hanya berharap kebijakan ini ditinjau ulang. Tidak semua yang menguntungkan dalam jangka pendek akan membawa kebaikan dalam jangka panjang. Alam punya cara sendiri untuk mengingatkan kita bahwa kita hidup bersama, bukan di atasnya. Dan ketika kita terlalu serakah, alam tidak akan segan-segan untuk menagih utang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya