Paradoks KMB Antara Kebebasan dan Ketidaksetaraan dalam Pendidikan Indonesia
Di tengah gemuruh perdebatan mengenai pendidikan di Indonesia, Kurikulum Merdeka Belajar (KMB) hadir bak jagoan yang hendak menyelamatkan negeri dari jeratan kurikulum konvensional yang kaku. Namun, seperti pahlawan super dalam komik yang selalu dihadapkan pada dilema moral, KMB juga membawa paradoks tersendiri: kebebasan di satu sisi dan ketidaksetaraan di sisi lain. Bagaimana kita bisa memaknai paradoks ini dalam konteks pendidikan di Indonesia?
Mari kita mulai dari dasar yuridis. Seperti yang sering diucapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, "Merdeka Belajar adalah upaya untuk memberikan kebebasan kepada guru dan siswa untuk berinovasi dan mengembangkan potensi diri" (Makarim, 2021). Secara hukum, ini tercermin dalam berbagai regulasi yang mendukung otonomi sekolah, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan pentingnya pendidikan yang demokratis dan berkeadilan (UU Sisdiknas, 2003). Namun, apakah kebebasan ini benar-benar bisa diimplementasikan secara merata di seluruh Indonesia?
Mari kita telusuri sejarah sejenak. Pendidikan di Indonesia memiliki akar yang panjang, mulai dari masa kolonial, kemerdekaan, hingga era reformasi. Selama itu, pendidikan sering kali terjebak dalam pola sentralisasi yang menghambat inovasi dan kebebasan. Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, pernah berkata, "Pendidikan itu memerdekakan" (Dewantara, 1935). Namun, ironisnya, selama bertahun-tahun, sistem pendidikan kita justru terbelenggu oleh aturan-aturan yang kaku. KMB berusaha memutus rantai ini dengan memberikan kebebasan lebih besar kepada sekolah dan guru. Tapi, apakah semua sekolah siap untuk memikul tanggung jawab ini?
Dari sudut pandang filosofis, KMB sejalan dengan gagasan pendidikan progresif yang diusung oleh John Dewey. Dewey percaya bahwa "Pendidikan adalah proses kehidupan, bukan persiapan untuk kehidupan yang akan datang" (Dewey, 1938). KMB mencoba menghidupkan kembali semangat ini dengan memberikan ruang bagi siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka. Namun, di lapangan, implementasi KMB seringkali terganjal oleh kurangnya sumber daya dan pemahaman yang memadai. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa setiap siswa, di mana pun mereka berada, mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar?
Secara sosiologis, KMB bisa dilihat sebagai upaya untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan adaptif. Sosiolog terkenal, Emile Durkheim, berpendapat bahwa "Pendidikan adalah cara untuk menyiapkan individu agar dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka" (Durkheim, 1977). Dalam konteks ini, KMB berpotensi menciptakan individu yang lebih tangguh dan siap menghadapi tantangan masa depan. Namun, tanpa dukungan yang memadai, kebebasan yang diberikan melalui KMB bisa justru menciptakan ketidaksetaraan yang lebih besar. Sekolah-sekolah di daerah terpencil yang minim fasilitas mungkin akan semakin tertinggal, sementara sekolah-sekolah di kota besar yang memiliki sumber daya lebih akan terus melaju di depan.
Ini mengingatkan penulis pada konsep "habitus" dan "kapital kultural" dari Pierre Bourdieu, di mana pendidikan sering kali mereproduksi ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat (Bourdieu, 1984). Dalam konteks KMB, sekolah-sekolah yang sudah memiliki modal kultural dan ekonomi yang kuat akan lebih mudah mengadopsi dan mengembangkan kurikulum yang inovatif. Sementara itu, sekolah-sekolah yang berada di lingkungan yang kurang mendukung akan kesulitan untuk mengikuti arus perubahan. Bagaimana kita bisa mengatasi ketimpangan ini?
Salah satu solusinya adalah dengan memastikan bahwa setiap sekolah mendapatkan dukungan yang sama, baik dalam bentuk pelatihan guru, infrastruktur, maupun sumber daya lainnya. Namun, ini bukanlah tugas yang mudah. Pemerintah harus bekerja keras untuk memastikan bahwa setiap sekolah, di mana pun mereka berada, memiliki akses yang sama terhadap semua sumber daya yang dibutuhkan. Ini memerlukan komitmen dan kerja keras dari semua pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
Dalam sebuah seminar pendidikan, Nadiem Makarim menyebutkan bahwa "Inovasi tidak bisa terjadi dalam lingkungan yang terbelenggu oleh aturan-aturan kaku" (Makarim, 2022). Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya kebebasan dalam proses belajar mengajar. Namun, kebebasan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab dan dukungan yang memadai. Tanpa itu, kebebasan yang diberikan melalui KMB bisa justru menjadi bumerang yang menciptakan ketidaksetaraan yang lebih besar.
Mari kita berandai-andai sejenak tentang masa depan. Proyeksi Indonesia 2045 adalah menjadi negara maju dengan perekonomian yang kuat dan sumber daya manusia yang unggul. Pendidikan, tentu saja, memegang peran kunci dalam mewujudkan visi ini. KMB, dengan segala potensinya, bisa menjadi alat yang efektif untuk menciptakan generasi yang kreatif, inovatif, dan adaptif. Namun, ini hanya akan terjadi jika kita bisa mengatasi berbagai tantangan yang ada.
Bayangkan jika setiap anak di Indonesia bisa belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka, tanpa harus terikat oleh standar nilai yang kaku. Mereka bisa belajar dari lingkungan sekitar, dari pengalaman nyata, dan dari interaksi sosial yang kaya. Pendidikan tidak lagi menjadi beban, tetapi menjadi proses yang menyenangkan dan memerdekakan. Namun, untuk mencapai semua itu, kita perlu memastikan bahwa setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar. Ini berarti kita harus bekerja keras untuk mengatasi ketimpangan yang ada dalam sistem pendidikan kita.
Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peran yang sangat penting. Mereka harus memastikan bahwa setiap sekolah mendapatkan dukungan yang sama, baik dalam bentuk infrastruktur, pelatihan guru, maupun sumber daya lainnya. Selain itu, kita juga perlu melibatkan berbagai pihak lain, seperti dunia usaha dan industri, untuk mendukung dan memfasilitasi proses pembelajaran. Dengan demikian, kita bisa menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan inklusif bagi semua anak di Indonesia.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kutipan dari Paulo Freire: "Pendidikan harus menjadi alat pembebasan, bukan penindasan" (Freire, 1970). KMB, dalam esensinya, mencoba memerdekakan proses pembelajaran dari belenggu aturan-aturan yang kaku. Namun, apakah kebebasan ini bisa membawa kita menuju visi Indonesia 2045? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, satu hal yang pasti, kita semua memiliki peran penting dalam mendukung dan mengawal proses perubahan ini. Jika kita bisa bekerja sama dan berkontribusi, bukan tidak mungkin kita akan melihat Indonesia yang lebih baik, lebih maju, dan lebih merdeka pada tahun 2045.
Dengan demikian, KMB adalah langkah awal yang baik menuju perubahan yang lebih besar. Namun, kita harus ingat bahwa perubahan besar selalu membutuhkan waktu, komitmen, dan kerja keras dari semua pihak. Kita harus memastikan bahwa setiap anak di Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Dengan semangat dan komitmen bersama, mari kita wujudkan pendidikan yang benar-benar merdeka, inklusif, dan adil bagi semua anak bangsa.
Artikel Lainnya
-
76214/11/2022
-
135307/05/2021
-
153305/05/2021
-
Lembata Tidak Sedang Baik-Baik Saja
126030/06/2021 -
Hiperrealitas dan Krisis Identitas
245019/02/2021 -
Kepahlawanan Di Tengah Amukan Wabah
158006/04/2020