Palestina dan Hak Asasi Manusia: Penderitaan yang Tak Kunjung Usai

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Palestina dan Hak Asasi Manusia: Penderitaan yang Tak Kunjung Usai 21/07/2024 147 view Politik Sumber Gambar: Harian Disway

Sebagai seorang pemerhati isu Hak Asasi Manusia (HAM), saya sering kali merenungkan krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestina. Konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade ini bukan hanya soal sengketa tanah atau politik semata, tetapi juga menyangkut pelanggaran berat terhadap HAM yang dialami oleh jutaan penduduk Palestina setiap harinya. Dalam tulisan ini, saya ingin membagikan pandangan pribadi saya mengenai penderitaan yang tak kunjung usai ini, dengan harapan dapat membuka pemahaman baru tentang kompleksitas masalah ini.

Konflik di Palestina telah menelan banyak korban jiwa dan melahirkan penderitaan yang luar biasa. Kementerian Kesehatan di Gaza menyebutkan sekitar 36.171 orang telah tewas di wilayah tersebut selama lebih dari tujuh bulan perang antara Israel dan militan Palestina periode Oktober sampai Mei 2024. Jumlah tersebut mencakup sedikitnya 77 orang tewas dalam 24 jam terakhir. Selain itu, sebanyak 75.298 orang terluka di Jalur Gaza sejak perang dimulai pada 7 Oktober.

Angka-angka ini hanyalah sebagian kecil dari kenyataan mengerikan yang dihadapi oleh masyarakat Palestina setiap harinya. Anak-anak yang seharusnya menikmati masa kanak-kanak yang ceria, terpaksa hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan trauma akibat kekerasan yang terus berlanjut.

Salah satu aspek yang paling mencolok dari krisis ini adalah blokade Gaza yang diberlakukan oleh Israel sejak tahun 2007. Blokade ini telah menyebabkan keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, dan obat-obatan. Menurut laporan dari Human Rights Watch, lebih dari dua juta penduduk Gaza hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, dengan lebih dari 80% penduduknya bergantung pada bantuan kemanusiaan. Situasi ini mencerminkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, terutama hak atas kehidupan yang layak dan kesehatan.

Tidak hanya itu, pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat juga menjadi sumber konflik yang terus bereskalasi. Menurut laporan dari B'Tselem, sebuah organisasi HAM Israel, sejak tahun 1967, lebih dari 200 permukiman ilegal telah dibangun di Tepi Barat, yang mengakibatkan pengusiran paksa terhadap ribuan warga Palestina dari rumah mereka. Tindakan ini jelas melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa yang melarang negara pendudukan memindahkan sebagian dari penduduknya ke wilayah yang didudukinya.

Di tengah krisis ini, upaya untuk mencapai perdamaian sering kali terhalang oleh ketidakadilan yang sistematis dan kurangnya kemauan politik dari pihak-pihak yang terlibat. Menurut Noam Chomsky, seorang intelektual dan aktivis, "Perdamaian sejati hanya dapat dicapai jika hak-hak dasar warga Palestina diakui dan dihormati." Kutipan ini menggambarkan betapa pentingnya menghormati HAM sebagai fondasi dari setiap upaya perdamaian yang berkelanjutan.

Selain itu, krisis kemanusiaan di Palestina juga menyoroti kegagalan komunitas internasional dalam menegakkan keadilan dan perdamaian. Resolusi-resolusi PBB yang mendesak penghentian kekerasan dan penarikan mundur pasukan Israel sering kali diabaikan. Situasi ini mencerminkan lemahnya mekanisme internasional dalam melindungi hak-hak asasi manusia, terutama bagi masyarakat yang berada di bawah pendudukan.

Krisis kemanusiaan di Palestina tidak hanya berdampak pada mereka yang tinggal di wilayah tersebut, tetapi juga menggugah kesadaran global tentang pentingnya solidaritas dan kemanusiaan. Gerakan-gerakan solidaritas internasional, seperti BDS (Boycott, Divestment, Sanctions), telah muncul sebagai bentuk protes terhadap pelanggaran HAM yang terjadi. Gerakan ini menunjukkan bahwa masyarakat global tidak tinggal diam melihat ketidakadilan yang terjadi, dan berusaha untuk memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab.

Di sisi lain, media juga memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik tentang konflik ini. Sayangnya, sering kali liputan media cenderung bias dan tidak berimbang, sehingga memperburuk stereotip dan ketegangan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mencari sumber informasi yang kredibel dan berimbang agar dapat memahami situasi yang sebenarnya dan tidak terjebak dalam narasi yang menyesatkan.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa krisis kemanusiaan di Palestina adalah masalah yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan adil. Tidak ada solusi yang mudah, tetapi penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi titik awal dari setiap upaya untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Sebagai bagian dari komunitas global, kita memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam memperoleh hak-hak dasar mereka dan hidup dalam damai dan bermartabat.

Salah satu kutipan yang sangat relevan dari Mahatma Gandhi adalah, "Kekerasan adalah senjata mereka yang lemah, tetapi non-kekerasan adalah senjata mereka yang kuat." Kutipan ini mengingatkan kita bahwa meskipun jalan menuju perdamaian penuh dengan tantangan, tetapi kekuatan sejati terletak pada komitmen kita untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia bagi semua orang, tanpa terkecuali.

Dalam menghadapi krisis kemanusiaan di Palestina, mari kita jadikan hak asasi manusia sebagai landasan dalam setiap langkah kita menuju perdamaian dan keadilan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya