Omnibus Law: Anak Haram Hasil Perselingkuhan Pemerintah dan DPR?

Untuk membahas Omnibus Law, penulis mencoba mengangkat sebuah contoh yang sering terjadi dalam manusia. Contoh ini seperti jaring laba-laba yang digunakan penulis untuk mengkaji secara dalam seputar Omnibus Law.
Apakah benar bahwa kelahiran Omnibus Law adalah anak haram hasil perselingkuhan antar Pemerintah dan DPR?
Mari kita mulai, gaes!
Dalam kehidupan sosial, jika seseorang atau kelompok tertentu menolak sesuatu yang bertentangan dengan nilai universal, itu sangatlah manusiawi. Bahkan dianjurkan untuk itu.
Mengapa? Ya, sebab tindakan atau perilaku yang melawan nilai universal selalu identik dengan adanya korban. Dan korbannya menjangkau sekian banyak orang.
Semisal, seorang anak yang lahir dari hubungan gelap langsung diberi label anak haram. Ini tidaklah salah. Yang patut dipersalahkan bukanlah anaknya melainkan pasangan gelap terkait. Sebab pasangan gelap selalu melegitimasi tentang perbuatan yang melawan nilai universal itu sendiri. Itulah sebabnya, dari ajaran dan perspektif apapun, tak pernah memperbolehkan perselingkuhan atau menjalin hubungan yang terlarang itu terjadi.
Jika demikian, mengapa masih ada manusia yang doyan untuk melakukannya? Bahkan berlomba-lomba? Jawabannya, simple saja yakni karena kekuatan keinginan daging yang selalu menawarkan kesenangan dan kenikmatan duniawi, acap kali mampu membutakan mata dan hati manusia itu sendiri.
Lebih jauh, realitas destruktif ini akan menjadi sebuah habbit, jikalau dibaluti oleh berbagai kepentingan. Pastinya, kepentingan itu selalu berorientasi seputar kenikmatan, kekayaan dan kekuasaan. Nah, pada titik inilah, penulis ingin menghubungkan contoh di atas dengan realitas kelahiran Omnibus Law.
Hemat saya, omnibus law tak jauh bedanya dengan anak haram sebagaimana sudah penulis jelaskan di atas. Sebab proses kelahirannya penuh dengan drama. Tak heran, jika kehadiran dan keberadaannya pun banyak yang menolak.
Indikatornya jelas yakni realitas sikap penolakan yang semakin meningkat yang datang dari berbagai elemen masyarakat. Pada umumnya penolakan itu dilatari oleh satu hal yakni masyarakat kecil banyak yang dirugikan. Misalnya, ancaman terhadap keberlangsungan hak-hak buruh sangat terbuka lebar. Selain itu, kearifan-kearifan lokal yang beragam pada setiap daerah ikut terancam. Sebab aturan tersebut telah melanggar nilai-nilai keberagaman dan local wisdom yang ada di setiap daerah itu sendiri.
Drama lain yang semakin menguatkan bahwa kehadiran omnibus law layak ditolak dan merupakan anak haram adalah sikap pemerintah, DPR dan aparat kemanan yang sudah melukai rahim demokrasi. Bahkan terkesan acuh. Padahal sudah sangat jelas bertentangan dengan konstitusi kita.
Sikap acuh dan tidak mau tahu itu semakin jelas ketika pihak keamanan mulai mempertunjukkan sikap dan pengupayaan adanya kriminalisasi terhadap kaum buruh, aktivis, dan mahasiswa yang menolak omnibus law.
Bahkan makin menjadi-jadi. Dimana beberapa pekan lalu, aparat keamanan menangkap sejumlah mahasiswa yang berdemonstrasi di depan gedung DPR di kawasan Senayan Jakarta dengan alasan yang tak jelas. Padahal amat jelas bahwa RUU Cipta Kerja telah mengubah 1.244 pasal di lebih dari 79 undang-undang yang tidak saja seputar soal gaji, hubungan kerja, dan hak buruh. Tapi lebih daripada itu, omnibus law juga akan berpeluang menghilangkan sejumlah aturan mengenai perlindungan lingkungan dan izin berusaha (Tempo, 10/3/2020).
Peluang buruk ini akan semakin menyata ketika proses perumusan Cipta Kerja itu sudah amat keliru sejak awal. Dimana materi pembahasan naskah peraturan ini dirahasiakan dari publik. Termasuk ketidakakuratan naskah akademik RUU Lapangan kerja yang tidak jelas memuat informasi dan siapa tim ahli yang bertanggung jawab terhadap naskah terkait. Dampaknya, Pembangkangan terhadap Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pun terjadi (detikNews, 11/3/2020).
Padahal, Presiden Jokowi beserta para pembantunya pernah memberikan janji kepada publik untuk memberikan masukan atas rancangan peraturan sebagaimana termaktup dalam omnibus law. Kenyataanya justru berkata lain. DPR dan Pemerintah justru semakin mengabaikan berbagai suara kritis dari para buruh dan aktivis lainnya.
Bahkan ada kesan bahwa pemerintah dan DPR sedang dan selalu menutup ruang aspirasi dan diskusi publik. Padahal sudah amat jelas bahwa kelahiran omnibus law telah mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dan kontradiktif antar UU dan Peraturan yang satu dengan yang lainnya, hingga pada saatnya akan terjadi pembunuhan terhadap hak-hak buruh secara sadis dan massal.
Oleh karena itu, berbagai aksi demonstrasi yang datang dari berbagai pihak yang amat dirugikan bukanlah aksi tanpa roh dan daya. Bukan pula didorong oleh kepentingan sempit dari sekelompok orang. Atau juga hanya teriakan omong kosong belaka. Namun lebih daripada itu nilai yang terkandung didalamnya adalah perjuangan yang tak kenal lelah dalam mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan universal itu sendiri.
Jadi, pemerintah harus dan segera berefleksi sembari menyadari bahwa keberadaan mereka, identik dengan pelayan. Pelayan yang selalu menyejukan hati masyarakat jika dahaga dan lapar menghampiri hidup mereka. Toh, tanpa masyarakat pemerintah juga tak pernah ada. Ada dilekmatika krusial yang secepatnya untuk dipertimbangkan dan diputuskan Untuk itu, kelahiran omnibus law harus dikaji ulang. Paling tidak, haruslah dilahirkan melalui cara-cara yang demokratis dan bermartabat.
Jika tidak, maka publik akan semakin yakin bahwa alasan dibalik perselingkuhan ini karena ada kenikmatan materi dan kuasa yang amat menjanjikan.
Sebaliknya, penulis juga semakin memiliki keyakinan yang kuat bahwa omnibus law telah menjadi biang dan pangkal malapetaka untuk NKRI nantinya. Sebab hingga saat ini pemerintah terkesan amat percaya diri bahwa omnibus law ibarat barang sakti yang mampu membangkitkan NKRI dari keterpurukan.
Dampaknya, rahim NKRI beserta asas demokrasinya akan kehilangan roh dan nyawanya. Akhirnya, pertanyaan atas omnibus law: “anak haram hasil perselingkuhan pemerintah dan DPR?” menjadi benar adanya.
Walaupun demikian, saya amat yakin bahwa harapan akan selalu ada jikalau pemerintah dan DPR mau mendengar dan membuka diri terhadap suara hati dan juga aspirasi dari setiap lapisan masyarakat. Hanya dengan sikap demikianlah rahim demokrasi dan nilai-nalai kemanusiaan universal tetap terjaga, terawat, dan berkembang biak dengan penuh kebebasan dan kemerdekaan.
Artikel Lainnya
-
148722/04/2020
-
59305/08/2021
-
116307/08/2020
-
Mempertanyakan Sikap Yayasan Omah Munir
124512/12/2019 -
Modus Kecurangan Seleksi CPNS dari Masa ke Masa
114202/11/2021 -
Spiritualitas Rakyat: Catatan Kritis Untuk Tahun 2020
172930/12/2019