Omnibus Law : Produk Mafia Perselingkuhan Penguasa Dan Pengusaha

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Omnibus Law : Produk Mafia Perselingkuhan Penguasa Dan Pengusaha 16/03/2020 2113 view Opini Mingguan wikimedia.org

Pelan tapi pasti, masyarakat sipil tampaknya sudah mengetahui bahwa Omnibus law sebenarnya sedang menempatkan negara sebagai aktor. Omnibus law dapat dibaca sebagai sebuah aksi negara sebagai aktor yang berusaha meminjam tenaga lawan yaitu kekuatan pasar untuk mengokohkan eksistensi negara.

Melalui pembuatan omnibus law, negara bernegosiasi dengan kekuatan pasar yaitu para kapitalis dan para investor dengan menempuh cara penyederhanaan prosedur hukum untuk menyambut secara mudah dan cepat kedatangan modal. Dengan kedatangan para investor, akan terjadi transfer pengetahuan, teknologi, dan keterampilan bukan saja untuk memberikan nilai plus bagi kemakmuran masyarakat sipil, melainkan juga mengokohkan dasar teknikal pembangunan ekonomi kapitalistik (Kompas, Sabtu, 07 Maret 2020:6).

Omnibus law yang santer dibicarakan akhir-akhir ini di ruang publik adalah tentang kemudahan investasi di Indonesia yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).

Omnibus law dibuat karena pemerintah menilai bahwa aturan-aturan yang berlaku sebelumnya dianggap terlalu kaku dan menghambat kedatangan investor atau korporasi yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Bahkan, menurut Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, draf omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja berpotensi menempatkan korporasi dan investor sebagaimana persekutuan dagang Belanda (VOC) pada masa kolonial yang tidak mempedulikan sumber daya alam dan melanggar hak-hak para pekerja (Kompas.com,. Kamis, 20 Februari 2020).

Ketakutan kolektif masyarakat sipil terhadap pemberlakuan omnibus law yang tidak mengindahkan nilai-nilai etis termasuk keseimbangan lingkungan mengharuskan kita merefleksikan kembali bagaimana sistem kerja modal dalam tata ekonomi global yang didukung oleh regulasi yang dibuat negara dapat menyelamatkan nasib masyarakat sipil. Inilah salah satu tantangan yang tidak ringan dari dominasi globalisasi ekonomi dewasa ini yang dilandasi oleh rasionalitas instrumental atau strategis demi keuntungan ekonomis (Paulus Budi Kleden, 2003:56).

Apalagi sudah menjadi realitas umum bahwa globalisasi ekonomi menghendaki adanya totalitas pasar. Dominasi pasar tersebut telah menjadi ideologi sebab dia telah secara sistematis menguasai semua lini kehidupan manusia dan berjuang untuk kemandiriannya (pasar bebas) tanpa memperhitungkan kesejahteraan masyarakat sipil dan nasib keseimbangan ekologis.

Hal ini melahirkan malapetaka besar sebab hukum pasar selalu berorientasi pada maksimalisasi keuntungan, walaupun orientasi tersebut dapat melanggar pemenuhan hak-hak asai manusia dan merusak keutuhan lingkungan hidup.

Hemat saya, omnibus law menjadi salah satu bentuk produk yang bertujuan untuk menguatkan paham kapitalisme-liberalisme.

Penguatan kapitalisme-liberalisme semakin menegaskan pandangan beberapa pemikir (terutama Fukuyama) bahwa paham tersebutlah yang menang atas paham sosialis atau komunis dalam perdebatan terkait sistem politik dan ekonomi dunia. Ideologi di belakang kapitalisme adalah liberalisme. Liberalisme ditandai oleh privatisasi segala potensi ekonomi, pencarian untung sebesar-besarnya dan kompetisi dalam tata ekonomi pasar bebas. Dalam hal ini, akumulasi modal menjadi penggerak dan tujuan utama dari semua produk kebijakan (Kees Bertens, 2000:135).

Sebagian pihak yang diuntungkan oleh pemberlakuan dan dominasi sistem di atas sangat mendukung karena selain dapat mempercepat kemajuan dan kemakmuran ekonomi, juga sistem tersebut secara fundamental memiliki kesesuaian dengan sifat dasariah manusia yang ingin selalu berinteraksi dengan berbagai manusia dengan latar belakang yang berbeda.

Walaupun muncul dan beredar wacana tentang optimisme kemajuan dan kemakmuran, namun sistem liberalisme-kapitalisme ternyata secara faktual lebih sering memunculkan berbagai keresahan yang sangat mendasar. Ada beberapa penyebab kemunculan keresahan tersebut.

Pertama, paham ini cenderung menginstrumentalisasi manusia. Manusia dihargai sejauh dia produktif secara ekonomis. Paham ini cenderung menolak kekhasan manusia berdasarkan kelompok sosial atau rasnya. Eksistensi seseorang dengan segala bentuk keunikannya berada di bawah kooptasi produk yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomis tertentu.

Kedua, paham liberalisme juga membuat ambruk sistem politik sebuah negara karena paham ini meyakini kesamaan manusia sebagai homo politicus dan manusia sebagai homo economicus. Jadi menurut paham ini, perjuangan politik mempunyai motif yang sama dengan perjuangan ekonomi dan bahkan dalam konteks kasus omnibus law tampak bahwa motif dan kepentingan ekonomi medominasi perjuangan politik sebuah negara. Keyakinan inilah yang merusak dunia politik, karena kebijakan politik diambil alih oleh para pemodal (the invisible hand).

Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan investasi untuk menyelamatkan kehidupan ekonomi menyambut baik kedatangan para kapitalis. Bahkan, pada tingkat yang paling ekstrim, pemerintah kehilangan otonominya dan menjadi tunduk terhadap sistem kerja para kapitalis.

Pemerintah dengan begitu mudah menjadi boneka yang sesuka hati disetir oleh para kapitalis. Pemerintah membuat regulasi yang kemudian memihak keberadaan para kapitalis. Tentang hubungan tripolar antara penguasa, pengusaha (korporasi), dan bisnis, Noreena Hertz, Direktur Eksekutif Center for International Business Universitas Cambridge menjelaskannya demikian: “Inilah dunia pengambilalihan diam-diam, dunia pada saat fajar milenium menyingsing. Tangan-tangan pemerintah tampak terikat dan kita semakin hari semakin bergantung kepada korporasi. Bisnis sedang menduduki bangku sopir, korporasi menentukan aturan main, dan pemerintah telah menjadi sekadar wasit yang hanya menerapkan aturan-aturan yang dibuat oleh pihak-pihak lain. Perusahaan-perusahaan yang mudah berpindah dan pemerintah bergerak sangat jauh untuk menarik atau memelihara mereka agar mereka tetap berada di wilayah mereka” (Dindin Solahudin, penerj. 2011:17).

Ketiga, paham liberalisme-kapitalisme sangat kuat memarginalisasi kaum miskin karena sistem kapitalisme cenderung berorientasi pada penumpukan kekayaan di tangan para pemodal besar dan sangat kuat menciptakan banyak orang miskin baru, termasuk yang kalah dalam persaingan.

Keempat, arus neoliberalisme-kapitalisme global cukup kuat merusakkan lingkungan hidup. Pemutlakan terhadap keuntungan dan akumulasi modal memang menimbulkan kemakmuran, namun kemakmuran itu banyak dicapai dengan merusakkan lingkungan hidup.

Fakta bahwa para penguasa lebih mudah melayani kepentingan investasi para pengusaha (kapitalis) daripada mendengar suara rakyat dan bekerja memenuhi kepentingan masyarakat sipil menunjukkan semakin menguatnya konglomerasi kekuasaan di negeri tercinta ini.

Konglomerasi kekuasaan dapat didefinisikan sebagai menyatunya tiga kekuatan politik secara bersamaan yaitu antara kekuasaan, bisnis dan partai politik.

Penyatuan ketiga kekuatan yang membentuk konglomerasi kekuasaan ini, menumbuhkan adanya konflik kepentingan. Bahkan, penyatuan kekuasaan, bisnis, dan partai politik, membentuk “konglomerasi kekuasaan yang dapat membeli segalanya” (Max Regus, 2009:1).

Salah satu bentuk konglomerasi kekuasaan adalah RUU omnibus law yang didukung pemberlakuannya oleh para elite. Masih banyak contoh lain yang bisa kita angkat untuk menggambarkan adanya penyatuan destruktif di lingkaran kekuasaan (pemerintah), kalangan pengusaha dan juga partai politik. Ketiga hal ini bahkan sudah saling mengikat dan menggantungkan dirinya satu sama lain demi pencapaian keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan nasib banyak orang. Di kalangan anggota DPR, misalnya, dari 575 anggota DPR, 262 orang atau 45,5% adalah pengusaha. 75% anggota DPR mendukung pemberlakuan omnibus law (Liputan6.com, 26 Februari 2020).

Dalam hal tersebut, Omnibus law adalah produk para elite dan didukung pemberlakuannya oleh mereka dengan orientasi pragmatis-eksklusif yaitu pencapaian keuntungan dengan mengorbankan nasib masyarakat sipil dan keseimbangan ekologis.

Berhadapan dengan mafia perselingkuhan penguasa dan pengusaha, masyarakat sipil secara kreatif menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan wacana perlawanan mereka terhadap konglomerasi kekuasaan yang sedang berlangsung.

Di beberapa tempat juga terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh para petani untuk menuntut kembali kepemilikan mereka terhadap tanah yang dirampas oleh para investor. Gerakan perlawanan juga datang dari Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) sebagai gabungan organisasi buruh, petani, perempuan, dan organisasi masyarakat sipil yang menyerukan persatuan gerakan rakyat dalam menolak omnibus law RUU Cilaka dengan mengadakan aksi pemogokan umum.

Respon yang diberikan oleh pemerintah sejauh ini adalah pendekatan illiberal atau militeristik. Namun, fakta di ruang publik menunjukkan bahwa semakin masif respon illiberal dan pendekatan militeristik yang digunakan, semakin masif pula wacana dan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat sipil.

Mau tidak mau atas nama kedaulatan rakyat, pemerintah harus merespon secara positif gerakan perlawanan masyarakat sipil. Masyarakat sipil pasti akan terus mengontrol kerja birokrasi yang acap kali korup dan juga terus mengorganisasikan diri untuk melawan kerja para pengusaha yang lebih sering diuntungkan oleh pemerintah melalui pembuatan kebijakan yang longgar dan memihak mereka.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya