Negara, Agama, dan Cita-Cita Hukum Berkeadilan

Pemikir
Negara, Agama, dan Cita-Cita Hukum Berkeadilan 07/05/2025 766 view Hukum pexles.com

Salah satu indikator bahwa penegakan hukum di sebuah negara berjalan dengan baik bukanlah semata-mata terlihat dari banyaknya aparat atau ketegasan sanksi yang diberlakukan. Melainkan, dari sebuah fenomena yang lebih sunyi namun mengguncang: rakyatnya tak lagi merasa membutuhkan agama sebagai tameng moral utama. Ini bukan sekadar provokasi, melainkan argumen tajam yang dilontarkan oleh Rutger Bregman dalam bukunya yang memukau dan menggugah, “Humankind: A Hopeful History

Dalam buku tersebut, Bregman mengurai sebuah gagasan yang mungkin terasa menggelitik, bahkan menantang keyakinan banyak orang. Ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat di mana supremasi hukum ditegakkan secara konsisten dan adil, kebutuhan akan sosok Tuhan sebagai otoritas moral dan penghukum akhir mulai memudar. Bukan karena masyarakat menjadi ateis atau kehilangan spiritualitasnya, tetapi karena fungsi-fungsi dasar yang selama ini dilekatkan kepada Tuhan, sebagai pengawas moral, pelindung kebenaran, dan penegak keadilan, telah diambil alih oleh institusi negara yang bekerja efektif.

Di negara-negara dengan penegakan hukum yang kuat, manusia tidak lagi berharap pada langit untuk mendapatkan keadilan. Mereka tidak menggantungkan harapan pada balasan ilahi di akhirat karena mereka tahu bahwa pelanggaran terhadap keadilan akan segera ditindak di dunia ini, oleh sistem hukum yang dapat dipercaya. Negara hadir sebagai figur "ayah" baru, bukan dalam pengertian otoriter, melainkan sebagai penjaga dan penuntun yang adil. Negara menggantikan peran transendental itu, bukan untuk menggusur spiritualitas, tetapi untuk menghadirkan keadilan secara konkret di kehidupan nyata.

Maka tidak heran jika dalam masyarakat-masyarakat yang maju secara hukum, tingkat religiositas mengalami penurunan. Bukan karena mereka menjadi bejat atau kehilangan arah, tetapi karena moralitas mereka tidak lagi bersandar pada ketakutan akan dosa atau neraka, melainkan pada kesadaran rasional bahwa hidup bersama membutuhkan aturan yang ditegakkan oleh sistem hukum yang berfungsi. Hukum, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar teks, melainkan jaminan atas keadilan yang nyata.

Bregman mengajak kita melihat manusia bukan sebagai makhluk yang selalu perlu diawasi oleh “mata Tuhan” agar tidak tergelincir, tetapi sebagai makhluk yang pada dasarnya cenderung baik, yang bisa dan mau hidup dalam tatanan, selama tatanan itu memberi rasa keadilan. Dalam kerangka ini, supremasi hukum yang berjalan dengan baik bukan hanya menciptakan masyarakat yang tertib, tapi juga masyarakat yang tidak perlu lagi menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sandaran moral, karena negara telah menjadi penegak kebaikan yang nyata di bumi ini.

Negara yang Katanya Atheis

Apakah sebuah kebetulan belaka jika konsentrasi ateis tertinggi di dunia justru ditemukan di negara-negara seperti Denmark, Swedia, Norwegia, atau Belanda? Negara-negara yang secara konsisten menempati peringkat tertinggi dalam hal supremasi hukum, kepercayaan publik terhadap institusi negara, dan integritas birokrasi. Mereka bukan hanya negara-negara makmur dari sisi ekonomi, tetapi juga matang secara institusional. Dalam masyarakat seperti ini, agama secara perlahan tapi pasti tergeser dari ruang publik. Bukan dengan paksaan, bukan pula dengan penghapusan paksa terhadap kepercayaan, tetapi karena fungsinya telah digantikan oleh negara yang hadir secara nyata, adil, dan terpercaya.

Agama, di banyak tempat, selama berabad-abad telah berfungsi sebagai pelindung moral, penjaga etika, dan penghibur batin. Namun, ketika negara hadir dengan wajah yang adil dan sistem yang dapat dipercaya, ketika pelaku kejahatan benar-benar dihukum tanpa pandang bulu, ketika keadilan tidak butuh waktu puluhan tahun untuk ditegakkan, dan ketika aparat bukan sekadar simbol kekuasaan melainkan pelayan keadilan, maka kebutuhan akan Tuhan sebagai "hakim tertinggi" mulai berkurang. Harapan akan balasan di akhirat perlahan tergantikan oleh kelegaan bahwa keadilan dapat dirasakan di dunia ini, sekarang juga.

Namun tentu, ini bukan berarti bahwa untuk menjadi negara maju sebuah bangsa harus menjadi negara ateis, atau bahwa ateisme adalah tiket menuju kemajuan. Korelasi bukanlah sebab-akibat. Yang lebih tepat adalah melihat gejala ini sebagai indikator: bahwa ketika masyarakat merasa tidak lagi perlu berlindung di balik harapan metafisis akan pembalasan ilahi, itu sering kali mencerminkan kepercayaan yang tinggi terhadap sistem hukum yang berjalan secara adil.

Sebaliknya, di negara-negara di mana penegakan hukum lemah, di mana para koruptor bisa tersenyum puas di balik layar kekuasaan, di mana pelaku kekerasan dapat membeli kebebasan dengan uang, dan para pencari keadilan harus menunggu hingga lelah atau mati, di sanalah agama sering kali tumbuh subur, bukan karena masyarakat lebih saleh, tetapi karena mereka tidak punya pilihan lain. Mereka menggantungkan harapan pada pengadilan akhirat, karena pengadilan dunia terlalu sering gagal memberi putusan yang adil.

Dalam kondisi seperti itu, keyakinan akan surga dan neraka menjadi bentuk perlawanan terhadap tatanan dunia yang timpang. Ketika negara gagal menjadi pengadil, Tuhan terpaksa turun tangan. Masyarakat pun menciptakan ruang spiritual untuk keadilan yang tak bisa mereka dapatkan di dunia nyata.

Fenomena ini seharusnya menjadi cermin, bukan cibiran. Ia mengajarkan bahwa semakin baik sebuah sistem hukum berjalan, semakin kecil kebutuhan masyarakat akan "keadilan metafisis." Dalam dunia yang ideal, Tuhan tidak lagi dibutuhkan sebagai algojo, karena keadilan telah hadir nyata lewat sistem yang bersih, transparan, dan manusiawi.

Saya tahu, tulisan ini mungkin terdengar sedikit radikal. Mungkin juga akan membuat sebagian orang yang begitu fanatik terhadap agama merasa tersinggung, bahkan kebakaran jenggot. Tapi percayalah, itu bukan tujuan saya menulis ini. Bukan untuk memprovokasi atau merendahkan keyakinan siapa pun. Sebaliknya, tulisan ini lahir dari keprihatinan yang dalam, dari keresahan terhadap kondisi negara yang semakin hari terasa semakin jauh dari cita-cita keadilan.

Apa yang saya coba sampaikan seharusnya menjadi refleksi bersama, bukan bahan kemarahan. Karena kenyataannya, negara kita tidak sedang baik-baik saja. Justru akhir-akhir ini, berita-berita buruk hampir selalu datang dari arah negara: dari lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga hukum, dari birokrasi yang seharusnya melayani, dari pemimpin-pemimpin yang seharusnya menjadi panutan. Semua ini bukan lagi sekadar cerita, tapi luka kolektif yang terus menganga.

Ketika hukum tak lagi tajam ke atas dan hanya tegas ke bawah, ketika para pelaku kejahatan kelas kakap bisa lolos dari jerat hukum dengan mudah, masyarakat pun kehilangan pegangan. Dalam situasi seperti ini, tidak heran jika harapan satu-satunya untuk melihat keadilan tegak justru datang dari imajinasi tentang pengadilan akhirat. Karena di dunia nyata, negara tak lagi bisa diandalkan sebagai penegak keadilan.

Tulisan ini adalah panggilan untuk bangkit, bukan untuk membenci. Ini adalah seruan agar kita menagih tanggung jawab negara, agar hukum benar-benar ditegakkan, agar rakyat tak perlu lagi menggantungkan nasibnya pada keajaiban atau balasan metafisik. Karena sejatinya, keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan itu sendiri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya