Natal, Refleksi Diri dan Toleransi

Natal, Refleksi Diri dan Toleransi 24/12/2019 2667 view Agama http://www.holymhk.ac.th/latest-project/

Tanggal 25 Desember umat Katolik di seluruh dunia merayakan hari raya natal. Natal sebagai hari kelahiran sang juru selamat, disambut penuh syukur dan bahagia dengan hati dan tindakan. Meskipun hari raya natal seringkali disalahpahami sebagai hari yang penuh dengan kemewahan. Misalnya, mengenakan baju baru dan makan-makanan yang serba mewah. Ini tidak salah, tetapi perlu dibatasi sehingga tidak terkesan glamor. Perayaan natal sebagai bagian dari iman dapat dilakukan melalui sikap membuka diri dan saling berbagi kepada siapa saja yang kita jumpa.

Menyambut hari natal, refleksi diri merupakan suatu sikap yang sangat penting agar penyambutan dan kebahagiaan natal dapat terserap dalam hati, pikiran dan tindakan. Refleksi diri bagi umat katolik punya makna, bahwa kita harus saling bersikap lebih terbuka terhadap lingkungan, komunitas, organisasi, keluarga dan dimanapun kita berada. Kesadaran untuk merefleksikan diri harus dimulai dari diri sendiri atas pengalaman selama satu tahun agar bisa menyambut Kristus sang juru selamat dengan iman yang penuh berkat dan siap menyambut tahun baru dengan hati dipenuhi kasih.

Sebagai umat Katolik yang hidup ditengah keberagaman umat beragama, refleksi diri merupakan usaha untuk kembali merenung serta membaharukan diri lewat sikap terbuka terhadap keberagaman. Perbedaan yang tumbuh ditengah kemajemukan Indonesia merupakan kekayaan bagi masa depan Indonesia sebagai modal sosial (social capital) yang harus dirawat. Di sini sebetulnya, keberagaman identitas dalam diri setiap orang harus dimaknai sebagai kesadaran dengan sikap tanggung jawab untuk membuka dan menerima segala perbedaan.

Hari natal selain sebagai hari bahagia atas lahirnya juru selamat ketengah dunia, hari natal merupakan bentuk perayaan yang memiliki makna menjalin keharmonisan, kekeluargaan serta persaudaraan dengan umat beragama lain. Dengan ini artinya umat Katolik ditantang untuk lebih bersikap terbuka, menghargai satu dengan yang lain serta mampu menempatkan kemanusiaan sebagai nilai utama dalam kehidupan bersama. Sehingga dengan ikatan kemanusiaan, setiap perbedaan dapat kita terima dengan baik dan tentu dengan tetap bersikap toleransi.

Kemarin kita baru saja melaksanakan ritus pemilihan umum legislatif dan presiden. Selama proses panjang pemilu, disana-sini kita merasakan pembelahan politik yang muncul ditengah masyarakat. Tidak sedikit pula ujaran kebencian (hate speech) menghiasi dinding-dinding media sosial yang semakin nyaring dan menggebu-gebu. Setiap identitas mulai mendaku diri sebagai yang benar, yang paling nasionalis dan paling pancasilais, sedangkan diluar dari itu tidak benar. Sehingga dapat disimpulkan konstelasi politik 2019 merupakan sebuah pertarungan antagonisme dari masing-masing kubu untuk mempertahankan status quo.

Peristiwa politik yang tergambar dari pemilu tahun 2019 merupakan sebuah pelajaran politik (political lesson) sebagai warga untuk lebih bersikap bijak dan dewasa dalam berpolitik di alam demokrasi yang bebas. Karena bagaimanapun, peristiwa politik selalu menyisakan beragam pengalaman dan pelajaran yang mesti dipelajari, ditelaah dan dirumuskan kembali dengan konsep yang baru.

Dalam kondisi seperti ini, umat Katolik perlu merefleksikan kembali perjalanan demokrasi lewat sikap terbuka dan selalu bersandar dalam ajaran Yesus yang terus mewartakan kasih. Lewat ajaran ini, identitas yang kita miliki tidak gampang disetir dengan kepentingan politik yang dibungkus rapih lewat narasi yang justru memecah persatuan dan kesatuan kita.

Merawat Toleransi

Tidak ada sikap yang lebih baik dari toleransi. Sikap toleransi menggambarkan kondisi warga negara yang selalu bersikap inklusif terhadap keberagaman. Indonesia dengan corak keberagaman yang beragam tidak bisa hanya dilihat dari satu aspek tetapi perlu dilihat secara holistik yang dapat menuntun setiap warga negara untuk bersikap lebih terbuka. Di tengah keberagaman agama yang semakin berkembang, Indonesia membutuhkan satu sikap toleransi terhadap keberagaman.

Di sini sebetulnya setiap individu perlu mengembangkan kesadaran bersama. Toleransi merupakan bagian dari sikap hidup yang dipenuhi dengan kesalingpengertian sehingga menempatkan perbedaan sebagai bagian dari kehidupan. Artinya, setiap subjek manusia harus terus menjadi ‘agen’ yang dapat mengembangkan keluasan berpikir, berkata dan bertindak. Keberagaman yang dimiliki Indonesia merupakan kekayaan yang harus dirawat melalui nilai-nilai Pancasila sebagai tonggak utama berbangsa.

Jika kita selalu mengembangkan sikap toleransi, dipastikan kita akan selalu mengenal jati diri kebangsaan yang tidak lain adalah kekayaan sebagai modal di masa depan. Mulai dari sini kita menjadi bangsa yang lebih menghargai setiap perbedaan.

Menjadi warga negara berarti menjadi manusia yang siap merawat kemanusiaan orang lain sebagai bagian dari hidupnya sendiri. Lewat sikap toleransi, tidak ada lagi penolakan dari setiap individu terhadap individu lain untuk merayakan hari raya keagamaan. Karena semua perbedaan telah terikat dalam satu tindakan yaitu sikap toleransi.

Di hari raya natal, sebagai umat Katolik yang dibesarkan ditengah keberagaman, saya percaya Indonesia di hari depan akan menjadi bangsa yang jauh lebih unggul dan selalu menghargai perbedaan. Pada akhirnya, terimakasih untuk semua saudara sebangsa yang sudah merawat keberagaman di tanah Indonesia. Karena kita adalah saudara yang hidup dari sejarah yang sama. Selamat hari raya natal.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya