Nasionalisme Dunia Ketiga dan Perkawinan Ideologi

Apa yang kita ketahui dari dunia ketiga? Terkadang kita sedikit bingung dengan demarkasi di antara dunia pertama, kedua, dan ketiga.
Istilah dunia ketiga pertama kali dapat kita temukan pada tahun 1952 ditulis oleh Alfred Sauvy di dalam majalah L’Observatuer. Apa yang kita pahami tentang demarkasi tersebut disesuaikan dengan arah politik dari masing-masing negara, misalnya dunia pertama diisi oleh negara Barat kapitalis berserta sekutunya seperti Amerika Serikat dan Britania Raya, negara kedua diisi oleh negara-negara komunis misalnya Uni Soviet dan Vietnam, dan dunia ketiga diisi oleh negara-negara yang tidak memihak kepada kedua kategori di atas misalnya negara-negara di wilayah Afrika.
Istilah-istilah tersebut dapat dikatakan tidak relevan dan membuat suatu pemisahan yang sangat diskriminatif. Kita dapat melihat bahwa rata-rata negara di dunia pertama diisi oleh negara yang ada di Barat dan merupakan salah satu upaya yang dilakukan—tanpa disadari—untuk mempertahankan supremasi Barat dan membuat negara-negara lainnya terintimidasi.
Tentu saja tidak hanya didasari oleh motif ekonomi, tetapi motif politik lebih kuat membayangi pembagian tersebut, sehingga setiap negara yang berada di luar dunia pertama akan merasakan dan mempertahankan inferiority complex-nya.
Secara historis kita dapat menyadari bahwa negara-negara di dunia ketiga memiliki sejarah kelam di bawah kolonialisme beberapa negara di dunia pertama. Dengan adanya pengalaman buruk dari masa kolonialisme kemudian membentuk perasaan takut, trauma, ketidakpercayaan, hingga perlawanan yang dapat memicu rasa nasionalisme yang mungkin adalah perkawinan ideologi-ideologi Marxis dan Humanis.
Nasionalisme Dunia Ketiga
Lenin merupakan salah satu orang yang menyadari bahwa pengaruh imperialisme dan perbudakan finansial yang dilakukan oleh segelintir orang terhadap banyak orang dapat memicu perlawanan dan gelombang pembebasan. Akibat adanya suatu ketidaktahanan dan kemarahan dari masyarakat lokal di bawah imperialisme, kebangkitan nasionalisme negara dunia ketiga merupakan fenomena yang membawa beragam jenis ideologi, khususnya ideologi pembebasan—ideologi yang mengacu dan menjadi seperangkat alat untuk melakukan perlawanan bagi masyarakat tertindas—banyak pergerakan ideologi, mulai dari Stalinisme, Castroisme, Maoisme, hingga Marxisme yang menjadi bervariasi sesuai dengan penerapan yang dilakukan oleh masing-masing koloni atau negara dunia ketiga.
Meski banyak variasi yang terjadi, kita dapat menemukan bahwa terdapat segelintir dasar Marxisme yang digunakan sebagai basis perjuangan kelas di sana. Pergerakan nasionalisme negara dunia ketiga pada dasarnya dapat dilihat pada kondisi perlawanan yang dilakukan melalui gerilya ketika perang berlangsung, kita menyadari bahwa tidak hanya kelas pekerja atau bahkan tidak terdapat kelas pekerja yang terlibat di dalam gerilya tersebut. Misalnya, China di bawah kepemimpinan Mao Zedong, para gerilyawan terdiri dari para petani yang jika kita telusuri secara historis pada dasarnya bukan bagian dari kelas pekerja, hal ini berdasarkan bahwa para pekerja tidak bisa menjadi gerilyawan karena mereka harus berhenti bekerja. Sehingga apa yang mungkin untuk menggantikan kelas pekerja dalam melakukan gerilya—misalnya merujuk pada kondisi masyarakat China pada waktu itu—adalah para petani.
Penggantian kaum proletar dengan kaum tani dianggap tidak sesuai dengan Marxisme, dan jika memang begitu maka revolusi tidak membutuhkan kapitalisme karena kapan pun dapat terjadi sesuai dengan pengorganisasian. Dan, dengan demikian—untuk perlawanan lanjutannya—akan ada suatu penegasan budaya, otonomi politik, dan identitas dari masyarakat yang pernah dijajah yang kemudian membentuk sikap anti-kolonialisme yang kemudian menyatukan masyarakat untuk membentuk nasionalismenya dalam bentuk-bentuk yang diterima secara umum di masing-masing negara dunia ketiga.
Perkawinan Ideologi Marxisme dan Negara Dunia Ketiga
Apa yang memicu perlawanan di sana? Imperialisme dan kapitalisme. Tentu saja, hal ini menjadi dasar dari kritik yang sering disampaikan oleh Marxisme itu sendiri dan terlihat dalam negara dunia kedua, misalnya Uni Soviet—meski secara tidak pasti Uni Soviet telah meninggalkan apa yang disebut sebagai Marxisme Ortodoks, khususnya di era Stalin.
Beberapa kondisi perlawanan yang terjadi di negara dunia ketiga didukung oleh berbagai elemen masyarakat dan tidak hanya terfokus pada para pekerja yang menjadi ujung tombak perlawanan karena kondisi kesengsaraan yang diderita oleh negara tersebut tidak hanya ditanggung oleh kelas pekerja saja. Beberapa di antaranya menerapkan prinsip-prinsip humanis terhadap masyarakat asli untuk meningkatkan kesadaran dan memicu perlawanan dengan membuat perbandingan antara kebijakan pemerintahan kolonial dan pemerintah lokal. Artinya, dengan adanya bentuk humanisme dan kritik terhadap kolonialisme atau imperialisme—pada dasarnya berakar pada Marxisme—kemudian membentuk berbagai ideologi atau cara pandang tersendiri yang sering disebut sebagai “sosialisme setempat atau lokal” yang kemudian tidak jarang juga dipengaruhi oleh sejarah perjuangan oleh negara-negara di dunia kedua, misalnya beberapa negara di Afrika mengadopsi Leninisme atau Stalinisme.
Di wilayah Afrika, khususnya. Terdapat “Sosialisme Afrika” yang kemudian memasukkan prinsip-prinsip perjuangan Marxisme ke dalam budaya-budaya lokal yang tentu saja melibatkan pertimbangan kritis terhadap warisan kolonialisme, keragaman budaya, dan kondisi ekonomi. Misalnya Ghana, Tanzania, atau Guinea.
Selain itu, terdapat satu pandangan lagi yang disebut sebagai Negritude, yang memang tidak berkaitan secara langsung dengan Marxisme, tetapi kita perlu memahami bahwa terdapat beberapa elemen yang mengkombinasikan beberapa perspektif lokal dan keinginan untuk pemerataan sosial atau keadilan sosial. Gagasan ini juga disebarkan oleh beberapa pemikir, misalnya Léopold Sédar Senghor atau Aimé Césaire. Gagasan ini berupaya untuk mengangkat kebudayaan Afrika dan melawan kolonialisme. Dalam wacana yang sama untuk merebut kembali posisi masyarakat Afrika untuk mengembalikan kejayaan kebudayaan Afrika di mata internasional. Meski beberapa di antaranya bukan merupakan derivasi langsung dari Marxisme, tetapi beberapa di antaranya mengedepankan prinsip komunal, keputusan kolektif, hingga perlawanan terhadap kolonialisme sebagai kritik nyata untuk kesetaraan manusia.
Apakah Mereka Marxisme Ortodoks?
Ketika kita berbicara tentang Marxisme Ortodoks, maka kita akan menemukan bahwa mereka bukanlah suatu Marxisme Ortodoks karena pada dasarnya mereka mengacu pada beberapa gagasan yang tidak sepenuhnya diperoleh dari Karl Marx itu sendiri, gagasan-gagasan baru tersebut juga berasal dari perkembangan yang diciptakan oleh para pemikir Marxis lainnya yang ada di negara dunia kedua.
Marxisme Ortodoks dapat kita temukan melalui berbagai karya yang ditulis langsung oleh Karl Marx itu sendiri sebagai bagian dari upaya untuk membentuk masyarakat tanpa kelas, namun kita juga memahami bahwa Marxisme Ortodoks pada dasarnya memang sulit untuk diterapkan, hal ini didasarkan pada kondisi dan analisa yang dilakukan oleh Karl Marx di dalam masyarakat Jerman pada waktu tertentu. Terkadang beberapa analisa tersebut cukup berbeda dengan kondisi sosial di beberapa wilayah berbeda, bahkan tidak semua negara memiliki kelas pekerja dalam jumlah yang banyak, misalnya di China dengan jumlah petani yang lebih mendominasi. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa perkawinan yang terjadi antara Marxisme dan perspektif lokal pada akhirnya akan menghasilkan gerakan baru yang dipengaruhi oleh berbagai elemen dan perkembangan politik dunia pertama dan kedua.
Artikel Lainnya
-
81009/05/2020
-
95317/04/2020
-
147128/05/2021
-
Mahasiswa dan Identitas Pergerakan
191113/06/2020 -
Rindu Pemimpin Berjiwa Pahlawan
128830/10/2020 -
Rasionalisme Kritis Karl Popper dan Masalah Fundamentalisme Agama
215325/03/2020