Narasi Pasca Kepemimpinan Jokowi

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Narasi Pasca Kepemimpinan Jokowi 11/07/2024 311 view Politik Presiden RI

Seiring dengan berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2024, kita memasuki babak baru dalam sejarah politik Indonesia. Dua periode kepemimpinan Jokowi telah membawa perubahan signifikan, baik dalam aspek ekonomi, infrastruktur, maupun sosial. Namun, seperti halnya dengan setiap transisi kepemimpinan, pertanyaan besar yang muncul adalah: apa yang akan terjadi setelah Jokowi? Bagaimana situasi politik akan berkembang? Tulisan saya ini mencoba menguraikan pemikiran kritis saya mengenai narasi politik Indonesia pasca Jokowi.

Selama dua periode, Jokowi telah meninggalkan jejak yang cukup mendalam di berbagai sektor. Pembangunan infrastruktur besar-besaran seperti tol trans-Jawa, pelabuhan, dan bandara baru adalah beberapa contohnya. Dalam bidang ekonomi, upaya untuk meningkatkan investasi dan memperbaiki iklim usaha telah dilakukan, meskipun tantangan masih banyak. Namun, keberhasilan ini juga diiringi dengan kritik, terutama terkait dengan utang negara yang meningkat dan isu-isu HAM.

Menurut Prof. B.J. Habibie dalam bukunya Detik-Detik yang Menentukan, "Pembangunan tidak hanya dilihat dari sisi fisik tetapi juga dari pembangunan sumber daya manusia." Oleh karena itu, pemimpin selanjutnya harus mampu melanjutkan pembangunan fisik sembari memperhatikan peningkatan kualitas SDM yang belum optimal di era Jokowi.

Pasca kepemimpinan Jokowi, Indonesia menghadapi tantangan politik yang tidak ringan. Pertama, stabilitas politik menjadi faktor utama yang harus dijaga. Transisi kekuasaan sering kali membawa gejolak politik yang dapat mengganggu stabilitas negara. Perlu ada jaminan bahwa perubahan kepemimpinan tidak akan membawa disrupsi signifikan dalam pemerintahan dan pelayanan publik.

Kedua, polarisasi politik yang semakin tajam selama beberapa tahun terakhir perlu diatasi. Pemilu yang baru saja usai menunjukkan betapa terbelahnya dukungan masyarakat. Jika tidak dikelola dengan baik, polarisasi ini bisa berkembang menjadi konflik yang lebih besar. Sebagaimana dikatakan oleh Samuel Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies, "Stabilitas politik adalah hasil dari kemampuan sebuah negara untuk mengelola konflik secara efektif." Maka, pemimpin pasca Jokowi harus mampu merajut kembali persatuan di tengah perbedaan.

Partai politik memegang peranan kunci dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan kebijakan. PDIP, sebagai partai yang telah mendukung Jokowi selama dua periode, perlu menyesuaikan strategi politiknya. Partai ini harus mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif atau tetap mendukung pemerintahan baru dengan tetap kritis.

Di sisi lain, partai-partai oposisi pada Pemerintahan Jokowi seperti PKS, yang mungkin saja akan beralih peran menjadi pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, juga harus menunjukkan kedewasaan politik. Mereka harus mampu menunjukkan bahwa kritik yang mereka lontarkan selama ini bukan sekadar retorika, tetapi juga disertai dengan solusi konkret. Ini penting untuk menjaga kredibilitas di mata masyarakat.

Pemerintahan pasca Jokowi perlu melanjutkan kebijakan ekonomi yang pro-rakyat. Tantangan terbesar adalah mengelola utang negara yang meningkat. Pengelolaan keuangan negara yang baik akan menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi. Selain itu, program-program sosial seperti Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat harus tetap diteruskan dan ditingkatkan kualitasnya.

Selain itu, peningkatan investasi dalam bidang teknologi dan pendidikan perlu menjadi prioritas. Dalam era digital ini, ketertinggalan teknologi bisa menjadi penghambat besar dalam perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, investasi dalam sektor pendidikan untuk menghasilkan SDM yang kompeten di bidang teknologi harus ditingkatkan.

Isu hak asasi manusia dan kebebasan sipil juga menjadi tantangan tersendiri. Selama kepemimpinan Jokowi, ada beberapa isu HAM yang mencuat, seperti penanganan aksi demonstrasi dan kebebasan berpendapat. Pemerintahan selanjutnya harus lebih tegas dalam menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan kebebasan sipil.

Sebagaimana diungkapkan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom, "Pembangunan sejati hanya dapat dicapai dengan menghormati kebebasan dan hak asasi manusia." Maka, pemimpin baru harus mampu menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan penghormatan terhadap hak-hak dasar warga negara.

Meski banyak tantangan yang harus dihadapi, ada alasan untuk tetap optimis. Indonesia memiliki potensi besar dalam berbagai aspek. Dengan sumber daya alam yang melimpah, populasi yang besar, dan letak geografis yang strategis, Indonesia memiliki modal dasar yang kuat untuk berkembang. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang visioner dan mampu mengelola potensi ini dengan baik.

Kepemimpinan yang inklusif dan berfokus pada kesejahteraan seluruh rakyat akan menjadi kunci sukses bagi pemerintahan pasca Jokowi. Pemimpin yang mampu merangkul seluruh elemen masyarakat dan mendengarkan aspirasi mereka akan mendapatkan dukungan yang kuat untuk menjalankan program-programnya.

Narasi politik pasca Jokowi akan sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintahan baru dan partai-partai politik menavigasi berbagai tantangan yang ada. Stabilitas politik, pengelolaan ekonomi, penghormatan terhadap HAM, dan peningkatan kualitas SDM menjadi kunci utama dalam menjaga keberlanjutan pembangunan yang telah dirintis oleh Jokowi. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat terus maju dan mencapai visi menjadi negara maju yang sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya