Narasi Paranoia dan Sikap yang Pantas Selama Pandemi
Kita berproses dan mengalami banyak ketakutan dalam hidup. Rasa takut itu muncul, dan mungkin spesies modern seperti kita bahkan mengalaminya berkali-kali. Wajar demikian, kita adalah makhluk paranoia paling kompleks, kita punya ancaman yang tak terbatas. Berbeda dengan binatang, sense of crisis kita adalah peluang untuk bertahan hidup.
Bayangkan saja selama ribuan tahun silam, paranoialah yang membuat nenek moyang kita terus berpikir soal taktis dan strategi atas ancaman, dan mengukur probabilitas untuk menang, semisal bertahan selama badai, cuaca ekstrim, serangan binatang buas, dan sebagainya. Mode survivabilitas inilah yang mengungguli kita dari spesies lain.
Dari refleksi ini, saya pun mengakrabi persoalan-persoalan sumir selama social distancing—seperti apa menjadi paranoia. Tepatnya bagaimana mode survival tersebut menyelamatkan kita dari pandemi corona. Seperti orang-orang prasejarah tadi? Bisa jadi, iya.
Saya kemudian berimajinasi, jika semua orang menjadi paranoia dan takut terhadap sekitar, maka mode survival ini mungkin bekerja efektif memutus mata-rantai penyebaran virus. Oleh karena semua orang melihat ancaman dan seharusnya mereka bertahan hidup. Namun, menghadirkan rasa takut kepada orang-orang adalah salah satu kejahatan terorisme. Oleh karena itu, saya mencari alasan lain.
Karena alasan terakhirlah saya berjibaku dengan beberapa catatan di media dan beberapa jurnal. Andrew Grove, mantan CEO Intel mengutarakan pendapat yang tidak biasa menurut saya, katanya, “Mari kita mulai, dengan mendefinisikan lebih tepat apa yang saya maksud dengan paranoia yang bijaksana.” Maksud Grove tentang paranoia yang bijaksana adalah dalam banyak kasus, paranoia berfungsi sebagai pertahanan yang sehat terhadap ancaman dari luar yang asli.
Kemudian cuitan Nassim Nicholas Taleb sebagai tanggapan atas isu corona, menurutnya, “without extreme paranoia, we can't survive.” Artikel serupa saya temukan di situs kajian media dan komunikasi remotivi.com, tentang bagaimana narasi ketakutan menyelamatkan kita selama pandemi.
Konflik Zero Sum dan Narasi Paranoia
Sejak WHO mengeluarkan status darurat pandemik corona, masyarakat global, termasuk Indonesia menyeriusi situasi tersebut. Di laman-laman media sosial tidak sedikit orang menyuarakan physical distancing. Saya kemudian memilih patuh dan berdiam diri di rumah. Selama masa karantina, saya justru menghabiskan waktu dengan banyak kegiatan. Paling tidak sedikit aktivitas untuk menepis rasa jenuh dan bosan.
Satu hal yang membuat saya kalut dan berpikir keras, di tengah imbauan pembatasan sosial, saya malah menemukan orang-orang mempersetankan imbauan dan mengabaikan sesama. Saya melewatkan banyak waktu tetap di rumah karena penting bagi kebaikan saya dan orang-orang sekitar. Dari permenungan ini, barulah saya sadar bahwa menciptakan narasi paranoia kepada orang-orang di sekitar seperti permainan zero sum.
Dua orang yang berkonflik pada umumnya diselesaikan dengan win-win solution. Tapi dalam situasi muskil sekarang, solusi ini hanyalah harapan muluk apabila berhadapan dengan orang-orang yang mempersetankan aturan. Maka kita harus berkonflik secara zero sum. Seseorang harus dipatahkan persepsinya dan terpaksa kalah. Bagaimana caranya?
Jawabannya adalah narasi paranoia. Terhadap situasi saat ini, penting untuk menghadirkan rasa takut kepada orang-orang di sekitar. Bukan untuk memperkeruh situasi, tapi agar masyarakat memilih jalan untuk survive dari ketakutan tersebut. Sejauh ini, baik pemerintah, media massa, organisasi keagamaan, maupun kampanye-kampanye sosial belum begitu yakin akan narasi ketakutan tersebut. Rentetan narasi yang melulu dan membuat jengah seseorang untuk menyelamatkan diri dari belenggu tersebut. Itulah paranoia yang kita butuhkan sekarang.
Seperti manusia prasejarah, ketika ancaman tiba, kita menjadi kreatif dan berpikir cara bertahan hidup yang tepat. Walter Cannon, seorang ahli fisiologi dari Amerika, pada 1915 menjelaskan bahwa pada umumnya manusia memiliki dua respons dalam menghadapi ketakutan, yakni respon melawan (fight) atau kabur (flight).
Mekanisme fight or flight merupakan hal yang sangat alami ketika manusia berada pada zaman prasejarah, di mana anacamannya adalah hewan buas atau cuaca ekstrim seperti badai. Berbeda dengan mereka, ketakutan kita sekarang lebih kompleks dan muskil.
“Fear is not necessarily a bad thing; it is one of the inbuilt human survival instincts,” (Duncan Muguku, 2016). Meluangkan waktu untuk memahami ketakutan dapat menawarkan wawasan yang berguna dan membantu untuk mempersiapkan rasa takut dan bahkan bekerja untuk mode survival.
Pada tingkat dasar, rasa takut memandu respons fight or flight dan membantu menjaga kita tetap aman dan hidup. Ketakutan meningkatkan indera dan kesadaran kita; itu membuat kita tetap waspada dan mempersiapkan hal-hal yang baik.
Urgensi Rasa Takut
Bayangkan sekarang anda menjadi paranoia—atau mungkin anda sekarang sedang paranoia. Apa yang anda lakukan untuk bertahan hidup di tengah pendemik corona? Secara pribadi, saya akan memilih untuk berdiam diri dan mengerjakan hal-hal positif di rumah. Ketakutan saya bukan pada secepat apa virus itu bereaksi dan menyerang tubuh saya. Tapi saya takut pada hal-hal yang terjadi sebelum itu. Untuk itu saya lebih waspada, saya patuh pada imbauan dan aturan pemerintah.
Secara literatif, kita tentu paham bahwa infeksi corona sangat rentan terhadap kontak tubuh manusia. Untuk itulah kenapa physical distancing sangat gencar dikampanyekan. Bukan semata-mata untuk meraup ruang sosial kita, tapi kebaikan bersama adalah persoalan sosial paling utama.
Saatnya kita rehat—menafikan ketakutan yang berpulun-pulun di kepala. Setelah kita melewati masa-masa sulit dan ketakutan ini, ceritakan kepada orang-orang di sekitar bagaimana kita bertahan hidup sejauh ini.
Artikel Lainnya
-
150812/05/2020
-
116717/08/2021
-
137607/06/2020
-
216920/02/2021
-
Kontrovesial: Strategi Politik Jitu Pemilu Serentak 2024
55513/12/2022 -
Bucin Itu Bukan Cinta dan Kebenaran Adalah Keberanian
92325/01/2023