Minggu #reformasidikorupsi ?
Jadi, bagaimana kita menyebut minggu-minggu ini?
Sebuah pengumuman, atau lebih tepatnya undangan, meluncur bebas di udara. Mengajak kampus mengosongkan kelas untuk turun aksi ke jalan. Gejayan nama jalan itu, diapit oleh dua universitas besar di Jogja.
Undangan tersebut dilengkapi dengan informasi tujuh tuntutan terhadap penguasa. Anda-anda tentunya sudah tahu apa saja isinya. Jadi tak perlu lagi dikutip di sini.
Undangan dunia maya itu merambat cepat. Sebagian besar mahasiswa menyambut haru. "Inilah saatnya kita menyampaikan pendapat di jalan", kira-kira demikian bisik hatinya. Membangunkan keberanian yang telah lama padam.
Adapun dosen, respon mereka bisa dibagi tiga. Ada yang tetap mengajar namun mengijinkan mahasiswanya bolos. Ada yang tidak mengajar sama sekali karena sebagian mahasiswa ijin demo. Dan yang terakhir, yang ini cukup progresif, "Kuliah kita pindah di jalan". Bahkan ada yang memilih menggunakan kata 'aspal' dari pada 'jalan'.
Senin 23 September itu memang spesial. Bukan hanya masyarakat kampus, tapi masyarakat luar juga ikut turun. Masyarakat tampak paham dengan apa yang terjadi. Bahkan ada yang berhasil mengabadikan momen menarik. Seorang warga membagi-bagikan buah kepada demonstran dari lantai dua rumahnya.
Viralisme itu terkait dengan vitalisme, kata seorang teman. Komentarnya ini kalau dipikir-pikir ada benarnya juga.
Belasan foto 'unik' bertebaran di lini masa dan media digital. Seolah mengikuti aksi damai #gejayanmemanggil itu. Sebagian tentang poster saru. Seolah ada kebebeasan hakiki di Gejayan. Dan.. hal-hal ini disukai media. Terlebih bila poster saru dipegang mahasiswi.
Bagaimana meriahnya di Gejayan menjalar ke Jakarta. Foto-foto kebahagian demonstran di Jogja agaknya menginspirasi millenial untuk ikut aksi di depan Gedung DPR.
Malang, sebagian besar belum punya pengalaman lapangan. Tak bisa membaca situasi, gagal mengenali tanda adanya penyusup dan kekerasan akan segera pecah. Yang terjadi kemudian, beberapa demonstran yang datang dengan damai seumpama di Jogja, menemui kondisi berbeda. Tiba-tiba mendapati diri mereka terjebak ditengah kepungan aparat yang maju dengan pentungan, tameng, gas air mata dan water canon. Korban berjatuhan.
Aparat malam itu berhasil memukul mundur mahasiswa dengan kekerasan. Sudah seharusnya demikian memang. Mengingat kerusuhan pecah di beberapa titik, fasilitas publik dirusak. Sebuah kejadian yang diluar rencana mahasiswa itu sendiri.
Namun amat disayangkan pengendalian situasi tersebut diiringi sikap kekerasan oleh aparat. Ada banyak cuplikan video di lini masa yang menunjukkan kekerasan oknum polisi. Memukul demonstran yang sudah menyerah, menghalangi tugas jurnalis, sampai dengan memasuki rumah ibadah tanpa etika.
Rabu, ah ini hari yang sama sekali berbeda. Tagar #stmmemanggil betul-betul memberi nuansa lain. Demonstran STM sudah merebut hari itu.
"Mengapa kok STM, bukan SMK?", meme di dunia maya bertanya. Lalu dijawab, "karena smk (esemka) sudah tercemar...". Sebuah sindiran bagaimana proyek mobil Esemka pemerintah kurang mendapat tempat di hati publik.
Anak-anak STM bersatu. Yang dulunya bermusuhan sekarang kompak bersahabat. "Mahasiswa yang orasi, kami yang eksekusi", "maaf kak kami terlambat, habis ujian dulu", cuit netizen. Semacam dukungan penuh terhadap aksi mahasiswa-STM. Tentunya dengan sejumlah keunikan yang menyertai.
'Unik', bukan 'aneh'. Dikatakan unik karena metode dan perilaku aksi sama sekali berbeda dari pakem.
Dari titik persembunyian, seorang anak STM menembaki polisi yang sedang berkumpul dengan pisang. Pistol-pistolan pisang, lengkap dengan suara derr..derr... Cium tangan petugas, bala bantuan setruk transformer, sampai menikmati ditembaki water canon.
Kenalan saya bilang, "Biasanya bawa clurit, klewang, samurai, dan gir untuk melawan lawan dengan persenjataan sama.. Kalau cuma ditembaki water canon, itu membuat mereka seolah sedang main air di waterboom".
Benar sekali komentar ini. Ketika yang satu minta air lagi, yang lain malah protes karena bukunya basah. Seakan ia mau bilang, "main air waterboom boleh saja, tapi jangan sampai buku ku basah. Nanti guru di sekolah marah karena pr tak selesai".
Demikianlah demonstrasi anak-anak STM. Ketika pendidikan politik belum terdapat di kurikulum sekolah, organisasi siswa, dan kehidupan keseharian, artikulasi pendapat menjadi unik. Dan saya paham bagaimana bingungnya aparat menghadapi demonstran seperti ini. Terlebih saat 'perang' berkecamuk, mereka tiba-tiba berhenti menyerang karena azan terdengar, "tahan dulu woi, gak pernah ngaji lu ya?" Lalu apa yang dilakukan aparat? Ya duduk jongkok, istirahat dulu sebentar.
Sejarah bukan hanya milik Jakarta, aksi juga terjadi di banyak tempat. Padang, Surabaya, dan Kendari, untuk menyebut beberapa tempat. Demonstrasi berjalan alot. Tuntutan rakyat tetap sama, keadilan pada UU yang sedang dibuat.
Lalu kemarin kita dikejutkan oleh tiga berita. Pertama, seorang mahasiswa aksi meninggal dunia di Kendari. Kedua, Menristekdikti mengancam rektor dan dosen yang membiarkan mahasiswanya turun ke jalan. Ketiga, dua aktivis Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu ditangkap aparat. Kabar terakhir Dandhy sudah dilepaskan dengan status sebagai tersangka. Sampai artikel ini situlis, saya belum mendengar kabar Ananda. Entah bagaimana kondisinya saat ini.
Lalu dari semua kejadian tersebut, bagaimana kita menamakan minggu-minggu ini? Minggu #reformasidikorupsi? Atau minggu yang mendebarkan? Atau minggu perlawanan? Atau bagaimana?
Apapun itu, Pemerintah memutuskan menunda sejumlah ruu beberapa hari lalu. Sedangkan massa aksi menginginkan pembatalan. Kata teori, ketika harapan dan kenyataan tak bertemu, protes sulit untuk berhenti.
Artikel Lainnya
-
151720/04/2020
-
14911/10/2024
-
116112/10/2021
-
Pilkades dan Momentum Pembangunan Desa
69012/10/2021 -
Kritik Ibnu Rushd Terhadap Al-Ghazali dalam Karya Tahafut Al-Tahafut
44430/11/2024 -
Tentang Akses Kursi Roda di Yogyakarta
95416/06/2022