Mewaspadai Gejolak Politisasi Agama 2024

Francis Fukuyama, ilmuwan politik-ekonomi Amerika Serikat pernah mengatakan, salah satu penyebab terjadinya keterpecahan dan kejahatan dalam negara demokrasi ialah heterogenitas sosial.
Dengan latar belakang beragam agama dan kebudayaan, Indonesia adalah salah satu negara yang jika tidak dikelola dengan baik akan berpotensi ambruk apabila kekuatan-kekuatan politik selalu digerakkan oleh mesin agama.
Hari-hari ini, ketika mesin agama masuk dalam ruang politik praktis dengan memainkan isu politik identitas, negara-bangsa akan tergerus, bahkan terjadi segregasi sosial. Negara-bangsa berada dalam ruang representasi agama dan menjadi rentan ketika gejolak politik identitas berakar, sehingga nalar menjadi lumpuh dan tumpul. Maka timbul ‘pergunjingan horizontal’ antara pemeluk agama yang berakibat pada konflik.
Catatan buruk ini selalu mengintai dan dirawat politisi berbaju agama dalam demokrasi kita dari tahun ke tahun. Bukan tidak mungkin, agama tetap menjadi ‘candu’ politik dalam Pemilu 2024.
Maka tugas kita adalah merawat bingkai ke-Indonesia-an dari perpecahan akibat politik identitas yang termanifestasi dalam politisasi agama, baik yang terselubung dalam ruang privat maupun secara terbuka di ruang publik.
Dalam tataran nasional, kita dikuatkan oleh hasil survei indeks kerukunan umat beragama (IKUB) yang dilakukan Puslitbang Kementrian Agama dalam lima tahun terakhir. Bahwa dalam lima tahun terakhir, rata-rata IKUB kita mengalami peningkatan yang cukup signifikan, kecuali pada tahun 2020.
Secara berurutan, kita melihat skor IKUB lima tahun terakihir antara lain; tahun 2018 skornya 70,9, tahun 2019 skornya 73,83, tahun 2020 skornya mengalami penurunan dengan angka 67,46, tahun 2021 skornya 72,39, dan tahun 2022 skornya mengalami peningkatan, 73,09.
Meski skor IKUB nasional rata-rata baik, namun tantangan untuk menjaga toleransi beragama tidak ringan, karena politik identitas baik terbuka maupun terselubung selalu membayang-banyangi wajah ke-Indonesia-an kita. Bahkan politik identitas dapat menggerus kohesi sosial bangsa Indonesia, jika tidak diwaspadai secara dini menjelang Pemilu 2024.
Sementara data indeks demokrasi di tingkat dunia yang dikutip dari DW.com (4 Februari 2021), pada tahun 2020, The Economist Intelligence Unit (EIU) melaporkan Indonesia menduduki peringkat ke-64, dengan skor 6.3 dari 167 negara di dunia. Skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Di Indonesia, EIU memberikan skor 7.92 untuk proses pemilu dan pluralisme. Sementara itu, fungsi dan kinerja pemerintah dengan skor 7.50, partisipasi politik 6.11, budaya politik 4.38, dan kebebasan sipil dengan skor 5.59.
Menurut Karyono Wibowo, Direktur Eksekurif Indonesian Public Institute, politik identitas menjadi salah satu indikator menurunnya indeks demokrasi di Indonesia, termasuk politik Pilkada Jakarta pada tahun 2017. Bahkan Karyono menilai, gejala politik identitas kembali mewarnai perhelatan pemilu 2024 (Bdk. Jawa Pos.com 21 Desember 2021).
Penilaian Karyono bukan tanpa alasan. Beberapa waktu terakhir misalnya, viral di media massa pemberian gelar nama Yohanes kepada mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam rangkaian kunjungan dan menghadiri perayaan Natal Nasdem di Papua, 8-9 Desember 2022.
Mengapa Agama?
Pertanyaan yang muncul ialah mengapa elit politik doyan menggunakan mesin agama untuk menggerakan dukungan dan simpati rakyat?
Jawaban paling vulgar adalah agama sangat laku di pasar politik. Mesti diakui, agama masih menjadi komoditas yang diperjualbelikan, dan tentu sangat laris untuk kalangan-kalangan konservatif-ekskluif yang melihat agama sebagai identitas tunggal, pemersatu kesadaran politik.
Bagi politisi yang memahami psikologi politik kaum konservatif-eksklusif, agama dengan mudah digadaikan dan diinstrumentalisasi sedemikian rupa. Caranya sangat mudah yakni mendekatkan diri dengan pemimpin agama (agamawan) serentak membentuk solidaritas semu dengan umat beragama.
Cara ini sangat mujarab, mengingat rasa keagamaan kita di Indonesia sangat kuat. Dapat dipastikan bahwa rasa keagamaan yang kuat dalam ranah politik praktis akan membentuk kesadaran kolektif tentang agama. Agama dapat dikatakan sebagai agen sosial yang mendisiplinkan cara berpikir. Akibatnya, masyarakat beragama kurang memikirkan dan memetakan isu strategis, baik ketimpangan ekonomi politik maupun hak asasi manusia.
Menurut hemat saya, ada beberapa kajian menjadi alasan adanya bertumbuh suburnya upaya politisasi agama di Indonesia. Pertama, semua orang diinternalisasi oleh doktrin dan terarah pada agama yang dianut. Agama bukan saja dilihat sebagai ‘candu’ melainkan kebutuhan hidup manusia, tempat penyerahan total. Agama menjadai terminus a quo serentak sebagai terminus a quem dalam memaknai hidup dan nilai-nilai yang melekat di dalamnya.
Konsep inilah yang dibangun oleh umat beragama, sehingga identitas agama begitu penting dan menjiwai keseluruhan dinamika hidup. Bahkan umat beragama melihat agama sebagai identitas tunggal, primer dibandingkan identitas lain.
Persis di sinilah letak celah dan akar masalahnya. Maka, elit politik atau politisi dengan gampang menyusup dan menggunakan semangat identitas tunggal (agama) itu untuk mensakralisasi politik.
Kajian Clifford Geertz seorang antropolog asal Amerika Serikat misalnya, melihat bahwa tingkat penyebaran agama khususnya Islam di Indonesia yang begitu besar menjadi alasan, dinamika politik berpusat pada agama. Agama dijadikan titik simpul paling efektif untuk menggodok kekuatan sembari pada sisi lain dijadikan mesin penggerak politik untuk melanggengkan isu identitas.
Menjadi problematis ketika penyebaran agama Islam yang begitu luas, dipadukan semangat konservatif-eksklusif “nasionalisme tribal” (agama), dengan mudah merangsang pemeluk agama untuk bersikap dan bertindak “orang kita-orang asing”. Dikotomi “orang kita-orang asing” ini menjadi malapetaka, deadlock, bahkan terjadi kemuduran dalam kehidupan demokrasi, karena orang akan senang memilih pemimpin sesuai agama yang dianutnya, tanpa sebuah diserment politik yang baik.
Kedua, akibat dari rasa “nasionalisme tribal” ini menurut analisis Bellah, bahwa agama akan menjadi keprihatinan paling dasar, besar, dan sensitif. Sebagai keprihatian dasar, maka dengan gampang elit politik mencebur diri dan menghembuskan nafas ‘persatuan’ agama. Elit politik akan besembunyi di balik jubah agama sambil memproklamasikan simbol-simbol agama untuk menciptakan ‘kesadaran palsu’.
Kesadaran palsu dalam wajah “nasionalisme tribal” tentu merusak nilai-nilai substansial demokrasi. Orang memilih elit politik tertentu bukan karena agenda-aganda strategis mengatasi ketimpangan ekonomi-politik, melainkan karena kesadaan akan ‘persatuan agama’,. Dengan demikian isu-isu nasional dan keprihatian bersama seperti kemiskinan, kelaparan, kekurangan air bersih, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain direduksi kepada pilihan berdasarkan agama.
Ketiga, agama seringkali dijadikan ‘monster’, kekuatan paling dasyat untuk menopang kehendak berkuasa. Agama menyerbu dan mensakralkan dunia profan (baca: politik). Peter L. Berger menyebut agama sebagai payung suci dan menjadi instrumen legitimasi terhadap kekuasaan.
Agama seringkali tampil dalam ruang publik sebagai payung yang memberikan perlindungan bagi umat (baca: elit politik) dalam meraih kekuasaan. Elit politik yang berlindung di bawah kekuatan agama akan dengan gampang meraih kekuasaan. Karena itu para elit politik berusaha “membeli” agama atau status keagamaan dalam mempersatukan kaum beriman.
Nalar Publik
Oleh karena itu, menurut hemat saya agama yang tampil pada ruang publik politik harus dalam kapasitasnya sebagai agen pencerahan bagi warga atau umat.
Otto Gusti Madung dalam bukunya ‘Post-Sekularisme, Toleransi dan Demokrasi’ memberikan garis demarkasi antara agama dengan politik. Menurutnya, agama yang tampil dalam ruang publik, hanya menjadi basis kekuatan moral-etis. Agama-agama dapat tampil dalam ruang publik politik hanya sebagai agen pemberi makna dan pembawa obor cahaya yang memberikan orientasi etis bagi manusia (Otto Gusti Madung, 2017: 36).
Agama hanya tampil sebagai jembatan antara keprihatinan publik (ketimpangan ekonomi-politik) dengan kebijakan politik yang terarah pada kebaikan bersama. Agama hanya menyodorkan perimbangan-pertimbangan moral-etik, serta kebajikan-kebajikan politik, bukan terlibat secara praktis mempropagandakan elit tertentu.
Iktihar agama adalah membangun nalar publik sekaligus basis epistemologis politik tentang kebaikan bersama, negara-bangsa.
Basis epistemis itulah dibangun untuk memampukan para pemeluk agama dalam menentukan posisi tepat berhadapan dengan kenyataan plural agama.
Itu berarti bahwa setiap warga agama harus memperhatikan prakondisi agama lain dalam penentuan pilihan politik.
Selain itu, warga agama harus memiliki sikap yang tepat berhadapan dengan prinsip yang berlaku dalam dunia politik yakni argumen-argumen sekular yang terarah pada kebijakan politik.
Titik temunya, agama harus melakukan transformasi, menerjemahkan kebaikan Tuhan dalam terang pertimbangan-pertimbangan logis penentuan elit politik yang terarah pada bonum commune.
Artikel Lainnya
-
62222/08/2021
-
73213/09/2020
-
86413/06/2020
-
Corona Adalah Cermin Mistisnya Negeriku
102327/02/2020 -
63021/08/2021
-
Kurikulum Merdeka Minus Etika Perubahan Iklim?
42423/07/2022