Metode Belajar Ala Al Ghazali

Metode Belajar Ala Al Ghazali 13/05/2022 698 view Pendidikan ceknricek.com

Setiap insan yang dapat berfikir pastilah pernah mengalami proses pembelajaran. Akan tetapi tidak semua pelajar bersungguh-sungguh dalam belajar. Ini menjadi satu masalah yang rancu jika seorang pelajar hanya setengah-setengah dalam mempelajari sesuatu.

Banyak kemungkinan yang terjadi, namun kemungkinan yang paling nampak adalah seorang pelajar tidak menunjukan dirinya seperti orang yang terpelajar. Dapat dilihat di masa sekarang, banyak orang-orang dengan mudah menyebarkan berita bohong tanpa menelisik lebih lanjut keaslian berita tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif yang amat besar apa bila berita tersebut meluas dan dikonsumsi oleh orang awam.

Pembelajaran yang tepat akan menjadikan seseorang lebih teliti dan tidak mudah percaya tentang segala sesuatu sebelum ia sendiri yang memastikannya. Seperti seorang filsuf muslim yang hidup pada abad ke 11 bernama Abu Hamid Al-Ghazali. Ia adalah seorang filsuf yang sulit untuk percaya dengan segala sesuatu, bahkan Al-Ghazali tidak percaya dengan filsafat sendiri.

Semasa hidupnya ia pernah menjadi seorang rektor di salah satu madrasah yang terkenal pada masa itu, Madrasah Nizamiyah. Madrasah Nizamiyah merupakan madrasah termasyhur di dunia pada waktu itu, karena pertama kali muncul dalam sejarah pendidikan Islam yang berbentuk lembaga pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, di mana pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah (Muthiah, 2011). Al-Ghazali pernah menjabat menjadi petinggi di Madrasah Nizamiyah.

Dalam masa hidupnya, Al-Ghazali mengalami kejadian luar biasa yaitu pencarian atas ketidakpercayaan akan segala sesuatu. Ia menelisik pencarian kebenaran dalam hidup ini. Rasa penasaran dan ketidakpercayaan Ghazali terhadap segala ilmu menjadikan ia seorang yang sangat meluas dan mendalam menjelajahi ilmu pengetahuan. Mulai pencarian kebenaran dari tradisi ilmu kalam hingga filsafat. Bahkan ia pernah mengkafirkan para filosof dengan Madzhab Aristotelian.

Sifat yang dapat dipedomani dari Ghazali adalah sebelum ia tidak percaya tentang sesuatu tradisi keilmuan terlebih dahulu ia mempelajari ilmu tersebut secara mendalam dan ia juga menuliskan tentang tradisi ilmu tersebut, maka tidak diherankan apa bila ia memiliki disertasi ilmiah yang begitu melimpah. Hal ini sangatlah positif apabila seorang pelajar mencontohnya, sebelum ia mempercayai tentang sesuatu sebaiknya seorang pelajar mendalami terlebih dahulu tentang apa yang ia percayai, bahkan percaya dengan madzhab agama yang ia anut.

Apa bila para pelajar pada masa sekarang mencontoh pengelanaan ilmu seperti Ghazali maka ia akan lebih memahami secara mendalam tentang ilmu yang dipelajari dan ia percayai sebagai sesuatu yang dianggap benar. Pencarian kebenaran ini juga bisa memicu perkembangan ilmu pengetahuan lebih maju dari sebelumnya.

Al-Ghazali juga menuliskan tentang sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pelajar di antaranya yatu peserta didik harus memuliakan, menghormati dan bersikap rendah hati terhadap pengajar; pelajar harus merasa satu bangunan dengan pelajar lainnya. Yang kemudian ide pemikiran Ghazali ini menjadi pedoman bagi pelajar dan pengajar, tidak hanya dari pengajar Islam akan tetapi juga diluar islam.

Ketimbang seorang pelajar hanya bertakwil dan mempercayai tentang sesuatu yang ia percayai tanpa menelisik lebih dalam terhadap apa yang ia yakini baiknya seorang pelajar menelusuri secara mendalam apa yang ia percayai dan ia anggap benar dan juga melihatnya dari prespektif yang berbeda. Sifat ini adalah sifat yang baik dan dapat mengembangkan pengetahuan dan juga menjadikan pribadi yang tidak mudah untuk menghakimi seorang yang berbeda pendapat dengannya karena suatu unsur tidak akan lepas dari unsur yang lain.

Sifat-sifat yang dimiliki Ghazali dalam pengelanaan ilmu adalah sebuah metode pembelajaran yang sempurna bagi seorang pelajar. Khususnya pada masa sekarang, ketika media berkembang dengan pesat, informasi yang bertebaran di media tidak semuanya dapat dipercaya, sebelum kita menjalaninya sendiri. Seperti di masa akhir pengembaraan ilmu yang dilakukan oleh Ghazali bahwa pada akhirnya ia mempercayai tasawuf sebagai metode dengan kemungkinan mendekati sebuah kebenaran. Karena tasawuf tidak dapat dipahami jika kita hanya mempelajarinya tetapi harus melaksanakannya untuk memahami sebuah kebenaran.

Bagaimana mungkin seseorang megetahui bagaimana rasa manis jika ia hanya membaca deskriptif tentang rasa manis, ia harus merasakannya sendiri agar ia mengetahui rasa manis itu sendiri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya