Merebut Kembali Yang Hilang

Milan Kundera (1999) menulis, “Satunya-satunya sebab orang ingin menguasai masa depan ialah supaya bisa mengubah masa lalu”. Kalimat ini seperti sedang memberikan satu semangat bagi kita untuk melakukan sesuatu atau lebih tepatnya memperbaiki keadaan sekarang agar menemukan diri kita diterima dengan baik di masa depan, sehingga memperbaiki masa lalu.
Selalu ada yang buruk yang terjadi, tetapi selalu ada perjuangan untuk memperbaikinya. Selama ada perjuangan, selama ada tekad, selama kita mau terlibat di dalam suatu perjuangan, kita menemukan diri kita menjadi lebih baik.
Tulisan ini hendak mendiskusikan suatu tatanan sosial masyarakat yang telah lama dikuasai dan mengalami suatu fase buruk dari segala macam agenda rezim yang tentu saja dapat kita pahami dan alami sampai hari ini.
Agenda rezim yang dimaksud lebih dilihat dari pola kebijakan yang memarjinalisasi tatanan masyarakat, sementara pada lain sisi semakin mendukung dan membentangkan karpet merah bagi korporasi untuk melakukan aktivitas bisnis.
Dalam kondisi demikian, pelaku bisnis malah hadir sebagai aktor yang menggerus dan merusak semua tatanan masyarakat secara habis-habisan. Kita menemukan banyak fakta tentang itu di tengah rezim yang semakin korporatis ini.
Rezim yang mendaku diri paling demokratis, reformis dan merakyat justru getol mengangkangi nilai-nilai demokrasi dan warisan reformasi ketika rezim dihadapkan pada kuasa oligarki. Apa yang tampak kemudian ialah suatu tatanan masyarakat yang dikooptasi di bawah agenda pasar. Sementara di saat bersamaan, penegakan hukum (rule of law), kebebasan berserikat, berpendapat, dan akses pemenuhan fasilitas dasar mengalami kebuntuan.
Negara dalam kondisi demikian tidak tampak sebagai pelindung bagi kepentingan rakyat, justru menjadi rezim predatoris dan agen komprador yang melicinkan kuasa oligarkis tetap dominan. Meminjam kata-kata Vedi, kelompok oligarkis ini tidak saja mampu menguasai negara secara struktural tetapi juga secara instrumental, dalam rangka menjamin kepentingan mereka sendiri (Rahadi T. Wiratama, 2005).
Dominasi oligarkis tampak dari agenda kebijakan negara, misalnya, omnibus law, dan revisi Undang-Undang KPK. Sementara, masyarakat sipil dan gerakan sosial terus mengalami kebuntuan di dalam upaya merebut hak-hak rakyat yang telah lama didominasi oleh kuasa oligarkis.
Di samping itu pula, sebagaimana dicatat Meuthia Ganie-Rochman dan Rochman Achwan (2006), di era pasca-Soeharto, di tengah lapangan politik yang terbuka dan terbentang luas, LSM-LSM kritis cenderung menjadi bagian di dalam sistem politik Indonesia dan kehilangan daya kekritisannya.
Saya berargumen bahwa di tengah dominasi kuasa oligarkis dan menguatnya agenda pasar dan minimnya upaya negara memfasilitasi pemenuhan akses terhadap kepentingan primer masyarakat miskin. Di samping itu terjadi pula penggerusan hak-hak warga, sehingga diperlukan semacam perjuangan ‘dari bawah’ merebut kembali hak-hak itu bagi kepentingan masyarakat. Karena itu, tulisan ini mendiskusikan mengapa hak-hak itu dirampas dari rakyat dan bagaimana strategi perjuangan di dalam merebut dan mengembalikan hak-hak rakyat.
Sebab, kuasa oligarkis sebagaimana catatan Robison dan Vedi Hadiz (2014) dan Winters (2011), hanya bisa dilumpuhkan melalui revolusi. Tetapi hemat saya upaya untuk mengurangi dan menurunkan kuasa oligarkis melalui resistensi dan gerakkan sosial lain bisa menjadi alternatif yang diperlukan bagi agenda kebijakan.
Karena itu, dibaca dari perspektif ini, kita mesti membangun sebuah konsep gerakan bagi kelangsungan pemenuhan hak-hak masyarakat miskin tercapai. Di sinilah mengapa topik seperti ini haurs kita diskusikan kembali dalam rangka menemukan format baru bagi gerakan masyarakat sipil dalam memenuhi hak-hak dasar mereka.
Akar Masalah
Menguatnya dominasi oligarki tentu saja bisa dipahami dari berbagai aspek. Ada tiga akar masalah mengapa dominasi oligarki tetap dominan sementara agenda penguatan demokrasi dan reformasi hukum kerap menghadapi jalan terjal dan buntu.
Pertama, menguatnya oligarki pasca runtuhnya rezim Orde Baru tentu saja terjadi di dalam lanskap politik – hukum yang terseret praktik korupsi. Institusi dan kelembagaan negara pascareformasi kerap kali dibajak oleh kepentingan elit bagi kelangsungan praktik koruptif.
Sementara kita juga menemukan negara ‘tidak serius’ dalam upaya pemberantasan korupsi, alih-alih melakukan revisi UU KPK yang tentu saja semakin memantapkan jalannya korupsi tumbuh subur. Sebaliknya, gerakkan aktivis antikorupsi kerap kali menghadapi kriminalisasi hukum dan rentan mengalami intimidasi, koersi dan pembungkaman.
Kedua, sebagaimana dicatat Kuskridho Ambardi (2009), partai politik pasca reformasi tidak hadir sebagai partai yang kompetitif, namun sebaliknya yang muncul adalah sistem kepartaian yang terkartelisasi.
Menguatnya partai berwatak kartel memberi kerangka baru bagi tatanan oligarki dalam mempertahankan posisi mereka. Sebagaimana dikemukakan Boni Hargens (Opini Kompas, 2020), oligarki memanfaatkan partai sebagai instrument untuk membangun kartelisasi, tetapi tujuannya bersifat oligarkis. Konsekuensi terburuk dari kartelisasi oligarkis menurut Boni Hargens (2020), partai terpisah dari masyarakat sipil.
Melalui kartelisasi parpol, oligarki semakin menemukan celah baru bagi kekuatan politik mereka baik dalam struktur pemerintahan maupun dalam agenda kebijakan. Pemilu dan pilkada memberi panggung bagi oligarki untuk memperoleh akses penguasaan terhadap sumber daya. Hal ini tentu terjadi akibat dari partai yang terkooptasi dan berwatak kartel. Kondisi ini memungkinkan oligarki mampu menguasai pemerintahan seperti yang terjadi sekarang ini.
Ketiga, absennya masyarakat sipil yang kritis berpotensi bagi oligarki semakin dominan. Demokrasi memerlukan kehadiran masyarakat sipil yang kritis dalam rangka mengimbangi kekuatan oligarki. Namun, pascareformasi, masyarakat sipil yang kritis justru tidak hadir sebagai kekuatan alternatif yang mampu memberi kerangka baru bagi penguatan agenda demokrasi.
Malah sebaliknya, masyarakat sipil yang kritis tersedot ke dalam jejaring agenda oligarki yang justru memecah kekuatan mereka. Saya berargumen, kondisi ini tidak memungkinkan adanya resitensi dari masyarakat sipil, sehingga praktik predatoris semakin merajalela.
Konsolidasi
Di tengah menguatnya oligarki dan lemahnya gerakan sosial yang dibangun, konsolidasi unsur masyarakat sipil yang kritis sangat berguna dan mendesak dilakukan dalam rangka memperkuat resistensi.
Tentu konsolidasi harus dimulai dari keadaan ekonomi-politik yang tidak memberi akses bagi keberlangsungan pemenuhan hak-hak masyarakat miskin. Di satu sisi, perlu dicatat, keberlangsungan konsolidasi harus dipompa dengan menekankan agenda penguatan demokrasi dan pemenuhan hak-hak masyarakat miskin.
Sementara upaya lain yang ditempuh ialah dengan mendorong konsolidasi ke tingkat yang lebih luas, dalam rangka menemukan sikap politik yang sama bagi tercapainya hak masyarakat miskin yang dirampas oleh oligarki. Karena itu, kekuatan massa sangat diperlukan. Sebab, kondisi hari ini memerlukan perubahan total dalam segala aspek yang selama ini telah dikuasai oleh kepentingan oligarki.
Artikel Lainnya
-
102325/08/2021
-
98913/02/2021
-
87010/12/2021
-
Dampak Tuntutan Pendidikan Orang Tua Terhadap Kesehatan Mental Anak
17630/10/2023 -
Membayangkan Tiga Periode Jokowi: Pelecehan terhadap Konstitusi
105801/04/2022 -
Kebebasan Berbicara dan Kebebasan Beragama
114815/11/2020