Merdeka Secara Politik, Terjajah Secara Sosial: Sebuah Paradoks Negara Indonesia
Di usia yang ke-79, Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam berbagai aspek. Sebagai bangsa yang merdeka, kita berbangga atas kemerdekaan politik yang telah kita raih. Namun, di tengah semarak menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, saya tidak bisa menutup mata terhadap paradoks yang menyelimuti bangsa ini. Meski merdeka secara politik, kita masih terjajah secara sosial oleh kesenjangan yang kian menganga.
Kesenjangan sosial di Indonesia adalah masalah yang nyata dan mendesak. Ketika berbicara tentang kemiskinan, saya teringat pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat sekitar 9,36 persen penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan per Maret 2023. Yang artinya, angka ini setara dengan 25,9 juta jiwa yang sehari-harinya berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Melihat fakta ini, hati saya terasa pilu. Bagaimana mungkin di negeri yang merdeka ini masih ada begitu banyak orang yang hidup dalam kekurangan?
Tidak hanya kemiskinan, kesenjangan pendapatan juga menjadi masalah yang signifikan. Data dari Oxfam Indonesia menunjukkan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir setengah dari total kekayaan negara. Sementara itu, 50 persen penduduk terbawah hanya menguasai sekitar tujuh persen dari total kekayaan. Ketimpangan ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin, menghambat upaya untuk menciptakan keadilan sosial.
Pendidikan, sebagai salah satu kunci untuk keluar dari kemiskinan, juga masih menjadi domain kesenjangan. Meskipun pemerintah telah berupaya dengan berbagai program, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), masih banyak anak-anak di daerah terpencil yang tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak. Data dari UNICEF menyebutkan bahwa sekitar 4,1 juta lebih anak Indonesia usia 7-18 tahun putus sekolah. Ketika saya melihat anak-anak yang harus menempuh jarak berkilo-kilometer hanya untuk sampai ke sekolah, saya merasa bahwa kemerdekaan yang kita rayakan belum sepenuhnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Kesehatan juga tidak luput dari bayang-bayang kesenjangan. Akses terhadap layanan kesehatan yang memadai masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah pedalaman dan terpencil. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa rasio dokter terhadap penduduk di Indonesia masih rendah, yakni sekitar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Ketika saya mendengar cerita tentang ibu-ibu hamil yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, saya merasa bahwa kita masih jauh dari cita-cita kemerdekaan yang sejati.
Perumahan layak juga menjadi mimpi yang belum terwujud bagi banyak orang. Mengutip dari situs Kompas.com mencatat bahwa, sekitar 36,85 persen rumah tangga di Indonesia masih menempati rumah tidak layak huni. Kondisi ini mencerminkan bahwa meskipun kita merdeka, masih banyak rakyat yang hidup dalam kondisi yang tidak layak.
Dalam refleksi saya, saya sering bertanya-tanya, apa arti kemerdekaan jika masih ada begitu banyak rakyat yang terjajah oleh kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan? Bagi saya, kemerdekaan sejati bukan hanya soal merdeka dari penjajahan politik, tetapi juga merdeka dari segala bentuk penindasan sosial. Kita perlu melihat kemerdekaan dari perspektif yang lebih luas, yaitu bagaimana setiap individu di negeri ini bisa merasakan kemerdekaan dalam segala aspek kehidupannya.
Kesenjangan sosial bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Saya yakin bahwa dengan kemauan politik yang kuat, kerja sama antar semua elemen masyarakat, dan kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial, kita bisa mengurangi kesenjangan ini. Kita perlu belajar dari negara-negara lain yang berhasil mengurangi kesenjangan sosial melalui kebijakan inklusif dan redistribusi kekayaan.
Saya teringat pada kata-kata Amartya Sen, seorang ekonom dan filsuf terkenal, yang mengatakan bahwa "Development is about expanding the freedoms that people enjoy." Pembangunan sejati adalah tentang memperluas kebebasan yang dinikmati oleh masyarakat. Di Indonesia, pembangunan yang kita impikan adalah pembangunan yang inklusif, yang memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang dan meraih kesejahteraan.
Kita tidak boleh puas hanya dengan kemerdekaan politik. Kita perlu terus berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan sosial, ekonomi, dan budaya. Sebagai bangsa yang besar, kita memiliki potensi yang luar biasa untuk mencapai itu semua. Saya berharap, di usia ke-79 tahun ini, kita bisa merenungkan kembali makna kemerdekaan dan bekerja lebih keras untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.
Dengan demikian, perayaan kemerdekaan kita akan menjadi lebih bermakna. Tidak hanya sebagai peringatan akan lepasnya kita dari penjajahan, tetapi juga sebagai momentum untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Hanya dengan begitu, kita bisa benar-benar merdeka, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara sosial dan ekonomi. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukanlah mimpi, melainkan cita-cita yang harus terus kita perjuangkan bersama.
Artikel Lainnya
-
331729/10/2023
-
251525/04/2020
-
97304/07/2021
-
120118/04/2021
-
Gaya Hidup Anak Muda dan Pinjaman Online
30316/11/2023 -
Ayolah, Jangan Berbuat Baik Supaya Masuk Surga
314706/12/2019