Menyoal Mitigasi Resiko Covid-19 pada Pilkada 2020

Penikmat udara bersih
Menyoal Mitigasi Resiko Covid-19 pada Pilkada 2020 03/12/2020 916 view Hukum suara.com

Tak lama lagi Indonesia akan merayakan hajatan demokrasi terbesar tahun ini tepatnya pada 9 Desember 2020, total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak adalah sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.

Tetapi tidak seperti Pilkada sebelumnya, Pilkada pada tahun ini dihadapkan dengan musuh tak terlihat, bukan serangan fajar melainkan pandemi covid-19 yang bisa menjadi ancaman serius bagi penyelenggaraan Pilkada tahun ini.

Dikarenakan Pandemi yang belum berakhir, para kontestan, konstituen, dan penyelenggara bisa saja bukan hanya menyerahkan suara tetapi juga meyerahkan raganya pada saat melakukan pemilihan di TPS. Mungkin terdengar seperti majas hiperbola tetapi apabila kita mencermati realitas sosial hari-hari ini, ancaman itu bisa saja terjadi. Per 27 November 2020 total kasus positif Covid-19 mencapai 523 ribu kasus, dengan jumlah pasien Covid-19 yang meninggal dunia sebanyak 16.521orang (Sumber Data: covid19.go.id).

Jumlah positif terus merangkak naik padahal di beberapa daerah masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat, dengan aturan protokol kesehatan yang menyertakan sanksi bagi pelanggar. Lalu bagaimana dengan Pilkada bulan Desember nanti?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada 2020, total ada 100.359.152 pemilih yang terdaftar dari 270 daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Serentak 2020. Maka dari itu jangan heran apabila tanggal 9 Desember kita akan melihat adanya mobilisasi massa besar-besaran ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Bisa saja akan terjadi bom waktu, klaster penyebaran covid baru akan muncul pasca penyelenggaraan Pilkada tahun 2020.

Pelaksanaan Pilkada ini adalah keputusan politik yang diambil oleh Pemerintah, DPR dan KPU. Meskipun telah jauh-jauh hari banyak elemen masyarakat yang mendorong agar Pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada, diantaranya PP Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, LSM, Akademisi dan beberapa elemen masyarakat lainnya.

Jika asumsi tentang “bom waktu” itu terjadi, maka ini adalah “alarm” bagi pemerintah agar menyiapkan ruang isolasi dan rumah sakit lebih banyak lagi, bukan hanya di perkotaan tetapi juga di kabupaten dan daerah-daerah terpencil lainnya. Karena hal ini adalah tugas negara yang diamanatkan oleh konstitusi agar negara menjamin kesehatan dan melindungi hak hidup segenap warga negaranya (Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945).

Menyoal Mitigasi Ressiko Covid-19 pada Pilkada 2020

Secara defenitif mitigasi resiko disebut sebagai langkah-langkah untuk mengurangi kerugian yang dapat ditimbulkan dari dampak resiko. Dikarenakan wujud resiko belum jelas maka perlu adanya pengelolaan resiko secara baik dan benar agar tidak berdampak secara luas.

Apabila dikaitkan dengan penyelenggaraan Pilkada 2020, mitigasi resiko Covid-19 harusnya sudah disiapkan jauh sebelum pelaksanaan pilkada. Namun faktanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2020 yang memuat tentang penerapan protokol kesehatan, baru ditetapkan pada tanggal 31Agustus 2020.

Pasal 63 Ayat (1) Peraturan KPU No. 10 Tahun 2020 menjelaskan bahwa kegiatan yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan dalam bentuk: a. rapat umum; b. kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser music; c. kegiatan olah raga berupa gerak jalan santai dan/atau sepeda santai; d. perlombaan; e. kegiatan sesial berupa bazar dan/atau donor darah; f. peringatan hari ulang tahun partai politik;

Kegiatan yang diizinkan oleh KPU memang dibatasi hanya 100 orang saja, tetapi secara faktual, acap kali terjadi praktek pelanggaran di lapangan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dalam dua bulan terakhir terdapat 2.126 pelanggaran protokol kesehatan. Dan dari jumlah tersebut, Bawaslu telah menerbitkan 1.618 surat peringatan terhadap pelanggaran protokol kesehatan.

Yang menarik bagi penulis bukan jumlah pelanggarnya saja, tetapi apakah pernah dicek, dari jumlah pelanggaran protokol kesehatan di atas, berapa banyak yang berimplikasi pada penyebaran Covid-19 dan persebarannya bagaimana? sehingga kita mengetahui secara real dari data statistik penyebaran Covid-19 yang setiap hari di update oleh website gugus tugas, berapa kasus yang telah disumbangkan dari pelanggaran protokol kesehatan Pilkada.

Mengingat bahwa mitigasi resiko Covid-19 tidak hanya harus dipahami saat periode kampanye saja tetapi juga pada saat pelaksanaan pemungutan suara di setiap TPS. Jangan sampai sukacita dalam pesta demokrasi berubah menjadi kabung bagi demokrasi itu sendiri hanya karena minimnya penerapan mitigasi resiko penyebaran Covid-19 pada Pilkada 2020.

Mengingat waktu pilkada yang sudah mendekati masanya, penulis beranggapan sudah seharusnya pemerintah ,penyelenggara pilkada dan instrumen negara lainnya melakukan upaya-upaya preventif dan meningkatkan Intensitas sosialsiasi terkait dengan protokol kesehatan semaksimal mungkin.

Karena apabila dicermati isu sosial politik hari-hari ini masih didominasi oleh isu yang tidak produktif, jarang sekali isu mengenai mitigasi resiko Covid-19 ini dibahas dalam perdebatan ataupun percakapan di kancah politik nasional. Karena bagaimanapun juga media adalah salah satu sarana yang dibutuhkan untuk melakukan edukasi publik berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan.

Peraturan KPU No. 10 Tahun 2020 belum cukup ampuh untuk mengurangi resiko penyebaran Covid-19 pasca Pilkada, mengingat secara substansi banyak kelonggaran-kelonggaran yang dimuat dalam ketentua Peraturan KPU tersebut. Ditambah lagi minimnya sanksi yang bisa memberikan efek jera bagi pelanggar protokol kesehatan juga menjadi suatu hal yang harus menjadi perhatian.

Maka kita tentu berharap agar para pemangku kebijakan bisa menghasilkan terobosan baik dari segi hukum maupun kebijakan publik yang solutif dan implementatif , agar jangan sampai Pilkada tahun ini meninggalkan sebuah impresif yang buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Hanya dikarenakan hasrat untuk memenangkan kontestasi Pilkada dan keselamatan rakyat dikesampingkan.

Di akhir penulis menyampaikan adagium latin yang diperkenalkan oleh filosof Romawi Kuno yang bernama Marcus Tullius Cicero “Salus populi supema lex esto” bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya