Menyoal Masalah Krisis Air di Ronggakoe

Beberapa minggu terakhir, di grup facebook Waerana sedang hangat dengan perbicangan terkait masalah (krisis) air. Barangkali di banyak tempat di Indonesia, masalah air merupakan masalah paling fundamental. Ini berkaitan dengan kegunaan dan manfaat air bagi sumber penghidupan manusia dan masyarakat. Karena itu, air sangat menentukan keberlanjutan suatu masyarakat, yakni tentang bagaimana mereka memproduksi lahan pertanian, tentu sangat bergantung pada ketersediaan air.
Di kelurahan Ronggakoe, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), masalah krisis air sangat memprihatinkan. Mengapa saya menyebut memprihatinkan? Ada dua argumen mendasar yang melatarbelakangi soal ini. Pertama, di Ronggakoe, masalah air sudah berlangsung sangat lama – bertahun-tahun. Di beberapa kampung seperti di kampung Rana Meti, Keros, Rasan, Kower, dan Waerana, serta beberapa kampung lain di Ronggakoe, akses masyarakat atas air sangat minim.
Bahkan, di beberapa kampung yang saya sebutkan di atas, masyarakat harus membeli air, yang diambil dari luar Ronggakoe. Padahal, sumber mata air di Ronggakoe sangat melimpah. Di kampung Kobok dan Mbelar, misalnya, memiliki sumber mata air yang bisa dikelola dan dimanfaatkan oleh pemerintah setempat untuk mendistribusikan air ke setiap kampung di kelurahan Ronggakoe. Pada titik ini, pemerintah setempat (lurah) mesti ambil tindakan konkret.
Kedua, di tengah kelimpahan sumber mata air itu, pemerintah kabupaten sudah mengucurkan beberapa proyek pengadaan air untuk memfasilitasi distribusi air ke setiap kampung yang ada di Ronggkoe. Masalahnya, proyek air yang sudah dikerjakan dan diimplementasikan kurang menghasilkan dan memberi dampak signifikan terhadap masyarakat. Di kampung Rasan, Kower, Rana Meti, misalnya, tetap mengalami masalah krisis air.
Argumen Keliru
Di tengah masalah krisis air di Ronggakoe, yang disebabkan karena minimnya inovasi pemerintah setempat (lurah) dan kurang bekerja efektifnya proyek air yang sudah ada, justru muncul anggapan yang keliru dan tidak memiliki jangkar pemahaman yang holistik dalam membaca masalah krisis air di Rongakoe. Kurang lebih yang saya catat ada dua argumen keliru itu.
Pertama, masalah krisis air di Ronggakoe disebabkan karena musim kemarau. Argumen ini sangat konyol. Seolah-olah yang menjadi masalah krisis air disebabkan karena musim kemarau. Padahal, kalau mau dibaca secara jujur dan berdasarkan fakta, di Ronggakoe masalah krisis air sudah berlangsung sangat lama – bertahun-tahun. Lalu mengapa yang penyebab masalah krisis air itu disebabkan karena musim kemarau? Di situ argument itu sangat prematur.
Kedua, debit air yang kecil, sehingga menyebabkan masalah krisis air di Ronggakoe. Buat saya, jalur berpikir semacam ini tidak serius mencari akar kenapa dan mengapa Ronggakoe mengalami masalah krisis air. Tanpa menyentuh aspek yang lebih fundamental atas masalah krisis air di Ronggakoe, menurut saya, argumen semacam itu tergelincir dalam cara pandang yang tidak argumentatif. Karena, selain tidak berlandaskan pada data dan bukti empiris, cara pandang itu juga abai dalam memahami sumber masalah krisis air.
Mengatakan masalah krisis air di Rongakoe akibat dari debit air yang kecil, menurut hemat saya, mesti ditelusuri. Minimal, ia mesti mengungkapkan hubungan kausalitas (sebab-akibat) mengapa dan kenapa debit air itu kecil dan seberapa jauh itu beresiko terhadap timbulnya masalah krisis air di Ronggakoe. Namun, jika hanya memproduksi statemen dan buah pikir semata ke ruang publik tanpa menjelaskan dengan bangunan premis yang bisa dipertanggungjawabkan, buat saya, di situ argumennya keliru.
Sementara, situasi dan kondisi di Ronggakoe, seperti di kampung Kobok dan Mbelar, memiliki sumber mata air yang melimpah, yang seharusnya dimanfaatkan. Apalagi hal ini juga didukung dengan letak geografis kampung Kobok dan Mbelar di atas ketinggian dari kampung yang lain di Ronggakoe. Seharusnya, potensi sumber mata air sangat bagus dan layak dimanfaatkan, agar masyarakat di Ronggakoe tidak mengalami krisis air.
Hak Publik
Penting diketahui, publik (warga) memiliki hak yang sama atas air. Artinya, hak publik terutama soal akses memanfaatkan air tidak boleh dibatasi. Masalahnya, pembatasan itu seringkali dihasilkan lewat kurang bekerjanya negara (pemerintah) dalam menyediakan dan mendistribusikan air. Peran yang terbatas disertai minimnya inovasi dan kreativitas, menjadi masalah serius yang mengakibatkan lahirnya masalah krisis air.
Dalam rangka mencegah masalah seperti krisis air itulah negara hadir untuk menjembatani agar kebutuhan warga atas air terpenuhi. Negara hadir di situ, memberikan proteksi dan jaminan ekonomi kepada masyarakat. Menurut saya, potensi itu yang seharusnya dikembangkan oleh pemerintah setempat (lurah) sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah di atasnya.
Kurang lebih ada tiga solusi yang saya tawarkan dalam mengatasi masalah krisis air di Ronggakoe. Meskipun tidak selamanya solusi itu permanen dan menjadi jalan keluar yang efektif. Pertama, pemerintah setempat (lurah) harus menginisiasi adanya kerja bersama dengan semua elemen masyarakat di Ronggakoe. Semua pihak harus dilibatkan dalam urusan penyelesaian masalah bersama. Inisiasi itu penting, karena negaralah yang memiliki fungsi pemaksaan serta otoritas untuk menjalankan dan menghimpun warga.
Lewat inisiasi itu, pemerintah (lurah) mengadakan pertemuan atau rapat bersama dengan masyarakat untuk sesegera mungkin mengimplementasikan keputusan-keputusan rapat. Bisa dibuatkan koordinator di setiap kampung, yang fungsinya mengkoordinir kerja menyelesaikan masalah bersama itu yakni, krisis air. Langkah-langkah seperti ini, menurut saya, bisa dilakukan oleh pemerintah (lurah) selama itu melibatkan semua komponen.
Kedua, lobi-lobi politik. Karena pemerintah (lurah) memiliki kuasa untuk menjalankan kekuasaan atas kehidupan masyarakat luas, maka ia bertanggung jawab menyelesaikan masalah di tengah masyarakat. Karena itu, lobi-lobi politik dengan pemerintah kabupaten, provinsi, dan lembaga-lembaga negara berwenang sangat penting untuk menyelesaikan masalah itu. Itu yang disebut sebagai kerja lintas sektor, untuk menghasilkan atau menyelesaikan masalah.
Ketiga, kolaborasi dengan swasta. Menurut saya, pemerintah setempat (lurah) bisa melakukan kerja sama atau kolaborasi dengan pihak swasta untuk menyelesaikan masalah krisis air. Kolaborasi dengan swasta bisa dilakukan mengingat potensi sumber mata air di Ronggakoe sangat bisa dimanfaatkan. Inisiatif untuk kolaborasi dengan swasta ini bisa diupayakan, dengan cara memberikan kesempatan kepada swasta untuk mengerjakan dan megatur keseluruhan pengerjaan proyek air.
Tetapi dengan catatan, perlu ada kontrak kerja yang transparan, akuntabel, dan kredibel dengan pihak swasta. Sebab, berbeda dengan negara yang orientasinya pada aspek public service (pelayanan publik). Pada swasta tidak berorientasi pada kerja pelayanan, tetapi mengedepankan profit. Karena itu untuk meminimalisir adanya berbagai masalah di kemudian hari, maka kontrak kerja sama harus menguntungkan kedua pihak.
Artikel Lainnya
-
6910/11/2023
-
218108/05/2020
-
130818/02/2021
-
Pilkada 2020 dan Imajinasi Anti Korupsi
163415/03/2020 -
91124/08/2021
-
Media Sosial: Cahaya dan Arah di Tengah Wabah
137103/04/2020