Menjaga Supremasi Hukum: Pilar Utama Penegakan Demokrasi

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Menjaga Supremasi Hukum: Pilar Utama Penegakan Demokrasi 16/09/2024 1129 view Hukum Istockphoto.com

Ada banyak hal yang sering kali menghantui pikiran saya ketika bicara soal supremasi hukum di negeri ini. Di satu sisi, kita ingin sebuah negara yang kokoh, stabil, dan adil. Namun di sisi lain, kita dihadapkan pada realitas yang tidak selalu sesuai harapan. Supremasi hukum, bagi saya, adalah salah satu kunci utama untuk mencapai keseimbangan ini. Sebuah tatanan yang dapat menjaga stabilitas negara, melindungi hak-hak setiap warga, sekaligus menjadi benteng dari penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam pengalaman saya sehari-hari, seringkali muncul pertanyaan mendasar: Bagaimana sebenarnya hukum bekerja di negara ini? Apakah hukum memang benar-benar dijunjung tinggi, ataukah hanya menjadi alat bagi segelintir orang yang memiliki kekuasaan? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan tanpa alasan, apalagi ketika kita melihat berbagai kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan yang tampaknya masih sering terjadi di negeri ini.

Namun, sebelum terlalu jauh berbicara tentang masalah-masalah tersebut, saya ingin menegaskan satu hal: supremasi hukum bukan hanya soal aturan tertulis yang harus dipatuhi. Ini tentang bagaimana aturan itu diterapkan dengan adil, tanpa pandang bulu, dan mampu memberikan perlindungan kepada semua orang. Dalam sebuah sistem demokrasi, hukum seharusnya menjadi pilar utama yang menopang kebebasan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Demokrasi tanpa supremasi hukum ibarat sebuah bangunan tanpa fondasi yang kokoh—cepat atau lambat, akan runtuh.

Saya sering mendengar bahwa salah satu tujuan utama supremasi hukum adalah untuk menjaga stabilitas negara. Stabilitas ini bukan hanya soal ketertiban sosial, tetapi juga tentang bagaimana hukum memberikan rasa aman bagi warga negara. Ketika hukum ditegakkan dengan adil, orang tidak akan merasa takut untuk menjalankan hak-hak mereka. Mereka tahu bahwa hak mereka akan dilindungi, dan jika ada pihak yang melanggar, hukum akan bertindak tanpa memandang siapa yang melakukannya. Dalam bukunya, John Locke pernah mengatakan, "Di mana hukum berhenti, di situ tirani mulai." Kutipan ini menggambarkan dengan jelas betapa pentingnya hukum dalam menjaga keseimbangan dan mencegah kekuasaan yang berlebihan.

Namun, di sini saya melihat sebuah ironi. Banyak orang berbicara tentang supremasi hukum, tetapi dalam praktiknya, hukum seringkali dipermainkan. Kasus-kasus besar yang melibatkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang, misalnya, sering kali berujung pada hukuman yang tidak sebanding. Rakyat melihat dengan jelas ketidakadilan ini, dan dari sinilah kepercayaan terhadap hukum perlahan-lahan terkikis. Ketika hukum kehilangan kredibilitasnya, stabilitas negara pun terancam.

Selain menjaga stabilitas, supremasi hukum juga penting dalam melindungi hak-hak warga negara. Saya percaya bahwa setiap individu memiliki hak yang sama di mata hukum. Namun, dalam banyak kasus, kita melihat bahwa hak-hak ini sering diabaikan, terutama bagi mereka yang berada di posisi lemah. Kelompok minoritas, masyarakat adat, bahkan masyarakat miskin sering kali menjadi korban dari sistem hukum yang tidak berpihak. Hak-hak mereka seolah-olah tak terlihat, tenggelam di tengah kepentingan pihak-pihak yang lebih kuat.

Saya teringat pada pernyataan Montesquieu, seorang filsuf asal Prancis yang mengatakan bahwa "Kebebasan berarti memiliki keamanan untuk menikmati hak-hak yang dimiliki." Bagi saya, ini adalah esensi dari supremasi hukum. Hukum seharusnya memberikan jaminan bahwa setiap orang dapat menikmati hak-haknya tanpa takut diabaikan atau diperlakukan tidak adil.

Namun, dalam praktiknya, saya sering merasa bahwa hukum kita belum sepenuhnya melindungi hak-hak tersebut. Masih ada banyak celah yang memungkinkan pelanggaran hak asasi manusia terjadi. Lihat saja bagaimana proses hukum sering kali berjalan lambat, atau bahkan berbelit-belit. Proses yang panjang dan tidak efisien ini hanya memperburuk situasi bagi mereka yang mencari keadilan. Tak jarang, pihak yang benar-benar membutuhkan perlindungan hukum justru merasa frustrasi karena sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka malah terasa menjauh.

Selain itu, supremasi hukum juga memainkan peran penting dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Ini mungkin salah satu hal yang paling sering saya renungkan. Kekuasaan, pada dasarnya, memiliki potensi besar untuk disalahgunakan, terutama jika tidak ada sistem yang mengawasi dan mengendalikan. Di sinilah hukum harus tampil sebagai pelindung, sebagai penyeimbang yang memastikan bahwa kekuasaan tidak digunakan secara sewenang-wenang.

Tanpa hukum yang kuat, kekuasaan bisa dengan mudah beralih menjadi tirani. Di sinilah pentingnya penegakan hukum yang transparan dan akuntabel. Pengadilan harus independen, tidak boleh ada intervensi politik dalam proses penegakan hukum. Jika hukum dapat ditegakkan dengan benar, maka kekuasaan akan terkendali, dan demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Namun, tentu tidak mudah untuk menjaga supremasi hukum di tengah berbagai tantangan yang ada. Korupsi, konflik kepentingan, dan kurangnya transparansi adalah beberapa hal yang sering kali merusak integritas sistem hukum. Tetapi saya tetap optimis. Saya percaya bahwa dengan tekad yang kuat, reformasi hukum yang menyeluruh, serta partisipasi aktif dari masyarakat, kita bisa membangun sistem hukum yang benar-benar adil dan berfungsi untuk kepentingan bersama.

Pada akhirnya, saya melihat bahwa supremasi hukum bukan hanya tentang menjaga ketertiban atau menegakkan aturan. Ini adalah soal melindungi martabat manusia, memberikan rasa aman, dan menciptakan keadilan bagi semua orang. Bagi saya, ini adalah pilar utama yang harus selalu kita jaga jika kita ingin demokrasi kita tetap berdiri kokoh.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya