Menjadi Sukses dengan Cara yang Berbeda

Setelah tiga bulan lamanya saya berada di rumah saja, tepatnya di rumah orang tua tempat saya mengeluarkan tangisan pertama. Ya, setelah kurang lebih dari delapan tahun lamanya, semenjak saya memutuskan untuk menimba ilmu di kota, baru ini kali pertama saya menghabiskan waktu terlama di kampung bersama keluarga.
Maklum saja, selama kuliah saya terbiasa dengan seabrek kegiatan ekstra kampus ala-ala mahasiswa kura-kura (kuliah rapat - kuliah rapat). Selain karena jarak antara kampung dengan kampus saya yang lumayan menyita tenaga serta didukung dengan ongkos yang tidak murah, sejumlah kegiatan kampus tadi telah berhasil menyita waktu luang saya.
Mungkin ini salah satu hikmah dari Covid-19 yang tengah mewabah. Saya bisa menikmati quality time bersama keluarga dan yang tidak kalah penting adalah perbaikan gizi biar tidak dikira mengidap penyakit atau semacamnya. Maklum saja, hingga menamatkan pendidikan magister, saya termasuk anak kost yang sudah terbiasa dengan makan seadanya dan kerap kali tidak teratur. Jadi wajar saja, kondisi fisik terlihat kurang tampak sejahtera.
Selama di kampung saya menjalani aktivitas layaknya gadis-gadis desa biasa. Banyak menghabiskan waktu di dapur, di sumur tapi tidak dengan di kasur. Maksudnya saya bukan generasi muda yang membawa perubahan dengan rebahan, apalagi ditambah dengan status saya yang masih setia menyandang predikat singlelillah. Jadi, saya bertemu kasur hanya pada saat mau tidur saja.
Akibat aktivitas saya yang monoton hanya itu ke itu saja, banyak pihak yang bertanya-tanya. Mungkin bisa jadi ini hanya anggapan saya saja. Tetapi, lontaran pertanyaan kerja apa dan kenapa kok belum bekerja, berhasil membuat panas telinga. Kalau bisa saya teriak, “woii, saya di rumah karena adanya pandemi, memangnya ada yang bisa menjamin kalau saya masih beraktivitas di luar sana masih bisa selamat dari serangan virus corona?”.
Selama pandemi mewabah, saya lebih memilih untuk berdiam diri di rumah saja dan tetap mengerjakan beberapa pekerjaan dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Atau bahasa kerennya Work From Home (WFH). Saya banyak berkecimpung di dunia penelitian dan penulisan. Saya begitu menyenangi dunia ini. Mungkin profesi ini jarang atau bahkan nyaris tidak ada disandang oleh perempuan lain di kampung saya. Makanya, sulit untuk menjelaskan saya itu bekerja apa dan dimana. Untuk itulah saya kerap kali lebih memilih untuk diam seribu bahasa, jikalau ditanya perihal pekerjaan.
Mereka lebih populer dengan profesi guru dan tenaga kesehatan, yang identik dengan seragam (baca: baju Pemda), penampilan mentereng serta kantor yang megah. Stigma masyarakat masih dibangun berdasarkan seragam, penampilan dan kantor. Tidak berseragam berarti tidak bekerja. Dan, tidak punya kantor juga tidak bekerja. Ini menandakan bahwa, masih banyak masyarakat desa yang belum tersentuh modernisasi berfikir. Bisa dikatakan masih tergolong konservatif secara pemikiran. Saya merasa tidak hidup di masa revolusi industri 4.0. Di belahan benua lainnya, manusia telah berfikir dan menerapkan revolusi 5.0. Sementara kita, dengan revolusi 4.0, masih saja gagap mengaplikasikannya. Dapat dibayangkan betapa ketertinggalannya bangsa kita.
Dewasa ini, begitu beragam profesi di luar sana yang bisa dijadikan “ladang”. Kemajuan teknologi telah membuka kesempatan seluas-luasnya, agar siapapun bisa berkarya dan kreatif memanfaatkannya. Seragam dan kantor bukan lagi menjadi sarana wajib dalam bekerja. Baju apapun bisa dianggap sebagai seragam dan dimanapun tempatnya bisa dijadikan sebagai kantor.
Bagi saya, apapun yang dilakukan selagi itu produktif, sudah termasuk kategori bekerja, terlepas ada atau tidaknya kantor dan seragam yang dipakainya. Seperti, saya bisa jadi sejarawan tanpa harus berseragam. Saya bisa menulis dimana pun dan kapan pun saja, tanpa harus memiliki kantor yang megah. Selayaknya kita bisa mengapresiasi dan menghargai profesi yang tidak “berseragam” di luar sana. Saya mengamini apa yang dikatakan oleh Tan Malaka. “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Saya harap para lulusan sarjana juga berfikir demikian. Tercerahkan setelah menempuh pendidikan di bangku kuliah. Lakukan apapun yang bisa dikerjakan. Jangan tunggu kantor dan seragam dulu baru mau bekerja.
Mungkin saya termasuk salah satu perempuan yang memiliki haluan berbeda. Di saat sebagian perempuan memilih untuk menikah di usia muda, sementara saya lebih memilih menempa diri dengan sekolah dan sekolah. Termasuk jenjang karir yang berbeda dengan kebanyakan perempuan-perempuan lainnya yang ada di kampung saya. Bukan perkara jumlah materi dan puja puji sana sini, bagi saya mengerjakan sesuatu yang menyenangkan diri sendiri, itulah kemerdekaan yang sejati. Satu hal yang harus disadari bersama, bahwa pendidikan diberikan bukan untuk kebutuhan mencari kerja, tetapi supaya berakhlaqul karimah dan memperhalus jiwa.
Artikel Lainnya
-
7607/02/2023
-
705628/11/2020
-
50926/03/2022
-
Beasiswa dan Idealisme Para Penerimanya
62617/08/2020 -
Mengenal Diri Sendiri dan Sufisme Ala Adam Smith
11824/01/2023 -
Reduksi Nilai Keperawanan di Tengah Pandemi Corona
109223/05/2020