Meninjau Ulang Kearifan Lokal Tanah Sangkolan

Mahasantri Mahad Aly Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo
Meninjau Ulang Kearifan Lokal Tanah Sangkolan 02/12/2020 2466 view Budaya piqsels.com

Di Madura terdapat sebuah kearifan lokal yang diistilahkan tana sangkolan. Secara leksikal, tana sangkolan berarti ‘tanah sakral yang diberikan’. Tana sangkolan merupakan tanah leluhur yang terus diwariskan secara turun-temurun. Tanah sangkolan biasanya bukan merupakan pekarangan rumah, melainkan sebuah tanah berupa ladang atau sawah. Orang Madura sangat menjaga tanah sangkolan, karena tanah itu dianggap simbol kecintaan terhadap leluhur sekaligus dianggap memiliki kesakralan.

Sebagai bentuk menjaga sawah atau ladang yang merupakan tanah sangkolan, orang Madura tidak berani mengalih-fungsikan tanah itu (semisal menjadi perumahan). Tentu, orang Madura tidak berani menjual tanah sangkolan, demi menjaga kesakralan. Ketika harus menjual tanah sangkolan, karena keadaan mendesak (semisal kebutuhan hidup), orang madura akan menjualnya hanya kepada keluarga, bukan kepada orang lain (yang bukan keluarga).

Pada masa kini, kearifan lokal tanah sangkolan perlahan memudar maknanya dalam realita. Tanah warisan itu kini, tidak lagi memiliki nilai kesakralan bagi orang Madura. Hanya dinilai sebatas benda biasa yang diwariskan –layaknya warisan emas, uang dan sebagainya– sehingga pudar dari makna kearifan lokal yang dipahami oleh orang Madura dahulu.

Dimulai sejak jembatan Suramadu beroperasi, para investor secara berkala hingga saat ini terus berkembang mengunjungi tanah Madura. Bahkan banyak ideologi dan corak pemikiran kekinian yang terus berkembang mengunjungi tanah Madura. Imbasnya, persentase tanah Madura yang diduduki oleh pengusaha atau investor luar terus meningkat. Dan semakin banyak orang Madura yang bercengkrama dengan ideologi dan corak pemikiran kekinian.

Kuatnya corak pemikiran kekinian dan masuknya para pengusaha dan investor, menjadi dua penyebab yang saling berokolaborasi mengikis kearifan lokal tana sangkolan. Sehingga bagi orang Madura saat ini, tidak ragu untuk menjual tanah sangkolan kepada investor karena tergiur pada harga yang ditawarkan dan hanya menganggap tanah sangkolan sebagai benda biasa.

Sebagai gambaran, di salah satu desa ujung timur pulau Madura bernama Andulang tepatnya di Kabupaten Sumenep telah rampung penjualan tanah sekitar 25 hektar berpindah kepemilikan kepada investor (menurut kabar bahwa investornya dari Tiongkok) untuk dijadikan tambak udang. Di kecamatan Batang-batang dan Dungkek, sudah banyak tanah yang terjual, terutama di daerah pesisir. Bahkan tanah di dekat makam Syekh Mahfudz seorang keturunan Sunan Kudus (lebih dikenal Asta Gurang-Garing) pun telah terjual.

Dari sekian tanah yang telah terjual di Madura demi kepentingan pengusaha atau investor, dipastikan bahwa tanah itu adalah tana sangkolan yang telah kehilangan tuah atau kesakralannya. Menurut kabar, bahwa tanah-tanah itu akan difungsikan bermacam-macam, antara lain ada yang ingin dijadikan perkebunan kapas, peternakan, dan sebagainya. Bahkan ada yang ingin difungsikan untuk menyulap desa menjadi kota. Kabar ini, bukan kabar belaka karena telah masuk road map-nya Pemprov Jatim.

Adanya fenomena tana sangkolan kehilangan tuahnya sebagai salah satu kearifan lokal di Madura, menandakan adanya problem sosial-budaya dalam perkembangan era saat ini. Hilangnya nilai kesakralan pada tanah sangkolan yang dirampas oleh perkataan logika yang menilai tanah sangkolan sebagai benda biasa layaknya benda-benda lain, menjadi hal mendasar yang perlu dikaji untuk mempertahankan berbagai kearifan lokal (secara umum).

Fenomena di atas bisa dianggap sebagai nestapa orang modern (meminjam perkataan Sayyed Hosen Nasr). Bahwa corak pemikiran saat ini cenderung memisahkan antara hal bersifat estetik dengan logika, sehingga sering memunculkan dikotomi bahwa ini pikiran dan itu pesrasaan, ini intelektual dan itu intuisi, ini realita dan itu mitos belaka, dan seterusnya. 

Dikotomi semacam ini, akan mendorong kreteria berpikir binner oposisi. Lalu yang mana akan dinilai positif, intelektual atau intuisi, logika atau estetik, pemikiran atau perasaan? Jawabannya jelas, tergantung siapa atau apa yang memegang kendali. Sehubungan dengan  pemegang kendali era kini adalah “barat” yang berporos pada rasional, jawaban kreteria oposisi binner itu adalah intelektual sebagai positif dan intuisi sebagai negatif, logika sebagai positif dan estetik sebagai negatif, pemikiran sebagai positif dan perasaan sebagai negatif.

Pada satu sisi, fenomena tana sangkolan kehilangan tuahnya sebagai salah satu kearifan lokal di Madura adalah manifestasi dari corak pemikiran kekinian yang cenderung membedakan logika dan estetik, hingga mengabaikan hal-hal yang bersifat estetik.

Secara singkat, banyak orang Madura saat ini akan berkata: “tana sangkolan sebagai simbol kecintaan kepada leluhur, hanya sebatas mitos belaka”, “tana sangkolan tak boleh dijual karena memiliki kesakralan, itu hanya perasaan kolot semata”, “tanah sangkolan memiliki tuah, hanya kebenaran yang tidak bisa bisa dibuktakan dengan nyata”, “orang menjual tana sangkolan lalu dianggap tak cinta pada leluhurnya, itu tidak bisa diterima oleh logika”, hingga mereka berkata “lebih baik tana sangkolan dijual dengan harga tinggi seperti yang telah ditawarkan karena itu jelas bermanfaat dan jelas menguntungkan”.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya