Mengurai Polemik Kepolisian dan Bayang-bayang Kekerasan

“Rajin baca jadi pintar, malas baca jadi polisi”, kalimat ini benar-benar menjadi meme yang seringkali terlihat di media sosial. Salah satu bentuk kecil ekspresi publik terhadap kinerja kepolisian. Bukan sekadar ejekan biasa atau kebencian yang tidak beralasan. Melainkan bentuk keresahan yang terus menumpuk terhadap institusi keamanan tersebut.
Sebuah survei terbaru oleh LSI menunjukan rendahnya kepercayaan publik terhadap instansi yang satu ini. Tingkat kepercayaan publik terhadap Polri tersebut menurun dari tahun 2022 lalu dan hanya menyentuh angka 45 persen. Data menurut LSI tersebut menunjukan secara sosio demografis penurunan kepercayaan masyarakat terhadap Polri sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat.
Tampaknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menegaskan peran-peran strategis polisi sebagai instansi penegak hukum, pelindung, pengayom dan pembimbing masyarakat, layak dipertanyakan kembali oleh publik. Bagaimana tidak, peran-peran ini seringkali terbantahkan lewat berbagai tindakan-tindakan di lapangan yang tidak cukup mencerminkan wajah kepolisian yang sepantasnya.
Rapor Merah Kepolisian
Sedikit saja mengulas beberapa catatan buruk kepolisian pada tahun 2024 lalu, dimulai dari indikasi keterlibatan institusi Polri dalam pergelaran pesta demokrasi, seperti dalam kontestasi Pilkada. Temuan Tempo secara serius melihat keterlibatan Polri sebagai alat pukul dengan menggunakan hukum untuk menekan kandidat yang tidak didukung (Tempo, 2024). Ini membuat sarkasme dengan sebutan “Partai coklat” menjadi semakin identik dengan kepolisian.
Selain dianggap mencederai prinsip netralitas, lembaga ini juga terlibat dalam beberapa rentetan kasus kekerasan terhadap masyarakat. Dalam data yang ditemukan oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) terdapat sebanyak 645 kekerasan sejak Juli 2023 yang melibatkan polisi. Data serupa juga ditampilkan oleh Amnesty Internasional Indonesia yang mencatat telah terjadi kekerasan oleh oknum aparat sejumlah 116 kasus kekerasan, dimana 576 orang menjadi korban dalam kasus kekerasan oleh polisi tersebut.
Sebut saja beberapa kasus kekerasan yang memantik keriuhan publik kemarin, bocah 13 tahun Afif Maulana yang ditemukan tewas tak bernyawa di bawah jembatan Kuranji, Padang. Parahnya bocah yang terbukti tewas karena penyiksaan oleh aparat, malah dituduh meninggal akibat kelalaiannya sendiri yang jatuh ke dalam sungai. Hal serupa juga menimpa seorang siswa SMK di Semarang yang tewas didor karena dianggap melawan saat ditahan akibat terlibat tawuran. Skenario palsu ini tidak bertahan lama, sebab bukti-bukti rekaman CCTV di lapangan tidak menunjukan terjadinya tawuran antar pelajar di sekitar lokasi kejadian.
Sederetan kasus kekerasan aparat seakan memberitahu bahwa janji Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan pendekatan yang lebih humanis terbukti gagal. Rupanya hal ini bukan barang baru sebab setiap tahunnya hampir ada saja kasus-kasus kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian. Belum lagi istilah “No Viral, No Justice”, sebuah pernyataan yang menggambarkan sikap aparat kepolisian yang baru turun melakukan tugasnya jika kasus tersebut sudah viral di media sosial.
Bagaimana Kekerasan Aparat itu Mungkin?
Wacana tentang Revisi UU Polri menunjukan bagaimana peluang kekuasaan institusi kepolisian dalam mendominasi kehidupan sipil. Sebenarnya hal-hal semacam itu sudah banyak terpampang ketika ditunjuknya orang-orang Polri untuk menduduki jabatan seperti Kepala BRIN, KPK, hingga BNN. Meskipun sudah sejak dulu posisi-posisi ini diduduki oleh kalangan militer dan polisi. Namun, posisi-posisi lain seperti Bulog, Kementrian, hingga Kedutaan besar juga melibatkan orang-orang tersebut.
Disertasi Jacqueline Baker berjudul “The Rise of Polri: Democratisation and the Political Economy of Security in Indonesia” yang sudah terbit 12 tahun lalu nyatanya masih sangat relevan dikaitkan dengan situasi saat ini. Bahkan Baker dalam analisisnya menunjukan bahwa pasca reformasi dengan gelombang demokratisasi yang disambut baik oleh publik, justru menghadirkan restrukturisasi dalam ekonomi politik keamanan. Akibatnya ini memfasilitasi kebangkitan Polri sebagai lembaga dan aktor yang menyimpang atau keluar dari jalur yang diharapkan (Baker, 2012).
Dengan kata lain, peralihan kekuasaan otoriter-militer menuju kekuasaan sipil-yudisial justru memulihkan otoritas institusi Polri sebagai aktor kelembagaan yang hegemonik sekaligus dapat bertindak semena-mena. Kebangkitan Polri dengan keistimewaan yang didapatkannya ini tidak lepas dari kedekatan institusi ini dengan kekuasaan eksekutif seperti presiden. Hal ini memungkinkan terjadinya politisasi terhadap institusi tersebut.
Dengan otoritas semacam ini, membuat harapan menjadi institusi yang humanis masih terhalang kabut lebat. Berbagai kekerasan yang melibatkan polisi tidak lepas dari bagaimana institusi ini secara struktural begitu akrab dengan lingkaran kekuasaan. Faktor tersebut membuatnya dapat digerakan menjadi alat pemukul dan CCTV berjalan yang tugasnya menakut-nakuti atau bahkan saja lebih.
Pengelompokan institusi semacam ini yang dapat disebut oleh Louis Althusser sebagai Aparatus Negara Represif. Ketika kontrol ideologis gagal dan tidak lagi memadai, maka kerja aparatus represif dibutuhkan untuk melakukan tindakan pendisiplinan hingga kekerasan untuk memperkuat aturan kekuasaan hegemonik kelas dominan (Althusser, 2015).
Repotnya lagi secara formal kehadiran institusi keamanan ini begitu substansial bagi integritas sosial dan penegakan hukum, sehingga sulit bagi masyarakat biasa mengintervensi lembaga sebesar ini. Kondisi tersebut dapat juga menjadikannya kebal akan hukuman. Uniknya lagi lembaga yang setiap tahunnya membuka rekrutmen secara besar-besaran ini membuat ketergantungan masyarakat yang tidak sedikit, seperti menjadi seorang polisi atau mengharapkan anaknya menjadi aparat kepolisian. Imajinasi simbolik semacam ini kelihatannya masih begitu kuat di kalangan masyarakat kelas bawah.
Di sisi yang berbeda terkhusus kelompok masyarakat lainnya, ketidakpercayaan terhadap instansi kepolisian semakin menurun. Dampak sosiologis yang paling mungkin adalah peran integritas antara masyarakat dan aparat keamanan semakin melemah, sehingga tugas fungsional institusi dalam menjamin keamanan di dalam masyarakat menjadi kurang efektif. Hal ini mungkin saja terjadi atau juga lebih parah ketika tidak ada proses pembenahan institusional agar menjamin kehidupan masyarakat yang demokratis tetap terjaga.
Artikel Lainnya
-
157118/10/2019
-
69516/01/2024
-
159608/09/2020
-
Pemimpin Terpilih, Drama Kekuasaan, dan Tugas Masyarakat
126427/02/2021 -
Kenapa Ilmuwan dan Orang Cerdas Tidak Bakat Bahagia?
171131/03/2022 -
140507/05/2021