Menguji Kembali Komitmen Negara terhadap HAM: Antara Retorika dan Realita

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Menguji Kembali Komitmen Negara terhadap HAM: Antara Retorika dan Realita 19/08/2024 2245 view Politik PascasarjanaUmsu

Sebelum menuliskan hal ini, seperti biasa saya selalu menyempatkan diri untuk membuka dan membaca kembali beberapa laporan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Yang membuat pikiran saya sedikit banyaknya terusik: apakah kita benar-benar melihat komitmen yang tulus dari pemerintah terhadap HAM, atau semua ini hanya sebatas retorika belaka? Rasanya, fenomena ini patut dicermati lebih mendalam.

Pemerintah Indonesia, dalam berbagai kesempatan, seringkali mengumbar komitmen terhadap HAM. Dalam pernyataan resmi dan kebijakan yang dikeluarkan, kita sering mendengar janji-janji yang indah tentang perlindungan hak asasi manusia. Namun, saat melihat realitas di lapangan, seringkali tampak adanya jurang pemisah antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan.

Misalnya, kebijakan perlindungan hak minoritas sering kali terdengar muluk-muluk di atas kertas. Namun, ketika datang ke implementasi, kita bisa melihat banyak tantangan. Laporan tahunan dari Komnas HAM dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sering kali menunjukkan adanya pelanggaran hak-hak dasar seperti kebebasan berpendapat, hak atas pendidikan, dan hak atas perlakuan adil di sistem hukum. Meskipun data dari laporan Komnas HAM 2023 menunjukkan ada penurunan kasus pelanggaran HAM pada tahun sebelumnya yang sebesar 13,7 persen, namun demikian, tidak serta merta menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam perlindungan HAM secara keseluruhan. Angka tersebut seharusnya menjadi titik awal untuk terus menggali dan menganalisis permasalahan yang lebih dalam. Apakah penurunan tersebut benar-benar mencerminkan upaya nyata dalam meningkatkan perlindungan HAM, atau hanya sekadar angka statistik yang tidak mencerminkan realitas lapangan yang sebenarnya?

Tentu saja, bukan berarti tidak ada langkah positif yang diambil. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat adanya upaya-upaya peningkatan transparansi dalam proses hukum dan peradilan. Namun, upaya tersebut seringkali terbentur pada kendala struktural dan budaya yang mendalam. Seperti yang dikatakan ahli HAM, Dr. Nani Zulminarni, “Komitmen terhadap HAM memerlukan konsistensi dalam tindakan dan integritas dalam pelaksanaan, bukan hanya sekedar pernyataan di depan umum.”

Salah satu contoh konkret dari ketidaksesuaian antara retorika dan realita adalah perlindungan terhadap kebebasan pers. Di banyak kasus, media yang mengkritik pemerintah sering kali mendapatkan ancaman atau bahkan tindakan represif. Laporan dari Reporters Without Borders tahun lalu menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-108 dari 180 negara dalam hal kebebasan pers. Ini tentu menyiratkan adanya masalah yang serius dalam implementasi perlindungan hak asasi manusia di bidang kebebasan berekspresi.

Selain itu, masalah ketidakadilan sosial yang dialami oleh kelompok marginal seperti masyarakat adat dan kelompok minoritas juga menunjukkan ketidaksesuaian antara kebijakan dan pelaksanaan. Walaupun ada undang-undang yang dirancang untuk melindungi hak-hak mereka, di lapangan seringkali mereka masih menghadapi diskriminasi dan marginalisasi.

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa hak asasi manusia bukanlah sebuah agenda yang bisa dicapai hanya dengan pernyataan dan kebijakan. Ia memerlukan perubahan mendalam dalam struktur sosial dan politik. Pemerintah perlu membuktikan komitmennya dengan tindakan nyata dan konsistensi dalam menegakkan hukum, serta memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat sipil untuk berperan aktif dalam pemantauan dan advokasi hak asasi manusia.

Saya juga merasa penting untuk menyoroti peran masyarakat dalam proses ini. Masyarakat harus lebih aktif dalam mengawasi dan menuntut akuntabilitas dari pemerintah. Dalam hal ini, keterlibatan publik dan partisipasi aktif dalam memantau pelaksanaan kebijakan HAM dapat mempercepat perubahan positif. Statistik dari lembaga pengawas independen menunjukkan bahwa daerah-daerah dengan partisipasi publik yang tinggi cenderung menunjukkan pelaksanaan HAM yang lebih baik.

Dengan semua ini, saya rasa kita perlu mengevaluasi kembali bagaimana kita memahami dan menilai komitmen terhadap HAM. Jangan sampai kita terjebak dalam ilusi bahwa pernyataan dan kebijakan saja sudah cukup. Realitas di lapangan harus menjadi tolok ukur utama dalam menilai sejauh mana komitmen tersebut dijalankan.

Dalam menutup catatan hari ini, saya mengingat kembali kutipan dari ahli hukum internasional, Prof. Dr. James Crawford, yang mengatakan, “Keadilan tidak dapat diperoleh hanya dari pernyataan retorika; ia memerlukan tindakan konkret dan komitmen yang konsisten.” Ini adalah pengingat yang baik bagi kita semua bahwa perjuangan untuk hak asasi manusia adalah proses panjang yang memerlukan kesungguhan dan integritas dari semua pihak.

Saya berharap kita bisa terus mengawasi dan mendorong perbaikan dalam implementasi hak asasi manusia di Indonesia, agar komitmen yang diumbar tidak hanya menjadi sekedar kata-kata, tetapi sebuah kenyataan yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya