Mengubah Orientasi Pembangunan Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Negeri Malang
Mengubah Orientasi Pembangunan Indonesia 07/10/2023 454 view Ekonomi kompas.com

Pada awalnya, semenjak tahun 2000-an orientasi pembangunan nasional berkiblat pada Millennium Development Goals (MDGS), ide ini digagas atas berbagai macam persoalan ekonomi yang terjadi sebelumnya contohnya adalah permasalahan tentang kebutuhan minimum yang kunjung tak terpenuhi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak dalam kondisi baik-baik saja.

Akhirnya ide tentang bagaimana caranya agar kebutuhan minimum manusia itu harus sejalan dengan adanya pertumbuhan ekonomi, sehingga konsep tentang adanya ukuran pembangunan harus sejalan dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Maka disinilah kemudian Francise Steward dan Richard Jolly kemudian menawarkan satu konsep baru yaitu Adjustiment in human face.

Adjustiment in human face adalah satu konsep pembangunan yang diharapkan dapat memenuhi wajah manusia, dalam konteks pemenuhan kebutuhan dasar mereka, maka berdasarkan kaitan konsep inilah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian memperkenalkan konsep pembangunan millennium ke seluruh dunia sebagai satu konsep pembangunan yang akan dijadikan sebagai arah orientasi dalam setiap pembangunan, yang diperkenalkan dengan istilah Millennium Development Goals (MDGs).

Kehadiran konsep Millennium Development Goals (MDGs) diharapkan dapat melihat adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diukur dari tiga sektor yang sangat mendasar dalam pemenuhan ekonomi yakni kemampuan daya beli, adanya pemenuhan kesehatan masyarakat, dan peningkatan kualitas pendidikan yang semakin baik. Oleh karena itu, ketiga aspek tersebutlah yang diharapkan akan mencerminkan adanya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang akan dipakai sebagai cerminan bagi negara yang sedang berkembang untuk menentukan arah pembangunannya sendiri.

Indonesia termasuk salah satu di antaranya yang telah sepakat untuk memenuhi aspek-aspek yang telah ada dalam komponen MDGs, namun semua itu sifatnya hanyalah suatu mimpi belaka karena capaian yang telah ditargetkan sebelumnya tidak sesuai dengan hasil yang telah diupayakan selama 15 tahun. Artinya konsep ini hanya mampu memenuhi standar pencapaian (minimum basic standard). Artinya bahwa sebagai negara berkembang masih sangat jauh tertinggal dalam aspek pembangunan sosial dan ekonominya.

Berdasarkan pada kegagalan inilah, maka datanglah satu konsep baru yang diperkenalkan di tahun 2015 sebagai pelengkap Millennium Development Goals (MDGs) yakni Sustainability Development Goals (SDGs) dengan menawarkan konsep keberlanjutan dengan 17 tujuannya di antaranya adalah mengakhiri kemiskian, menghilangkan kelaparan, kesehatan, kualitas pendidikan dan lain sebagainya. Tentu saja semua indikator ini berorientasi pada kualitas yang dihasilkan.

Kesadaran akan adanya dampak negatif dari adanya pembagunan, kesemuanya itu telah diakomodir dalam konsep Sustainability Development Goals (SDGs), yang mengutamanakan pentingnya peran individu atau rumah tangga. Masalahnya adalah bagaimana cara dalam pengentasan kemiskian dan juga kelaparan? Banyak negara berkembang yang hampir saja kehilangan arah dalam pengentasan kemiskinan dan kelaparan termasuk juga Indonesia.

Jumlah penduduk mmiskin di Indonesia bahkan menyentuh angka 26, 36 juta orang per September 2022, angka ini mengalami peningkatan sebesar 0,20 juta orang. Lantas bagaimana dengan komitmen Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan SDGs point pertama yakni mengatasi kemiskinan ?

Tidak hanya itu saja bahkan jika kita kembali melihat tujuan SDGs yang ke-2 pun demikian yakni tanpa kelaparan. Indonesia berada di posisi ke-3 tingkat kelaparan tertinggi di asia tenggara dan di urutan ke-77 dunia. Maka sudah saatnya sebagai negara yang besar Indonesia harus serius dengan persoalan ini dan terus berbenah dalam mewujudkan SDGs point 2.

Menurut Global Hunger Index (GHI), pada tahun 2021 tingkat kelaparan Indonesia berada di level 18, sudah menurun cukup jauh dibanding tahun 2000 yang indeksnya masih di level 26,1. GHI mengukur tingkat kelaparan dalam skala 0-100. Semakin tinggi skornya, maka tingkat kelaparan dinilai semakin buruk. Adapun indeks kelaparan Indonesia yang kini berada di level 18 termasuk kategori moderat.

Meski secara umum ada perbaikan kondisi, Indeks Kelaparan Indonesia masih tergolong tinggi di kawasan Asia Tenggara sebagaimana terlihat dari data yang dikeluarkan oleh Global Higher Indeks (GHI) bahwa Indonesia berada di posisi ketiga dalam kasus tingkat kelaparan tertinggi di Asia Tenggara, dengan angka kelaparan mencapai 18 point. Sementara itu yang berada di posisi pertama adalah Timor Leste dengan presentase sebesar 32,4 point, kemudian diikuti oleh Laos dengan presentase angka sebesar 19,5 point.

Oleh karena itu, berdasarkan pada permasalah tersebut perlu untuk kita catat dan garis bawahi bahwa sudah saatnya potret pembangunan yang sedang dikerjakan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, sehingga permasalahan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi mampu berdampak pada aspek struktural dan kultural yakni pada aspek ekonomi, sosial, budaya dan juga lingkungan.

Maka sudah saatnya Indonesia harus mengubah arah pembangunannya dengan menggunakan konsep pembangunan inklusif, di mana konsep ini akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak pernah terjangkau sebelumnya. Pembangunan inklusif ini juga dapat mengurangi angka kemiskinan dengan baik, apabila semua pihak juga ikut bekerjasama dan berkontribusi dalam rangka menciptakan peluang yang setara, dan juga memberikan ruang partisipasi seluas-luasnya dalam rangka mengambil keputusan, untuk menghindari terjadinya diskriminatif sebagai bentuk asas kesamaan hak dan juga sebagai bentuk akuntabilitas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya