Mengingat Kembali Ajaran Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto

Pegiat HAM
Mengingat Kembali Ajaran Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto 30/03/2021 919 view Politik YouTube Thriller Guru Bangsa

Bom bunuh diri yang terjadi di minggu pagi, 28 Maret 2021 terasa mengoyak kemanusiaan di aat kita sedang berusaha bangkit dalam situasi pandemi Covid-19. Setahun belakangan, begitu banyak duka yang hadir karena kehilangan teman, kerabat, saudara dan sanak keluarga karena virus ini. Penghargaan atas hidup dan kemanusiaan mungkin berbeda bagi sekelompok orang hingga memutuskan untuk melakukan bom bunuh diri.

Terlepas apapun motifnya, latar belakang keyakinan dan siapa, tindakan ini sungguh miris. Respon seketika setelah mendengar berita ini adalah marah, duka dan secara otomatis lidah tertarik untuk melontarkan kecaman dan kutukan. Reaksi lumrah yang menyatakan sisi manusiawi kita.

Kita bisa memilih untuk menghujat atau mendoakan, dan sejak bom digunakan sebagai teror, entah telah berapa banyak hujatan yang kita lontarkan. Kecaman dan hukuman tampaknya tidak merubah cara pandang sekelompok masyarakat atau segelintir individu untuk melakukan bom bunuh diri. Tindakan yang mengoyak kemanusiaan ini mengingatkan pada kata-kata HOS. Tjokroaminoto.

Mengutip dari film "Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto" terdapat ucapan yang tetap relevan hingga saat ini, "Sebuah bangsa hanya dapat dibentuk dari kemanusiaan. Kemanusiaan yang nanti akan mempersatukan kita semua". Gagasan dan pemikiran HOS Tjokroaminoto dapat menjadi panduan dalam meneropong berbagai permasalahan yang kita hadapi saat ini, mulai dari impor beras hingga radikalisme.

Sejarawan Bonnie Triyana pernah mengatakan bahwa Pemikiran HOS Tjokroaminoto bisa dipraktikkan untuk membendung radikaisme berbasis agama. Radikalisasi yang muncul di era Tjokroaminoto itu bukan isu agama, melainkan keadilan, penindasan, juga kemerdekaan. Warisan terbaik Tjokroaminoto adalah bisa menjadikan Sarekat Islam sebagai wadah bersama dan pemberian kebebasan sesuai aturan bersama dengan tanggung jawab. “Sekarang aturan bersama yang sudah disepakati itu adalah Pancasila dan UUD 1945.” 

Sepenggal pidato HOS Tjokroaminoto yang diucapkan dalam sebuah rapat umum di Alun-alun Bandung pada Ahad, 18 Juni 1916. Penggalan tersebut diterjemahkan oleh Mohammad Roem: “Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita. Kita cinta tanah air, di mana kita dilahirkan, dan kita cinta pemerintah yang melindungi kita. Karena itu, kita tidak takut untuk minta perhatian atas segala sesuatu yang kita anggap baik dan menuntut apa saja yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintah kita". Inilah pidato monumetal Tjokroaminoto. 

Dari sebuah bangsa yang terjajah, HOS Tjokroaminoto menyerukan zelfbestuur atau pemerintahan sendiri. Keberanian ini yang mendorong kemerdekaan bangsa Hindia Belanda hingga menjadi Negara Indonesia seperti saat ini. "Kalian-kalian yang akan menjadi lokomotif dari jutaan masyarakat melalui gerbong-gerbong ini menuju masyarakat yang lebih baik". Dengan tegas, gagasan ini memimpikan masyarakat yang berkeadilan, bebas dari penindasan dan sejahtera. HOS Tjokroaminoto menyadari benar kondisi keterjajahan bangsanya, penderitaan dan upaya untuk melepaskan diri dari penjajahan. Perjuangan yang mensyaratkan persatuan dan tujuan bersama.

Tujuan bersama bukan berarti meniadakan segala perbedaan. Dengan menyadari kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia, persatuan bangsa ini menakutkan penjajah. Karena persatuan akan menjadi penghalang bagi penjajah untuk mengeruk hasil bumi kita. Dan apa yang terjadi di masa kini justru sebaliknya, perbedaan pandangan dapat menceraiberaikan bangsa ini.

Kembali pada tujuan bersama untuk menjadikan masyarakat yang lebih baik, kita dihadapkan pada ancaman atas kedaulatan pangan dengan menyusutnya lahan pertanian dan hutan serta impor beras. Persoalan ini menjadi polemik dengan data persedian beras serta jumlah impor selama tiga tahun terakir. Ditambah dengan kondisi masa panen. Gagasan impor beras ini jelas memukul para petani. Hal ini dibuktikan dengan turunnya harga gabah di beberapa daerah.

Kita telah bertransformasi menjadi bangsa yang lebih maju dan menghasilkan semakin banyak tenaga ahli yang berasal dari universitas-universitas ternama di Indonesia. Jumlah sekolah dan peserta didik semakin banyak. Kita berharap kemajuan ini akan membawa masyarakat hidup secara adil dan makmur. "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat, menunjukkan integrasi komprehensif antara ilmu akademis, aplikatif, beretika dan bermoral".

Kata integritas komprehensif perlu diberi garis bawah untuk memberi pemaknaan yang lebih dalam, bahwa ilmu yang dipelajari mampu diaplikasikan dengan disertai etika dan moral. Teror bom yang masih terus terjadi hingga hari ini, perseteruan para elit serta kebijakan yang tidak populis, dapat mengancam persatuan bangsa serta kesejahteraan masyarakat. Kecerdasan disertai etika dan moral akan membawa pada kebutuhan untuk membangun satu tekad bersama seperti pada masa awal kemerdekaan. Satu tekad untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Kita bisa memulai dengan kebesaran hati dan mengingat kembali ajaran Guru Besar bangsa ini, HOS Tjokroaminoto.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya