Mengakhiri Drama Penyalahgunaan Dana KIP-K
Belakangan viral di Twitter (X) dugaan penyalahgunaan dana KIP-K di Universitas Negeri Diponegoro (Undip). Nama mahasiswa yang diduga menyalahkan KIP-K satu per satu diungkap di X oleh akun @undipmenfess. CMJ adalah mahasiswi Undip yang pertama kali diungkap oleh warganet. Warganet heran CMJ menerima KIP-K namun memiliki gaya hidup mewah. CMJ mendapat kritikan dan kemudian mencabut beasiswa KIP-K setelah viral.
Setelah viral, CMJ meminta maaf atas tindakannya dan mengklarifikasi bahwa dia tidak pernah memalsukan data saat mendaftar sebagai penerima KIP-K. Dia menegaskan bahwa informasi yang dia berikan mengenai kondisi keluarganya adalah benar, termasuk masalah utang yang berasal dari biaya pengobatan ayahnya yang meninggal karena kanker 10 tahun lalu.
Berlainan dengan CMJ, RAM–juga mahasiswi Undip–malah bersikukuh mempertahankan beasiswa KIP-Knya. Alasannya, RAM adalah anak pertama dari dua bersaudara yang dibesarkan oleh seorang ibu saja. Ayah kandungnya meninggalkan keluarga saat RAM masih berada di kelas 3 SD, sehingga perekonomian keluarga ditopang oleh ibunya.
Menyikapi kasus ini, Manajer Layanan Terpadu dan Humas, Utami Setyowati pun menjelaskan bahwa proses penerimaan bantuan dana mahasiswa KIP-K di Undip telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Mulai dari tahap pendaftaran, verifikasi, hingga penetapan penerima. Ia menegaskan bahwa mahasiswa yang menerima beasiswa sudah mematuhi aturan yang tercantum dalam Pedoman Pendaftaran KIP-K dari Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Puslatdik).
Sebenarnya kasus dugaan penyalahgunaan dana KIP-K bukanlah hal baru. Di setiap tahunnya kasus ini selalu muncul ke permukaan. Namun sayangnya, tidak ada solusi pasti dari pemerintah akan masalah ini. Secara teknis, lembaga yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan dana KIP-K sudah melakukan verifikasi dan pengawasan lebih ketat. Tapi kenyataannya, kasus penyalahgunaan dana KIP-K selalu ada di setiap tahunnya. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa KIP-K selalu tidak tepat sasaran?
Seleksi Masuk PTN yang Diskriminatif
Pada dasarnya, kuota beasiswa KIP-K lebih banyak daripada jumlah mahasiswa yang “benar-benar miskin” di perguruan tinggi. Karena kelebihan kuota ini, akhirnya menciptakan persaingan sengit, di mana mahasiswa dari kelompok menengah ikut berkompetisi. Hal ini memicu lolosnya kasus pemalsuan data. Iya, mau bagaimana lagi orang yang “benar-benar miskin”, memang jarang bisa kuliah, kan.
Saya izin bertanya kepada kalian: seberapa banyak si teman di kelas yang tinggal di rumah kontrakan 4x3 meter (rumah sepetak), kamar mandi barengan sama tetangganya, terus rumahnya di gang yang sempit dan gelap mirip goa? Seberapa banyak si teman kalian yang penghasilan orang tuanya Rp500 ribu sampai Rp1 juta (khusus Jakarta). Terus yatim/piatu, dan ternyata teman kuliah kalian tersebut anak pertama, yang di mana orang tuanya punya dua anak lagi yang masih sekolah. Belum lagi, ditambah teman kalian itu hidup di lingkungan yang suka tawuran, mabuk-mabukan, dan narkoba. Coba sebutkan ada berapa? Apa malah enggak ada sama sekali?
Nah, pertanyaan saya malah menimbulkan pertanyaan baru, kan. Kenapa ini bisa terjadi? Iya, selama sistem seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN) masih diskriminatif, kasus di atas akan terus menjamur. Apanya yang diskriminatif? Lihat saja bagaimana teknis untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri. Satu, lewat Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Sudah saya ceritakan di atas, bahwa orang yang benar-benar miskin rata-rata tinggal di lingkungan yang sulit berkembang. Hal ini, bisa mempengaruhi motivasi belajar dan kemampuan kognitifnya. Secara tak langsung, apakah mungkin siswa “yang benar-benar miskin” bisa menjadi siswa eligible di sekolahnya? Bisa saja. Tapi berapa banyak?
Selain, itu ada masalah akreditasi sekolah yang mempengaruhi kuota sekolah untuk ikut SNBP. Kuota sekolah akreditasi A berjumlah 40%, Kuota sekolah akreditasi B berjumlah 25%. Kuota sekolah akreditasi C berjumlah 5%. Ini sangat diskriminatif. Biasanya kalau siswa yang “benar-benar miskin” tidak mampu masuk SMA Negeri, mereka akan melanjutkan ke sekolah swasta terakreditasi B, bahkan C. Karena, sekolah swasta terakreditasi A rata-rata mahal biayanya. Ini membuat peluang siswa yang “benar-benar miskin” masuk ke PTN semakin mengecil.
Kedua, lewat Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Setelah selesai mencari siswa-siswa unggul dari tiap-tiap SMA lewat jalur prestasi, sistem seleksi masuk PTN masih belum puas mencari siswa-siswa unggul lainnya. Sekarang lewat tes. Banyak siswa “yang benar-benar miskin” kalah bersaing di seleksi ini–termasuk saya dan teman-teman dekat saya. Kenapa saya dan teman-teman yang “benar-benar miskin” kalah? Ya, karena memang kami tidak pintar, dan ditambah tidak punya uang untuk ikut les dan bimbingan belajar (bimbel).
Ketiga, lewat Jalur Mandiri, Busyet! Orang “yang benar-benar miskin" kok disuruh lewat jalur ini. Duitnya dari mana bang? Orang “yang benar-benar miskin” cuma bisa menangis darah lihat temannya yang tolol, tapi kaya, bisa masuk PTN.
Kelompok Tanggung yang Tidak Diperhatikan oleh Pemerintah
Kenyataan memang perguruan tinggi negeri diisi oleh kelas menengah atau yang lebih tepatnya disebut “kelompok tanggung”. Kasarnya gini, “dibilang miskin enggak, dibilang kaya juga enggak”. Yaitu, kelompok-kelompok yang kalau buat makan mah ada, pakaian aman, motor punya, tapi kalau ditambah bayaran buat kuliah mah, orang tuanya harus empot-empot untuk bayarnya. Biasanya banyak mahasiswa dari “kelompok tanggung” yang ikut-ikutan seleksi KIP-K. Yang lolos senang bukan main, yang tidak lolos iri setengah hati. Yang tidak lolos merasa dirinya lebih berhak daripada yang lolos. Dan, akhirnya drama penyalahgunaan dana KIP-K dimulai.
Lalu, siapa yang patut bertanggung jawab akan kejadian ini? Jelas pemerintah!
Mahasiswa dari “kelompok tanggung” juga perlu diperhatikan dan dibantu oleh pemerintah. Kondisi ekonomi orang tua mereka rentan saat terjadi krisis ekonomi. Jika ada krisis, keluarga mereka mudah jatuh ke jurang kemiskinan. Ini terjadi karena perlindungan sosial yang disediakan oleh pemerintah di negara kita sangatlah minim.
Dalam beberapa tahun terakhir, biaya hidup meroket, namun kenaikan upah minimum tidak mampu menutupi lonjakan kebutuhan pokok. Situasi ini diperparah dengan biaya kuliah yang melonjak drastis dalam beberapa dekade terakhir. Menurut data dari Global Economic Indicator, Charts, and Forecasts, biaya kuliah di Indonesia telah naik sebanyak 9900% dalam 28 tahun terakhir, sementara kenaikan penghasilan rata-rata masyarakat hanya mencapai 266%. Busyet!
Kembali ke Esensi
Nah, jadi dua masalah kan. Pemerintah mau yang “benar-benar miskin” banyak yang bisa kuliah. Ditolonglah lewat KIP-K. Tapi syarat untuk dapat KIP-K kan harus diterima perguruan tinggi dulu. Sedangkan orang “benar-benar miskin” kan banyak yang tidak kuliah. Dan, di sisi lain terdapat “kelompok tanggung” yang butuh bantuan dana pendidikan, namun sayangnya pemerintah kurang memperhatikan kelompok ini.
Kasus penyalahgunaan dana KIP-K terus berulang. Setiap tahunnya, masalah ini muncul tanpa solusi konkret dan substansial dari pemerintah. Alih-alih cuma ribut-ribut tidak ada ujungnya di media sosial, lebih baik kita mengorganisir diri dan massa, untuk menuntut pendidikan kembali kepada nilai-nilai esensial sesuai UUD 195.
Pemerintah harus memiliki tekad kuat (political will) untuk melakukan pembenahan menyeluruh terhadap sistem pendidikan kita. Lebih jauh lagi, jika pemerintah benar-benar berani dan serius menyejahterakan rakyatnya, pendidikan gratis hingga perguruan tinggi harus diusahakan!
Artikel Lainnya
-
84005/10/2020
-
169011/02/2020
-
15525/05/2024
-
Dimana Letak Akal Sehat Politik Dinasti?
180627/07/2020 -
196706/12/2021
-
Kuasa Pemodal dan Jeritan Masyarakat
159408/09/2020