Meneropong Pemimpin dalam Potret Psikologi Politik

Setiap manusia pada dasarnya adalah pemimpin di muka bumi ini tanpa terkecuali. Tanpa membedakan kultur identitas gender antara paham feminisme dan maskulinitas, semua memiliki kesempatan yang sama dan ruang yang sama dalam menyandang gelar pemimpin. Sebaik-baik pemimpin ialah mereka yang mampu membangun sinergitas kepemimpinan yang inklusif bukan ekslusif.
Memahami kepemimpinan dalam pendekatan psikologi politik menjadi sesuatu yang penting. Hal ini dikarenakan setiap pemimpin akan menghasilkan visualisasi perilaku dan pemikiran, sehingga konsep psikologi hadir dalam menelaah pola kepemimpinan yang tirani maupun mengayomi. Karakter kepemimpinan mengayomi adalah bentuk nyata kepemimpinan inklusif yang jarang dimiliki oleh setiap pemimpin.
Tidak semua pemimpin memberikan perlakukan dan ruang yang sama dalam sebuah kepemimpinannya. Oleh karena itulah melihat setiap kepemimpinan dalam potret pendekatan psikologi politik sangat dibutuhkan. Tujuan utamanya satu yakni untuk melihat kewarasan pikir sebelum diaktualisasikan secara konkrit terhadap mereka-mereka yang akan dipimpinnya.
Pemimpin dan Manusia Keparat
Istilah pemimpin pada substansialnya mengandung makna bahwa mereka yang memiliki kemampuan dalam membangun sinergitas dan solidaritas dengan mereka yang dipimpinnya dengan mengabaikan karakter eksklusivitas. Naluri manusia untuk menjadi pemimpin acapkali melupakan jati dirinya sebagai manusia bahwa sebetulnya dia telah menjadi pemimpin. Akibatnya orientasi cupet ing pemanggih ini menjadi dasar utama dalam psikologi politik bahwa pemimpin itu haus akan posisi jabatan dan materialistik duniawi.
Mereka para pemimpin lupa bahwa setiap pemimpin nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpinnya. Pemimpin-pemimpin ini lebih jauh telah masuk dalam tipologi kepemimpinan keparat yang selalu menindas, menekan, dan mengancam bukan lagi memberikan pengayoman bagi orang yang ada di sekitarnya. Pepatah Kuno Belanda mengatakan bahwa pemimpin adalah menderita. Oleh karenanya para pemimpin yang mengorbankan dan menindas anak buahnya demi menyelamatkan dirinya sendiri adalah pemimpin keparat yang harus siap mempertanggungjawabkan segala kedzalimannya selama memimpin.
Kepemimpinan adalah Kebutuhan?
Memimjam istilah yang disampaikan oleh Abraham Maslow bahwa manusia harus memenuhi kebutuhannya yang paling rendah terlebih dahulu sebelum naik ke tingkat yang lebih tinggi, sampai dia bisa mengaktualisasikan dirinya. Berdasarkan konsepsi kebutuhan manusia dari Maslow ini maka dapat diambil suatu pemikiran bahwa ada proses dan dinamika yang harus dilalui oleh manusia untuk mencapai puncak.
Apabila kepemimpinan itu adalah suatu kebutuhan, maka hal yang terpenting adalah bagaimana kepemimpinan itu lahir dari dentuman dan berbagai aral sempai menghantarkan tipe kepemimpinan yang berjiwa satria yang mengayomi. Namun, tatkala pemimpin dilahirkan tidak melalui proses dari yang paling dasar, maka kelahiran-kelahiran pemimpin keparat menjadi bukti utuh bahwa para keparat-keparat itu mulai mengambil dan mengendalikan kekuasaan sesuka dirinya tanpa melihat pertimbangan etis, moral dan kemanusiaan. Titik inilah kegagalan dalam aktualisasi diri seorang pemimpin gagal dilakukan.
Pemimpin-pemimpin keparat lahir dari kultur kepribadian yang membungkam dirinya sehingga kejiwaannya terguncang oleh berbagai tekanan. Menurut teori motif yang disampaikan oleh McLelland tahun 1975 motif adalah perbedaan individual yang berkaitan dengan pencapaian tujuan. Lebih lanjut McLelland mengklasifikasikannya menjadi tiga yakni kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan akan konektivitas, serta kebutuhan akan penghargaan. Bila kepemimpinan merupakan cerminan kebutuhan manusia akan kekuasaan, lantas bagaimana kelahiran pemimpin-pemimpin keparat itu dipahami dalam konsep psikoanalisis dan motif?
Kegagalan Menyeimbangkan Id, Ego dan Super ego
Kebutuhan manusia akan kekuasaan telah mencampuradukkan kekacauan akan id, ego, dan super ego. Naluri manusia pada dasarnya ingin membangun solidaritas walaupun pada akhirnya ada tendensi untuk menguasai yang lain. Namun demikian fenomena pemimpin-pemimpin keparat yang hadir di sekitar kita merupakan bentuk investasi pola pikir gila yang sudah akut dan mendarah daging.
Dorongan habitus di mana dia dibesarkan, di mana dia mengenyam pendidikan, dan dari mana dia ditumbuhkan dengan kultur lingkungan, hanya berkontribusi tidak lebih dari setengahnya. Misalnya saja kita lihat bagaimana sektor pendidikan berkontribusi pada pola kepemimpinan. Apabila esensi pendidikan adalah memanusiakan manusia, maka bagaimana dengan kepemimpinan yang berwatak menindas bahkan mengorbankan orang lain demi membenarkan dirinya untuk jangka pendek? Oleh karena itu psikoanalisis dan konsep motif kebutuhan menunjukkan kepemimpinan keparat sudah tidak lagi memberlakukan norma dan moral.
Karakter kepemimpinan keparat dalam pendekatan psikologi politik biasanya dimulai dengan karakter dan gejala kepemimpinan yang otoriter (RWA). Salah satu gejalanya ialah pemimpin-pemimpin keparat ini tidak mampu merespon tekanan dan beban yang dilimpahkah, sehingga dilimpahkan lagi ke sektor yang di bawahnya. Proses ini menghantarkan kebutuhan kekuasaan yang sudah teralienasi politik. Artinya sudah kehilangan keterhubungan, kehilangan kepekaan, partisipasi, bahkan kehilangan kemampuan untuk mengendalikan khususnya bagaimana tugas dan tanggungjawabnya sebagai pemimpin seyogyanya dilakukan. Apabila alienasi politik ini sudah melekat dalam setiap kepemimpinan maka siapapun yang ada di sekitarnya akan merasa tidak nyaman, serba tertekan, dan serba terancam.
Artikel Lainnya
-
118007/07/2020
-
30218/12/2022
-
58907/12/2021
-
Meningkatkan Peran Serta Pria dalam Ber-KB
108929/06/2021 -
Pembebasan Napi, Logika Hukum dan Kemanusiaan Kita
99126/04/2020 -
Meminimalisasi Konsep Omnibus Law RUU CILAKA
147908/02/2020