Menengok Wedding Goals Generasi Millenial, Apa Pemicunya?

ASN BKKBN
Menengok Wedding Goals Generasi Millenial, Apa Pemicunya? 06/07/2021 990 view Lainnya Pixabay

Bakso di hadapan saya mengepul dan terlihat menggiurkan untuk disantap. Di meja seberang tampak remaja berpakaian sekolah menengah pertama menikmati baksonya sambil menatap layar HP dan berbincang. Sekilas terdengar mereka membicarakan salah seorang influencer muda yang beberapa waktu lalu menikah dan mereka berkomentar mendambakan kehidupan serupa.

Fenomena yang seringkali seliweran di lini masa dalam beberapa waktu terakhir adalah tentang indahnya pernikahan di usia dini. Sepertinya menikah dini sudah menjadi tren masa kini, menilik cukup banyaknya konten media sosial para influencer yang membahas hal tersebut. Mungkin bagi sebagian orang hal ini bukan masalah besar, namun apabila terpapar topik yang sama berulang kali, hal ini bisa saja mempengaruhi pola pikir dan cara pandang seseorang.

Kementerian PPPA mencatat hingga Juni 2020, angka pernikahan usia anak di Indonesia meningkat menjadi 24 ribu saat pendemi Covid-19. Sebenarnya kasus pernikahan dini memang masih menjadi PR yang perlu segera dipecahkan, baik sebelum maupun saat pandemi. Alasan isu pernikahan dini perlu segera ditindaklanjuti adalah dampaknya yang tidak main-main dalam jangka panjang. Pernikahan dini yang dilakukan tanpa persiapan matang berpotensi melahirkan anak stunting, menyumbang Angka Kematian Ibu dan Bayi, dan rumah tangga rawan KDRT yang berujung pada perceraian. Mari kita tengok akar permasalahan yang berkontribusi dalam isu ini.

Remaja merupakan masa transisi yang penuh pergolakan. Mereka mencari jati diri, suka coba-coba, emosinya masih labil, cenderung suka ikut-ikutan dan takut tertinggal tren yang sedang ramai diperbincangkan. Saya teringat beberapa waktu yang lalu ada berita viral dari anak salah satu ustadz kondang di tanah air yang memutuskan untuk menikahi seorang muallaf dengan cara ta’aruf pada usia 17 tahun. Tak berselang lama, viral lagi berita salah satu selebgram cantik yang dilamar saat usianya baru menginjak 16 tahun. Pada channel youtubenya, ia dan suaminya menceritakan betapa indahnya pernikahan usia anak yang mereka lalui. Berita pernikahan dini para influencer tersebut meledak dan banyak sekali komentar yang mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah wedding goals yang didambakan banyak remaja seusianya. Kenyataannya, banyak hal yang bisa membuat pernikahan mereka tampak indah di mata publik padahal tidak semua orang memiliki situasi dan kondisi serupa.

Maraknya berita pernikahan usia dini akan menjadi mengkhawatirkan apabila remaja yang membacanya langsung menelan informasi tersebut bulat-bulat tanpa adanya pengetahuan dasar tentang pernikahan. Mereka bisa berimajinasi dan berandai-andai hal yang indah, abai dengan kewajiban belajar dan tergesa ingin menikah. Belum lagi adanya tekanan di lingkungan masyarakat yang menjerumuskan, seperti anggapan anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena hanya perlu bisa 3M (masak, manak, macak) dan pandangan bahwa perempuan usia 20 tahun yang belum menikah dianggap perawan tua dan membuat malu keluarga. Pandangan sosial seperti ini umum didapati pada masyarakat di lingkungan ekonomi menengah ke bawah.

Sejauh ini, media yang menginformasikan tentang persiapan menikah kalah pamor dengan berita mengenai wedding itu sendiri. Padahal, persiapan pernikahan dan kehidupan setelah pernikahan lebih penting dan perlu direncanakan sebaik mungkin daripada prosesi perayaan pernikahannya. Tetapi belum banyak orang yang aware mengenai hal ini. Seringkali terjadi di sekitar saya, biasanya para orang tua menekankan tentang persiapan perayaan pernikahan seperti dekorasi gedung, baju akad nikah, catering, foto prewedding, souvenir, hiburan acara resepsi, tamu undangan dan persiapan ceremonial lainnya. Padahal peran orang tua seharusnya lebih mendalam daripada hal tersebut. Edukasi kesiapan prakonsepsi lebih krusial dan perlu diketahui remaja sejak dini.

BKKBN memiliki kelompok kegiatan di tingkat desa/kelurahan bernama BKR (Bina Keluarga Remaja) dan PIK-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) yang bisa menjadi wadah bagi orang tua dan remaja sharing mengenai kesiapan perencanaan keluarga. Sayangnya, implementasi di lapangan tidak berjalan mulus. Di daerah saya, tidak banyak anggota yang aktif melaksanakan poktan ini. Padahal apabila dimanfaatkan dengan baik, poktan tersebut dapat memperluas wawasan para orang tua dan remaja dalam persiapan dan perencanaan keluarga yang berkualitas.

Tak patah arang, BKKBN mencoba mendekati generasi millennial dengan menggagas website siapnikah.org yang berkolaborasi dengan Rumah Perubahan Prof. Rhenald Khasali. Pada website tersebut banyak informasi seputar kesiapan pernikahan dan Pendewasaan Usia Pernikahan (PUP) yang penting untuk diketahui oleh khalayak, utamanya remaja. Namun lagi-lagi diperlukan upaya lebih agar website ini digandrungi para remaja dan informasinya bisa tersebar luas.

Saya pribadi berpendapat, penyebab masih banyaknya pernikahan dini di Indonesia sangat multi faktor dan kita semua perlu bergandengan tangan agar bisa memecahkan permasalahan ini. Harapan ke depannya, remaja menjadi lebih aktif dalam menggali informasi tentang persiapan pernikahan, orang tua dan masyarakat juga mendukung dalam pendewasaan usia pernikahan sehingga terwujud keluarga yang terencana, sejahtera dan berkualitas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya