Menelaah Nalar Politik di Balik Baliho Peserta Pemilu

Menelaah Nalar Politik di Balik Baliho Peserta Pemilu 21/12/2023 403 view Politik https://images.app.goo.gl

Semenjak Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan Peraturan terkait masa kampanye yang dimulai sejak tanggal 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024, puluhan hingga ratusan baliho mulai bertebaran di mana mana.

Dalam kolom Fotografi Kompas.com berjudul “Kampanye, Saat Spanduk dan Baliho Bertebaran” menggambarkan warga berjalan di samping baliho-baliho peserta Pemilu 2024 di Jalan Abdul Muis, Jakarta, Warga berjalan di depan spanduk para peserta Pemilu 2024 yang dipasang di Jalan Buncit Raya, Jakarta Selatan dan baliho terpasang di jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jalan Cideng Timur, Jakarta. (Kompas, 5/12/2023).

Baliho sebagai simbol atau atau tanda dan bahasa politis dalam amatan Jean Baudrillard (Pilang,2009) disebut sebagai simulakra politik (political simulacra) yaitu sesuatu keadaan yang sedang berlangsungnya simbiosis strategi politik dan teknologi pencitraan (imagology) yang di dalamnya citra tentang tokoh dan partai dikemas dalam rangka memengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran dan opini publik sehingga mereka (calon pemilih) dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu (the imagology of politic).

Baliho sebagai media khusus dalam interaksi politik antara pasangan calon dan para calon pemilih. Melalui baliho, calon dan pasangan calon ingin menunjukkan diri dan identitas politiknya, dengan demikian terbangun suatu hubungan timbal balik secara interaktif antar keduanya, walaupun pada hakikatnya interaksi itu lebih bersifat pasif.

Baliho lebih sering digunakan karena sangat efektif sebagai alat komunikasi politik yang membangun kepercayaan, keberterimaan, dan keberpihakan masyarakat terhadap pemilihan.

Selain itu, baliho digunakan untuk mendorong simpati masyarakat selama proses pemilihan umum dan untuk menyebarkan info program kerja, visi misi dan lain sebagainya. Pencitraan politik, juga dikenal sebagai branding politik, dapat secara bersamaan dengan cara diinternalisasi secara simultan kepada masyarakat. (UMJ, 28/10/2023)

Namun sejalan dengan bertebarnya baliho di mana-mana ? Apakah pemanfaatan baliho telah mewakili nalar politik dari peserta pemilu ?

Yang perlu dikritisi oleh masyarakat bukan semata senyum manis yang terpajang di foto baliho atau kalimat kalimat-kalimat indah yang ditampilkan atau cuitan kalimat yang belakangan ini viral “Baliho besar tetapi miskin gagasan”, melainkan masyarakat perlu lebih jauh memahami sosok calon atau pasangan calon tersebut melalui aktivitas politik, aktivitas sosial yang termuat dalam nalar politik peserta pemilu tersebut.

Nalar Politik

Nalar politik yang sehat akan menghasilkan kepemimpinan yang legitimate. Sistem politik demokrasi jelas tidak imun dari politik tanpa nalar atau politik Machiavellian dalam kadar berbeda dari suatu negara ke negara lain. Elit kekuasaan, elit politik, elit ekonomi, elit agama dan elit sosial-budaya sering terlibat dalam persekutuan tidak suci (unholy alliances) dalam menerapkan politik tanpa nalar.

Politik yang tidak menggunakan atau memanipulasi nalar (unreason politics atau politics of unreason) tidaklah baru. Sejak lama – termasuk dalam sistem dan proses demokrasi – berbagai cara tak bernalar yang manipulatif dan menyesatkan untuk mencapai tujuan dan kepentingan politik tertentu telah menjadi praktik kalangan kekuatan politik (Azyumardi Azra, 2019).

Riwayat politics of unreason secara cukup sempurna pernah diberikan sastrawan dan filsuf Niccolo Machiavelli (1469–1527). Dalam karyanya, The Prince, Machiavelli menggambarkan cara-cara suatu rezim memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Mementingkan diri sendiri, rezim yang ingin berkuasa memanipulasi, menipu dan mengeksploitasi. Cara-cara yang digunakan sering tidak menggunakan nalar sehat.

Untuk menghindari berkuasanya elit politik yang dilahirkan oleh nalar politik yang tidak sehat tersebut, masyarakat perlu lebih jauh memahami nalar politik yang digunakan oleh peserta pemilu. Apabila sudah terlanjur tertarik dengan isi kampanye yang terpampang di baliho maka yang perlu dilakukan adalah menelaah nalar aktivis dan nalar politis dari figur tersebut.

Nalar Aktivis dan Nalar Politisi

Nalar aktivis adalah cara berpikir sistematis yang di dalamnya terkandung sejumlah prinsip berpolitik sebagai berikut : Pertama, menolak tegas segala macam pemberian materi dan non materi yang dapat disamakan dengan praktik money politics dalam Pemilu; kedua, menganggap praktik money politic sebagai bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan melanggar undang-undang; ketiga, menganggap pelaku praktik tersebut patut dijatuhi sanksi pidana dan layak dibatalkan pencalonannya sesuai undang-undang yang berlaku.

Nalar politisi lebih cenderung pragmatis dan kontekstual, khususnya dalam hal pemberian materi dan non materi. Nalar politis sedikit bertentangan dengan nalar aktivis. Cara berpikir sistematis yang terkandung dalam nalar politisi adalah sebagai berikut : pertama, memberikan materi kepada masyarakat miskin dengan tujuan untuk menyejahterakan mereka bukanlah tindakan melanggar hukum, apalagi jika yang melakukan adalah mereka yang tergolong dalam kelas bangsawan; kedua, pemberian materi dari kalangan bangsawan adalah sebuah anugerah atau kehormatan bagi pihak yang menerimanya; dan ketiga, pemberian materi tersebut tidak tergolong sebagai praktik money politics (Guno, 2015)

Dari kedua nalar politik di atas, peserta pemilu yang masih mengamini nalar politisi sebaiknya harus dihindari. Di dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ditegaskan bahwa money politics adalah jenis pelanggaran pidana. Yang dimaksud money politics dalam Undang – Undang tentang pemilu tersebut antara lain jual beli suara; dalam kampanye peserta Pemilu dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan; menggunakan masa tenang untuk memberikan uang atau materi lain kepada pemilih; dengan sengaja memberikan uang atau materi kepada pemilih pada hari pemungutan suara untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta tertentu.

Dengan demikian masyarakat harus mampu menelaah lebih jauh aktor politik yang hendak dipilih. Salah satu indikator dalam memilih peserta pemilu yang baik adalah peserta pemilu yang berintegritas. Isi kampanye dari baliho yang dipajang harus sejalan dengan nalar politik yang sehat. Nalar politik yang sehat adalah nalar aktivis yang tidak mengandalkan materi atau pemberian sebagai alat tawar dalam memenangkan pemilu.

Sejatinya pelaksanaan pemilu yang damai, jujur dan adil adalah cerminan demokrasi yang sehat dalam suatu bangsa. Tidak etis dan bahkan tidak bermoral bila masyarakat datang ke TPS dan memilih tanpa memiliki pengetahuan yang memadai atau tanpa informasi yang benar tentang setiap kandidat yang hendak dipilih.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya