Mencegah Politik Burung Unta dalam Pilpres 2024

Pilpres 2024 makin dekat. Tidak sampai empat bulan lagi. Artinya, tensi politik nasional semakin panas. Sebab, waktu yang tersisa bagi pasangan calon untuk memantapkan visi dan strategi pemenangan, serta masa kampanye tergolong singkat. Waktu yang singkat ini akan mereka gunakan sebaik mungkin untuk meraup suara. Tetapi, usaha yang dilakukan kerap tidak selalu dengan cara etis, melainkan dibarengi dengan cara kotor.
Masyarakat tentu tak ingin pengalaman pahit pemilu-pemilu sebelumnya yang sarat konflik, kekerasan dan polarisasi ekstrem terulang lagi. Berkaca dari pengalaman itu, pilpres 2024 mesti dikawal dengan baik oleh seluruh masyarakat agar tercipta pemilu yang damai, jujur dan adil. Potensi bahaya yang muncul mesti dideteksi sedari dini.
Politik Burung Unta
Salah satu bahaya yang perlu dicegah dalam pilpres 2024 ialah politik burung unta (ostrich policy). Politik burung unta merupakan kecenderungan untuk mengabaikan masalah yang sudah jelas ada dan berpura-pura tidak ada atau tidak tahu (Klabbers, 2009). Dengan kata lain, politik burung unta adalah tindakan sengaja menutup mata terhadap bahaya atau masalah yang ada dan mungkin ada.
Istilah politik burung unta sendiri berasal dari kepercayaan masyarakat tradisional mengenai cara burung unta (sturthio camelus) menyelamatkan diri dari bahaya predator dan pemburu. Ketika terancam burung unta akan berlari kencang hingga tak terlihat oleh musuh. Setelah itu, ia menyembunyikan kepalanya di dalam pasir atau tanah dan ia merasa aman. Karena ia tidak lagi melihat adanya masalah, maka ia merasa sudah terbebas dari bahaya yang mengancam hidupnya. Padahal, tubuhnya yang menyembul keluar dapat dilihat oleh musuh dan itu malapetaka baginya.
Singkat kata, politik burung unta ialah tindakan seseorang merasa aman ketika masalah politik tidak lagi terlihat. Ini bukanlah rasa aman yang sesungguhnya, melainkan rasa aman yang palsu. Sebab orang hanya memalingkan pandangannya dari masalah tersebut, bukan menghadapi dan menyelesaikannya. Maka, bersikap politik burung unta dalam pilpres 2024 jelas berbahaya.
Pengalaman masa lalu memperlihatkan bahwa masalah yang timbul merupakan akibat dari persaingan untuk memenangkan pemilu yang sengaja dibuat sedemikian rupa oleh oknum tertentu, sehingga tercipta masyarakat yang terpolarisasi dalam kubu berseberangan, saling membenci, mencaci dan memusuhi. Parahnya lagi, polarisasi yang terjadi dianggap lumrah dalam sistem demokrasi yang berasas kebebasan, sehingga tak dilihat sebagai bahaya bagi persatuan bangsa.
Di samping itu, terdapat dua sikap politik dalam masyarakat. Pertama, sikap aktif-ekstrem sebagai bentuk loyalitas terhadap pasangan calon. Orang seperti ini berjuang sekuat tenaga untuk memenangkan pilihannnya, meskipun dia harus memusuhi pemilih lain. Ia tidak melihat atau sengaja mengabaikan sikap tersebut sejatinya dapat mengancam persatuan bangsa Indonesia. Kedua, sikap pasif-acuh tak acuh sebagai bentuk alienasi diri dari hiruk pikuk dunia politik yang kotor dan kejam. Orang seperti ini umumnya mengikuti pemilu hanya sebatas kewajiban sebagai warga negara, tanpa memiliki pertimbangan secara kritis dan bijak. Parahnya lagi ada yang memilih golput.
Dua sikap politik di atas merupakan bentuk nyata bahaya politik burung unta. Sejatinya, pasangan calon tidak boleh memenangkan pemilu dengan modal menciptakan polarisasi ekstrem sehingga timbul perpecahan dan permusuhan bangsa. Demikian pula pemilih, mesti bijak dan kritis dalam menentukan pilihan. Jangan sampai melihat pemilih lain sebagai musuh abadi, yang berujung pada perpecahan bangsa.
Tetapi, jangan juga sekadar ikut-ikutan saja bahkan golput. Menurut Franz Magnis-Suseno (2021), golput adalah tanda kebodohan. Seorang warga negara mesti memilih, kendati dalam pandangannya semua pasangan calon buruk dan tidak layak, tetapi dia dapat memilih yang paling kurang buruk supaya yang paling buruk tidak berkuasa.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Noam Chomsky (2011), bahwa partisipasi politik masyarakat adalah suatu kewajiban. Jika kita tidak berpartisipasi dengan memilih, mengkritisi dan mengoreksi kebijakan politik, maka orang yang berkecimpung di dalamnya akan semena-mena. Berangkat dari gagasan ini, menurut saya, cara untuk mencegah politik burung unta ialah meningkatkan partisipasi politik masyarakat.
Melek Politik
Untuk berpartisipasi politik secara bijaksana dan kritis, masyarakat mesti melek (insaf; mengerti) terhadap masalah politik yang kerap muncul dalam pemilu di Indonesia dan masalah apa yang berpotensi muncul dalam pilpres 2024.
Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya, tantangan pemilu di Indonesia yang begitu masif ialah politik identitas. Ketika identitas seperti agama, suku, ras dan golongan masyarakat dipolitisasi, maka masyarakat akan terpecah dan saling memusuhi. Politik identitas merupakan bahaya besar yang mesti dicegah, karena ia bisa melahirkan kebencian antar sesama. Apalagi didukung oleh propaganda media.
Masalah lainnya ialah penyebaran hoax dan hate speech makin mudah dan luas berkat teknologi robot (bot) yang diatur sedemikian rupa dengan memanfaatkan algoritma media sosial. Demikian pula hasil rekayasa teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang tak kalah hebatnya. Selain itu, tantangan lainnya ialah politik uang (money politic).
Masalah di atas tentunya telah kita sadari. Kita tidak boleh lari dan menutup mata bak burung unta. Sebaliknya, kita mesti makin melek untuk mencegahnya dengan meningkatkan partisipasi politik seperti mewujudkan pemilu damai dengan bersaing secara sportif, tidak mendiskriminasi dan memusuhi, melainkan adu gagasan dan visi untuk Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.
Artikel Lainnya
-
65210/05/2021
-
567627/03/2020
-
101306/07/2020
-
Haruskah Anak Zaman Now Childfree?
150815/09/2021 -
Bergesernya Etika Jurnalistik dalam Era Industri Media
7610/11/2023 -
Tambang, Pariwisata, dan Pilkada NTT
170822/03/2020