Mencari yang Tak Kembali
Kira-kira berapa jumlah orang yang hilang dalam insiden politik di negara ini? Sungguh sulit untuk mencari jawabannya. Berbagai insiden politik di tanah air kerap meninggalkan jejak kasus orang hilang dan mengenai ke mana raibnya sejumlah nyawa itu selalu berujung tanda tanya.
Kasus penghilangan paksa bukan skandal baru, terutama di negara-negara yang memiliki sistem perpolitikan otoriter. Hal ini terjadi apabila ada indikasi saat situasi politik sedang bergejolak sehingga memunculkan gerakan prodemokrasi. Sasaran yang dituju tentu saja mengarah kepada figur-figur yang menjadi induk bala dari gerakan tersebut.
Bila mekanisme hukum sudah dimanipulasi dan ternyata masih tidak mampu membendung gerakan yang terjadi di masyarakat, maka tindakan yang dapat dilakukan hanya satu, yaitu menculik. Usaha untuk mempertahankan kekuasaan melalui upaya penghilangan paksa terhadap tokoh-tokoh penggerak biasanya tidak berjalan mulus, sebab pemerintah yang melakukan aksi tersebut pada dasarnya sudah rapuh dari dalam, sementara gerakan demokrasi telah menjalar secara meluas dan menjadi tuntutan dari masyarakat.
Dari serangkaian peristiwa di masa lalu, tampaknya para penguasa yang berupaya melakukan penghilangan paksa telah meramalkan, kalau sang pemimpin dilenyapkan maka denyut pergerakan akan berangsur-angsur berhenti. Oleh sebab itu, sasaran operasi penguasa lebih difokuskan kepada pelopor kegiatan politik.
Namun, jejak sejarah telah memperlihatkan, meskipun pemimpin dari suatu kelompok tertangkap, kegiatan perlawanan tidak akan mati. Barangkali gelombang gerakannya diperlambat tetapi tidak akan tamat begitu saja. Gerakan politik melebur menjadi sesuatu yang personal dan diperkuat lagi oleh fakta bahwa pemimpin disebut sebagai penggerak perubahan. Selain itu, hal ini semakin didorong oleh keadaan masyarakat yang menginginkan adanya perubahan sesegera mungkin.
Dalam kondisi terjepit, ketakutan yang kerap menyerang penguasa adalah kemungkinan kehilangan kekuasaan dan menghadapi segala tuntutan massa. Cara yang sering ditempuh salah satunya adalah mengirimkan tenaga professional yang sudah terlatih untuk melaksanakan operasi kilat dan tersembunyi terhadap pihak-pihak yang berpotensi menghalangi atau yang mempertanyakan kebenaran demokrasi dalam kehidupan berbangsa di negara ini. Andaikan oknum-oknum tersebut sudah dilenyapkan dan suatu hari timbul pertanyaan dari pemberitaan di luar negeri, maka penyelenggaraan kekuasaan cuci tangan ala Pontius Pilatus dapat terjadi, seolah-olah mereka mengarang narasi seperti mendapat ancaman musuh atau merekayasa berbagai alibi.
Jika Indonesia memang dideklarasikan sebagai negara hukum dan berfalsafah pada dasar negara Pancasila, hendaknya segala bentuk penghilangan orang secara paksa oleh siapapun atau organisasi manapun jelas tidak dibenarkan. Namun, hal ini sudah terjadi sehingga tugas dari semua aparat hukum diharapkan dapat terbuka untuk menyelesaikan perkara-perkara tersebut sesuai rambu-rambu hukum yang berlaku. Akan menjadi sebuah kekeliruan besar apabila oknum penguasa bersikap pura-pura tidak melihat, mengetahui, mendengar, tidak mau tahu menahu atau bahkan menganggap persoalan ini bukan bagian dari urusan hukum.
Pada tahun 1978, PBB mengeluarkan deklarasi yang menyatakan tindakan menghilangkan orang secara paksa digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat dan pantas dikutuk secara luas. Oleh sebab itu, banyak negara yang melahirkan organisasi khusus dalam usaha mencari dan menemukan orang hilang. Organisasi-organisasi itu digerakkan para aktivis HAM internasional dan dibantu oleh sanak keluarga yang anggota keluarganya masih berstatus “tidak jelas”. Di Indonesia sendiri beberapa komisi dibentuk untuk menyelidiki bagaimana nasib mereka yang hilang, tapi tak semuanya berjalan hingga tuntas. Berbagai upaya yang dilakukan belum mampu memulangkan mereka yang lenyap, kebanyakan yang dijumpai rumor simpang siur atau kuburan tak bernama.
Maka dari itu perlu dibentuk komisi atau tim pencari orang hilang bersifat independen yang mengajak banyak pihak untuk mengumpulkan fakta/data sebanyak mungkin dan menyerahkan semuanya ke suatu pengadilan yang bebas dari intervensi, hingga pada suatu titik di mana pengadilan tersebut juga perlu dihadiri oleh orang-orang yang kehilangan putra/putrinya, suami/istrinya atau ayah/ibunya yang serempak menuntut 'dipulangkannya' kembali sanak keluarga mereka. Barangkali usaha-usaha tersebut dapat menjadi wujud dari jawaban yang selama ini mereka cari.
Hingga hari ini, Maria Catarina Sumarsih, yakni ibu dari Wawan alias Benardinus Realino Norma Irawan, salah satu Mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas dalam Tragedi Semanggi I masih tegar berdiri di depan istana. Ia bersama rekan-rekan aktivis rutin melakukan aksi Kamisan ini sejak 18 Januari 2007 hingga sekarang untuk menuntut diadilinya para jenderal yang bertanggung jawab atas serangkaian peristiwa pelanggaran HAM, termasuk pihak-pihak yang melenyapkan putranya. Bukan karena ia belum rela ditinggalkan anak tercinta, tetapi supaya peristiwa serupa tidak terjadi kembali di masa mendatang.
Dan sekarang, salah satu orang yang seharusnya bertanggung jawab atas serentetan kejahatan tersebut telah disucikan namanya. Dia dibantu oleh berbagai pihak penguasa dengan gelontoran dana dan logistik melimpah untuk melancarkan jalannya menjadi orang nomor satu di negeri ini. Ia ditandu menuju tempat tertinggi.
Artikel Lainnya
-
97505/11/2021
-
42109/02/2024
-
229114/01/2020
-
Pemimpin Baru dan Spirit Natal
1801/01/2025 -
Transformasi Era Digital: Peluang, Tantangan dan Potensi Masa Depan
119619/05/2024 -
NTT dalam Sketsa Transformatif Pasca Pandemi Covid-19
124317/06/2020