Mencari Solusi Permanen Untuk Papua

Demonstrasi di Papua mengecam tindakan rasisme dan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua beberapa bulan lalu telah ditangani Pemerintah dengan cara kontraproduktif. Akses internet di Papua sempat diblokir, pasukan keamanan ditambah, demonstrasi dilarang, akses jurnalis lokal dibatasi, sedangkan jurnalis dan diplomat luar negeri dilarang ke Papua.
Konflik horisontal antara warga migran dan orang Papua yang terjadi di Wamena dan Jayapura adalah yang pertama kali di Papua. Patut diduga, konflik tersebut diciptakan seperti dulu yang terjadi di Timor Leste.
Langkah pemerintah tidak beranjak dari pola sebelumnya yang menjadikan Papua sebagai wilayah dengan tingkat kebebasan sipil yang sangat dibatasi. Penanganan seperti ini sesungguhnya tidak menyentuh akar masalah sehingga akan menjadi dinamit yang bisa meledak sewaktu-waktu. Mengapa demikian?
Adalah fakta bahwa rasisme yang menimpa mahasiswa Papua terjadi ketika mereka memprotes proses integrasi Papua ke dalam NKRI. Mereka memprotes Perjanjian New York yang difasilitasi Amerika Serikat antara pemerintah Indonesia dan Belanda tanpa melibatkan pihak Papua setiap 15 Agustus; pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang intimidatif setiap 1 Agustus; dan ‘hari kemerdekaan’ Papua setiap tanggal 1 Desember. Rentetan demonstrasi itu belum termasuk ketika mahasiswa Papua memprotes berbagai operasi militer yang menewaskan banyak korban sipil di Papua.
Di lain pihak, Pemerintah selalu melihat protes mahasiswa Papua tersebut sebagai separatisme. Tidak satu dua kali surat pemberitahuan demonstrasi yang mereka layangkan kepada pihak kepolisian ditolak. Ketika demonstrasi, mahasiswa Papua dihadang ormas ultranasionalis dan reaksioner, seperti Pemuda Pancasila.
Ormas-ormas ultranasionalis dan reaksioner dekat dengan banyak elit politik pusat dan daerah. Makalah Loren Ryter di Jurnal Indonesia, "Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto’s New Order" (No. 66, Oktober 1998) dan Film dokumenter "Jagal: The Act of Killing (2012)" karya Joshua Oppenheimer dapat menjadi medium memahami organisasi ini. Sedangkan buku Ian Wilson, "Politik Jatah Preman" (2018) berguna untuk memahami semua Ormas yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik, termasuk FPI dan FKPPI yang juga terlibat dalam pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya 16 Agustus lalu.
Penghadangan—yang beberapa diantaranya penulis melihatnya langsung—tersebut tentu melanggar hak kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. YLBHI telah merilis setidaknya 30 kali perlakuan diskriminasi rasial dialami mahasiswa Papua di Jawa selama setahun terakhir. Angka sebanyak itu belum termasuk tahun-tahun sebelumnya. Ironisnya, mahasiswa Papua lebih tampak di media sebagai biang kerok karena pemberitaan umumnya diskriminatif. Amatan Tony Firman, Media dan Diskriminasi Rasial Terhadap Papua (Remotivi, 04/09/2019) cukup jelas soal ini.
Oleh karena itu, tidak mengejutkan ketika kepolisian tidak melakukan apapun terhadap segala bentuk intimidasi ormas reaksioner terhadap mahasiswa Papua sebelum akhirnya tindakan rasis mereka viral pada 16 Agustus 2019.
Dengan demikian, perlakuan rasis terhadap mahasiswa Papua tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang natural, melainkan struktural. Artinya, peran Pemerintah signifikan dalam melanggengkan rasialisme itu.
Satu dekade lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil temuannya terhadap empat akar masalah konflik di Papua dan rekomendasinya. Empat akar masalah itu adalah kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua.
Keempat hal ini seharusnya dijadikan pertimbangan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan. Namun, temuan dan rekomendasi itu belum mengetuk hati Pemerintah untuk menyelesaikan masalah di Papua sampai ke akar-akarnya. Catatan yang diberikan berbagai lembaga NGO baik nasional maupun internasional masih diabaikan.
Ketika rakyat Papua memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan referendum, langkah-langkah yang diambil justru kriminalisasi, penangkapan, dan langkah-langkah kontraprodutif lainnya.
Berbagai laporan memang tentang operasi militer di Papua yang menewaskan banyak korban sipil, mulai dari Operasi Trikora 1962, Operasi di tahun-tahun sebelum dan ketika Pepera 1969, Kasus Biak (1970/1980), Kasus Wamena (1977), Kasus Jayapura (1970/1980), Kasus Timika (1994/1995), Kasus Nduga (2018), dan lain-lain tidak terlepas dari tuntutan referendum.
Disadari atau tidak, Papua telah menjadi objek dalam studi-studi konialisme dan genosida di luar negeri. Tidak terlampau susah untuk mencari hasil penelitian dengan kata kunci “colonialism” atau “genoside in West Papua”. Anda akan menemukan penelitian seperti Brundige, King, Vahali, Vladeck, “Yuan. Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control” (2005); Kjell Anderson, "Colonialism and Cold Genocide: The Case of West Papua” (2015); Elmslie & Webb-Gannon, “A Slow-Motion Genocide: Indonesian Rule in West Papua” (2013); atau penelitian lain.
Sejak dulu Pemerintah mungkin berharap bahwa meredam tuntutan referendum dengan berbagai cara akan menyelesaikan persoalan. Dengan cara hegemonik, hal itu dilakukan dengan pembangunan infrastruktur, pemberian otonomi khusus, mengirim putra daerah Papua untuk menempuh pendidikan di Jawa, dll.
Dengan cara koersi, peredaman dilakukan dengan penangkapan aktivis sampai pelarangan buku-buku. Tahun 2008, buku “Pembersihan Etnis Melanesia” karya seorang pendeta Papua, Socratez Yoman, dilarang Kejaksaan Agung. Alasannya, buku itu mengancam persatuan dan kesatuan, tanpa mengecek fakta-fakta dalam buku itu terlebih dahulu.
Langkah-langkah itu sudah terbukti tidak menghapus perasaan terjajah rakyat Papua. Protes besar dan tuntutan referendum di Papua pasca peristiwa rasisme di Surabaya adalah buktinya.
Merespon protes besar sejak pertengahan Agustus lalu, Pemerintah memang mengambil langkah cepat dengan menambah ribuan personil aparat keamanan dan kembali melakukan berbagai pembatasan ruang demokrasi di Papua. Hingga kini, 22 aktivis Papua yang mengaspirasikan kemerdekaan secara damai ditangkap dalam dua bulan terakhir. Sementara pengacara Veronica Koman dan jurnalis Dandhy Dwi Laksono ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan memprovokasi dan menyebarkan hoax tanpa bukti kuat.
Langkah seperti itu hanya akan menguatkan perasaan terjajah atau nasionalisme Papua, sebagaimana dulu timbul di kalangan nasionalis Indonesia pra kemerdekaan.
Citra Indonesia terhadap Papua mungkin saat ini sedikit ‘terselamatkan’ setelah dipilih menjadi anggota Dewan HAM PBB. Namun, citra tidak akan menyelesaikan persoalan. Dunia tahu bahwa penunjukan itu dilakukan ketika Pemerintah belum menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Papua.
Selain Indonesia, negara yang memiliki catatan merah soal HAM namun dipilih menjadi anggota Dewan HAM PBB tahun ini adalah Sudan, India, Venezuela, dan Australia. Kalangan aktivis HAM dan Komnas HAM justru menafsiran bahwa penunjukan menjadi anggota Dewan HAM PBB justru merupakan salah satu cara PBB menagih komitmen suatu Negara menyelesaikan kasus HAM di dalam negerinya.
Dengan demikian, jika benar-benar berkomitmen pada HAM dan menyelesaikan persoalan Papua, pemerintah mustinya mempertimbangkan pengabulan tuntutan self determination rakyat Papua.
Sebagai bangsa, kita terikat pada petikan kalimat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 sebagai konsensus pendirian Negara ini, bahwa “kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan”.
Adalah pilihan bebas rakyat Papua nantinya untuk menentukan bagaimana mengakhiri perasaan terjajah; apakah tetap dalam kerangka NKRI atau mendirikan negara sendiri.
Itu artinya Indonesia berbesar hati ketika bersedia memberikan hak penentuan nasib sendiri—sebagai hak yang dijamin oleh International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)—kepada Papua.
Artikel Lainnya
-
191707/11/2021
-
210821/06/2021
-
55806/04/2023
-
Politik Dinasti dan Kerentanan Korupsi
126102/09/2021 -
Corona dan Ritual Ibadah Kristen
375329/04/2020 -
Kondisi Pekerja Harian Lepas yang Rentan Di PT Meiloon Subang
113306/05/2023