Menanti Penegakan Supremasi Hukum di Bawah Rezim Prabowo-Gibran
“Apa sebenarnya yang kita harapkan dari sebuah pemerintahan baru ketika mereka bahkan tidak menyinggung soal pelanggaran HAM berat dalam pidato pertamanya?” Kalimat ini terus terlintas dalam pikiran saya beberapa hari terakhir. Ada semacam kelegaan saat melihat wajah-wajah baru di pemerintahan, tapi di sisi lain, ada juga kekhawatiran yang sulit diabaikan.
Khususnya, perihal komitmen pemerintahan Prabowo-Gibran dalam menegakkan supremasi hukum dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah lama membebani sejarah kita. Seolah-olah, beban sejarah itu semakin berat ketika pernyataan-pernyataan dari para pejabat pemerintahan baru ini seakan mengisyaratkan bahwa kasus-kasus tersebut mungkin akan tetap menjadi beban di masa mendatang.
Salah satu pernyataan yang membuat banyak orang, termasuk saya, merasa resah adalah pernyataan dari Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra. Beliau menyampaikan bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak terburu-buru. Pernyataan ini, pada satu sisi, bisa saja dipahami sebagai bentuk kehati-hatian. Namun di sisi lain, pernyataan ini mengundang skeptisisme: apakah ini pertanda bahwa kasus-kasus ini tidak akan menjadi prioritas? Di tengah tuntutan akan keadilan yang cepat dan transparan, komentar semacam ini justru terasa seperti peredam, seakan menyiratkan bahwa kasus-kasus ini tidak akan cepat terselesaikan.
Sejarah Indonesia sendiri menunjukkan betapa panjangnya daftar kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum terselesaikan. Penculikan aktivis 1998, peristiwa Trisakti, Talangsari, Tanjung Priok, hingga peristiwa berdarah Mei 1998 adalah beberapa kasus yang sampai sekarang belum menemukan kejelasan yang diharapkan masyarakat.
Lebih lanjut, jika kita lihat pada komposisi kabinet Prabowo-Gibran, ada dua nama yang menarik perhatian: Nezar Patria dan Mugiyanto Sipin, dua sosok yang merupakan korban penculikan pada 1998. Nezar menjadi Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, sementara Mugiyanto diangkat sebagai Wakil Menteri HAM. Saya merasakan paradoks di sini. Di satu sisi, pengangkatan mereka seolah menunjukkan bahwa pemerintah mengakui sejarah kelam yang pernah mereka alami. Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar: apakah ini merupakan cara untuk menenangkan para aktivis HAM atau hanya simbolisme kosong? Apakah mereka akan diberi ruang untuk benar-benar mendorong penyelesaian kasus-kasus yang menimpa mereka dan korban-korban lainnya?
Kegamangan ini semakin kuat karena dalam pidato pertamanya, Prabowo tidak sedikit pun menyentuh isu HAM. Saya mengamati reaksi publik yang menganggap ini sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah. Wajar saja, karena di negara demokratis, supremasi hukum dan HAM adalah fondasi utama yang seharusnya tak boleh dikesampingkan.
Lantas, jika dua hal ini tidak menjadi sorotan utama, lalu kemana arah pemerintahan ini sebenarnya? Ditambah lagi, dari delapan misi besar yang disampaikan bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, tak satu pun misi yang secara eksplisit menyebutkan perlunya menuntaskan kasus-kasus HAM berat yang tertunda. Ini jelas mengundang tanya: apakah kasus-kasus ini memang sengaja tidak menjadi bagian dari prioritas pemerintahan? Mengingat ini adalah momen awal yang seringkali menjadi penentu arah kebijakan, ketidakhadiran isu ini dalam agenda pemerintahan jelas menimbulkan kekhawatiran. Banyak pihak melihat ini sebagai sinyal bahwa penyelesaian kasus-kasus HAM mungkin hanya akan menjadi wacana, tanpa tindakan nyata.
Kenyataannya, memang negara kota sudah memiliki instrumen hukum untuk menyelesaikan kasus HAM berat. Mulai dari UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hingga Komnas HAM yang memiliki mandat untuk menyelidiki kasus-kasus ini. Namun, fakta bahwa banyak kasus lama belum terselesaikan menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada hukum, tetapi pada komitmen politik. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, seorang pakar hukum, “Hukum tanpa kekuatan politik hanya menjadi hiasan di atas kertas.” Kata-kata ini mencerminkan kegelisahan saya: bahwa selama tidak ada dorongan kuat dari pemimpin tertinggi, supremasi hukum hanya akan menjadi jargon tanpa makna.
Masa lalu kelam ini sebenarnya tidak hanya soal “menghukum” pelaku, tetapi lebih dari itu, ini soal mengakui bahwa ada korban yang hingga kini masih menunggu keadilan. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat menyisakan luka bagi keluarga korban yang belum kunjung sembuh. Mereka bukan hanya menginginkan kompensasi atau sekadar pernyataan maaf, tetapi mereka butuh kepastian bahwa apa yang menimpa keluarga mereka tidak akan pernah terulang lagi. Inilah yang membuat ketidakpastian atas komitmen pemerintahan baru ini menjadi sangat mengkhawatirkan.
Kekhawatiran saya semakin kuat karena adanya potensi impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu. Di berbagai negara, kita melihat bahwa ketika kasus-kasus pelanggaran HAM diabaikan atau tidak diselesaikan secara tuntas, maka budaya impunitas akan berkembang. Ini berbahaya karena dapat mengirimkan pesan bahwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah sesuatu yang “bisa dimaafkan” atau tidak berkonsekuensi serius. Di Indonesia, kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Jika pemerintah tidak serius menindaklanjuti, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum yang seharusnya melindungi hak-hak mereka.
Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa pemerintah mungkin berhadapan dengan dilema politik yang cukup rumit. Mengusut kasus pelanggaran HAM bisa saja menimbulkan ketegangan dengan berbagai pihak, termasuk kalangan militer dan aktor politik yang terkait dengan masa lalu kelam tersebut. Namun, apabila pemerintahan Prabowo-Gibran benar-benar ingin membangun negara yang lebih demokratis dan adil, maka mereka harus berani mengambil langkah-langkah tegas, meskipun mungkin akan menghadapi banyak tantangan. Transparansi dan keberanian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu akan menjadi ujian besar bagi pemerintahan ini.
Pada akhirnya, sebagai warga negara, saya hanya berharap agar pemerintah tidak melupakan tanggung jawabnya terhadap keadilan dan kemanusiaan. Karena penegakan hukum dan pengakuan terhadap pelanggaran HAM bukan sekadar tuntutan dari para korban, melainkan merupakan fondasi penting untuk membangun masa depan yang lebih adil dan beradab. Jika kita terus mengabaikan sejarah kelam kita, bagaimana kita bisa yakin bahwa kita tidak akan mengulanginya? Saya, dan mungkin banyak orang lainnya, hanya bisa menanti dan berharap, sambil terus mengawasi setiap langkah yang diambil pemerintahan Prabowo-Gibran dalam isu yang sangat penting ini.
Artikel Lainnya
-
101427/11/2021
-
228013/05/2024
-
119215/12/2021
-
Sapa Penulis #5 dr. Dicky Budiman M.Sc.PH, PhD : Intermediate Writer Bidang Kesehatan
505008/07/2020 -
Dilema Pangan dan Budaya Lumbung yang Dibenamkan
251703/05/2020 -
Menyelamatkan Tontonan Anak Bangsa
81907/06/2021