Menakar Makna Kerja dalam Sistem Pengupahan

Mahasiswa
Menakar Makna Kerja dalam Sistem Pengupahan 21/10/2020 1019 view Ekonomi serayunews.com

"Tak peduli orang yang lalu lalang di sekitar mereka. Meski dilototi si raja siang hingga keringat mengucur deras dan kelewat jam kerja, mereka pantang menyerah. Upah mereka diberikan setelah keringat mengering."

Kalimat terakhir pada teras peryataan di atas adalah sebuah potret tentang kerja. Kerja dibahasakan dengan sesuatu yang dikeluarkan, dilepaskan – entah keringat, tenaga, bahkan darah sekalipun. Setelah semuanya mengering, upah boleh diterima. Dengan kata lain, keringat adalah salah satu etalase yang memajang sederet hal yang dikerjakan seseorang. Keringat membuktikan bahwa seseorang bekerja. Durasi keringat mengucur adalah durasi seseorang bekerja. Setelah keringat mengering, upah lantas diberikan.

Tragisnya, realitas kerja berkeringat mulai uzur dimakan trend dan gaya hidup. Kerja tidak lagi harus berkeringat. Sebut saja, mencuri. Mencuri uang rakyat adalah sebuah pekerjaan yang dijalankan oleh orang yang mengaku “pekerja” – tepatnya pelayan rakyat. Alih-alih menjadi wakil/pelayan rakyat, mereka malah mendapat baptisan baru bernama pencuri (baca: koruptor). Contoh lain dari kerja tanpa berkeringat adalah begal. Bermodalkan nekat, begal meraup keuntungan dari pekerjaannya.

Akhir-akhir ini, kita juga mendengar wacana pembangunan gedung baru di kompleks Senayan. Para wakil rakyat ngotot memperbanyak fasilitas. Dari DPR ke arsitek. Belum menghasilkan apa-apa – belum bekerja – DPR sibuk membuka lapangan kerja untuk dirinya sendiri. Mereka tidak pernah berkeringat, tetapi upah bergerak bak kereta cepat. Mereka hanya berkeringat saat debat soal uang, partai, fasilitas, perpustakaan terbesar di Asia, minta saham, dan atribut nakal lainnya.

Realitas kerja hampir mengalami kelunturan arti. Dari Karl Marx, kerja mendapat perhatian penuh. Penyamarataan hak dan tuntutan seseorang pun mulai diberi apresiasi sekaligus diperbaiki. Istilah kerja secara perlahan-lahan dibongkar dan disusun ulang. Kerja seharusnya membantu seseorang menyuburkan skill atau profesionalitasnya. Upaya recycle kerja akhirnya mendapat pemaknaan yang layak kunyah baik oleh si pekerja maupun mereka yang menikmati hasil kerja. Dalam berbagai kesempatan, orang menyebut kerja sebagai salah satu cara untuk menyalurkan berkat. Misalkan, dengan kemampuannya, Rm. Mangun, Pr mampu menciptakan sekolah dan ruang gerak-bebas bagi mereka yang dikucak mata.

Dengan kata lain, kemampuan seseorang dalam menghasilkan sesuatu yang nantinya dikonsumsi oleh khalayak ramai merupakan bagian dari penyeberangan berkat. Kerja membawa serta unsur kedalamaan makna dan keluasan resonansinya. Kerja seperti inilah yang mengantar manusia menuju homo humanis. Ketika orang bekerja, ia membawa serta kemampuan dan prospek yang diharapkan. Salah satu prospek yang diharapkan adalah menikmati hasil kerjanya. Akan tetapi, kenyataan malah berbicara sebaliknya, si pekerja mengalamai keterasingan dengan hasil yang diciptakannya sendiri. Ia terlampau jauh dengan produk-produk yang telah dibesarkannya sendiri.

Kerja pun menjadi semacam sebuah kegiatan produksi yang berulang-ulang seperti kincir tanpa memberi kesempatan untuk menikmati hasil kerja itu sendiri. Waktu istirahat dari kerja pun, hanya sebentar. Jika waktu break ditelan jam kerja, lalu kapan si pekerja menikmati hasil kerja? Ketika kerja menjadi sebuah aktivitas produksi, nilai kerja pun habis ditelan tuntutan kegiatan produksi itu sendiri. Orang-orang yang tidak produktif pelan-pelan dilengser. Yang hanya menghasilkan sedikit produk akan dipotong gajinya dan yang tidak tahu menggunakan alat-alat produksi diberhentikan secara halus.

Tuntutan untuk memegang alat-alat produksi menjadi salah satu titik kegagalan homo faber atau homo laborans. Kerja menjadi sesuatu yang asing ketika alat-alat produksi menjamur di mana-mana. Kemampuan dan profesionalitas seseorang ditakar dari kapasitas menggunakan alat produksi. Jadi, kerja di era kelahiran teknologi mengalami metamorfosis definisi dan praktik. Definisi dan praktik kerja mulai dimonopoli oleh pemilik modal dan pemilik alat-alat produksi. Para pekerja – yang sejatinya mendefinisikan dan mengalami kerja – tidak lagi diberi kesempatan untuk memahami kerja. Pekerja hanya memikirkan tentang jumlah yang dihasilkan. Nilai-nilai kerja pun dipelesetkan. Menjual diri pun disebut kerja. Inilah kemampuan upah – memporak-porandakan kerja dan para pekerja.

Kerja: Kombinasi Ide, Kemauan dan Perbuatan

Sebanyak 16 mahasiswa Universitas Sophia, Jepang membantu memindahkan batako secara estafet di Kelurahan Kabil, Kota Batam, Kepulauan Riau. Mereka bergabung dalam sebuah organisasi yang digalang “Habitat for Humanity”. Program ini dilakukan untuk mengisi waktu liburan dan melatih mereka untuk bekerja keras dan menumbuhkan sikap peduli (Kompas, 12 Maret 2016). Dalam logika kerja, perbuatan atau aksi untuk bekerja-bergerak adalah hal yang sangat penting. Ketika memulai sebuah pekerjaan, seseorang perlu memiliki ide atau gagasan – setidaknya mengenai orientasi atau hal apa yang hendak dikerjakan.

Kerangka kerja yang dibentuk dalam sebuah dapur kelola ide atau gagasan, wajib dibahasakan. Dalam bahasa Jean Baudrillard, kerja menuntut semacam sebuah simulasi – simulasi kerja tepatnya. Ketika gagasan tentang kerja hanya didiamkan di kepala, kesuksesan dan arah pekerjaan akan mengalami misleading. Orang akan mengalami kemandekan orientasi visi pekerjaan ke depan. Selain ide atau gagasan tentang orientasi kerja, kerja juga perlu dilandasi kemauan. Kemauan adalah hal fundamen yang membedakan kerja manusia dan kerja binatang atau mesin. Paus Yohanes Paulus II melalui ensikliknya Laborem Excercens, menekankan pentingnya martabat manusia dalam bekerja.

Dalam bekerja, manusia menemukan dirinya sebagai subjek yang berada – artinya ia sadar akan setiap hal yang hendak dilakukannya. Dengan bekerja pula, manusia mengembangkan dunia sebagai manifestasi partisipasi dalam karya penciptaan Allah. Kerja pun harus mengangkat harkat dan martabat manusia, sebab kerja sejatinya melibatkan daya jasmani dan rohani manusia. Jadi, manusia menjadi subjek yang bebas dalam seluruh proses kerja. Aspek kebebasan itu dibahasakan melalui “gestute” kemauan – kemauan untuk bekerja. Apa yang dilakukan mahasiswa Universitas Sophia di atas tentunya diback up oleh karakter khusus, yakni kemauan.

Jika, orang dipaksa untuk bekerja, ia tidak jauh berbeda dengan mesin. Cara kerja mesin tergantung tangan manusia. Kadang mesin dipaksa untuk “lembur” atau bekerja terlalu lama sehingga hang dan mengeluarkan asap. Manusia bekerja dimotori oleh kemauan. Dan, orientasi kesuksesan dan keefektifan hal yang dicapai sangat tergantung pada kemauan seseorang untuk bekerja. Hal terakhir yang menjadi perhatian adalah kemauan dan ide orientasi kerja dibahaskan melalui perbuatan. Dalam perbuatan inilah kemauan dan orientasi kerja mendapat ruang untuk diproses.

Fenomena Upah

Fenomena "everything is going faster" sudah mengunci pola hidup societas dewasa ini. Gaya hidup yang serba glamour dan menenteng masyarakat cyber di tangan adalah salah satu hal yang menandai potret dunia sekarang. Karena tuntutan yang serba cepat, proses dan hasil yang efektif pun tidak lagi diperhitungkan. Yang terpenting cepat selesai, cepat saji, cepat sampai dan cepat dapat upah. Dalam dunia kerja, kehausan untuk mendapat upah lebih cepat sampai daripada hasil kerja yang maksimal. Misalkan, memimpin Ekaristi cepat-cepat, biar cepat makan, cepat pulang, cepat BBM-WA-Line-Facebook, nonton bola, atau cepat dapat intensi.

Inilah wajah kerja sekarang. Orientasi hasil dan proses dalam bekerja selalu duduk di bangku cadangan. Hal ini, sejatinya hendak menunjukkan bahwa kerja semata-mata adalah kegiatan mendapatkan upah. Cara-cara mendapatkan upah juga beraneka wajah. Ada yang melalui penipuan di jejaring sosial, mencuri, mengemis dan lain sebagainya. Pada umumnya, upah identik dengan keringat; dan keringat identik dengan kerja – konteks bekerja. Menurut Marx, pekerjaan upahan adalah pekerjaan yang mengasingkan manusia. Upah adalah wajah palsu apresiasi yang diberikan untuk membayar tenaga kerja.

Karena upah, orang tidak lagi bekerja sesuai dengan kemampuan atau skill alamiahnya, tetapi malah distir oleh keinginan mereka yang memiliki alat-alat produksi. Maka, baik pekerjaan yang dikerjakan maupun pekerjaan itu sendiri tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kepribadian pekerja. Demi upah, seorang pekerja memperalat kegiatan hakikinya – ia memperalat dirinya sendiri. Dalam sistem upah, buruh tampak bukan sebagai tujuan itu sendiri, melainkan sebagai hamba atau pembantu upah. Pekerja seharusnya merealisasikan dirinya, mengaktualisasikan potensi yang ada melalui kerja. Akan tetapi, upah memaksanya memikul potensi ide dan gagasan orang lain. Kebebasan si pekerja diambilalih oleh majikan dan upah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya