Membela Presiden Jokowi: Antara Rocky Gerung vs Die Hard Jokowi

Penikmat Politik
Membela Presiden Jokowi: Antara Rocky Gerung vs Die Hard Jokowi 02/08/2023 1168 view Politik Media sosial presiden Jokowi

Rocky Gerung, si pengkritik presiden Jokowi paling konsisten, kembali viral. Bekas dosen Universitas Indonesia itu menyebut presiden Jokowi sebagai "bajingan tolol" dalam sebuah kesempatan.

Pemilihan diksi yang digunakan Rocky memang selalu menohok batang leher dan mencolok mata orang yang dituju. Sebelumnya ia pernah mengatakan presiden Jokowi "dungu", "tidak paham Pancasila", "plonga-plongo" dan seterusnya.

Pernyataan-pernyataan Rocky tersebut menuai kontroversi di umum. Ada yang terang-terangan mendukung Rocky, terutama mereka yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan presiden Jokowi. Sementara para "die hard" presiden Jokowi ramai-ramai mengutuk dan melaporkan Rocky ke Polisi.

Beberapa pihak mengambil sikap masa bodoh terhadap kubu-kubuan itu, berjarak dengan konflik omong kosong itu sembari menertawakannya. Mungkin pihak yang ketiga ini sadar bahwa yang pertama dan yang kedua itu sedang bersandiwara untuk tujuan politiknya masing-masing yang dibungkus dengan moralitas yang terluka yang butuh perhatian dan dikasihani.

Yang menarik adalah selama ini Rocky, bak belut yang licin, selalu lolos dari cengkraman para pelapornya. Polisi berkali-kali menolak laporan mereka karena dianggap ucapan Rocky itu tak kena delik.

Rocky selalu berdalih dengan mengatakan bahwa yang dia hina adalah presiden Jokowi sebagai lembaga eksekutif, sebagai fungsi, sebagai kepala negara, bukan Jokowi sebagai pribadi, sebagai kepala keluarga.

Soalnya di sini adalah apakah Rocky yang terlalu paham soal hukum begitu rupa sehingga setiap ucapannya terukur dan lolos jeratan hukum ataukah para oposan Rocky yang terlalu cetek untuk memahami ucapan tersebut? Lepas dari yang pertama licin dan yang terakhir cetek otak, intinya hanya satu: Rocky harus dipenjarakan!

Rocky menyebut mereka ini sebagai kaum dungu: jumlah IQ 200 sekolam. Rocky selalu punya cara untuk mengekspresikan secara verbal kekesalannya kepada para lawan politiknya. Nyelekit memang sekaligus mengundang tawa.

Ketika Rocky menyatakan presiden Jokowi sebagai "bajingan tolol", para relawan Jokowi, seperti Benny Ramdani, secara gegap gempita, masif, dan siap tempur melaporkan Rocky ke Bareskrim. Ndilalah, laporan "pasukan tempur" pimpinan Ramdani kembali ditolak! Mereka tak putus asa, pokoknya Rocky harus ditangkap.

Sebetulnya apa sih yang sedang dicari oleh orang-orang ini dengan melaporkan Rocky? Kepuasan batinkah? Kemenangan demokrasi? Mengenang kembali romantisme perjuangan masa lalu yang katanya berjaya? Atau hanya ingin "show force" ke publik dan kepada presiden Jokowi bahwa "kami masih ada" untuk pertempuran 2024?

Saya sangat yakin presiden Jokowi, di ujung masa kekuasaannya yang hampir purnatugas ini, semakin mahfum tentang hakikat demokrasi. Makanya ketika dihina dan dikritik dengan diksi yang paling menyakitkan hati, presiden Jokowi anggap angin lalu. "Sudah biasa," kata presiden.

Presiden Jokowi sadar bahwa dalam negara demokrasi kritik dan kadang-kadang hinaan itu adalah fondasi yang menopang bangunan negara dan penjaga keseimbangan agar tak terpeleset. Maka, terhadap kritik dan hinaan itu, sikap yang tepat adalah mempertebal kuping dan tidak membungkam mulut para pengkritiknya.

Membungkam mulut para pengkritiknya justru membiarkan demokrasi semakin keropos dan mudah digerogoti oleh macam-macam soal terutama jatuhnya pemimpin demokratis ke dalam rezim diktator.

Jangan lupa, di masa lampau, negara Indonesia pernah punya pengalaman dan sejarah demikian yang menghasilkan diktator seperti Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin dan Suharto dalam Orde Baru. Pada masa kekuasaan mereka kebebasan itu barang haram!

Nukilan pernyataan Lord Acton (1833-1902) layak diutarakan, bahwa, "Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely" (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup absolut). Dalam hal ini kritik perlu sebagai antidote bagi mereka - mereka yang gemar mendorong dan menjerumuskan presiden Jokowi kepada kekuasaan yang sewenang-sewenang. Kritik itu "antidote absolute power!"

Saya kira presiden Jokowi tidak perlu dikuliahi soal ini, beliau sangat paham! Justru yang harus diantisipasi adalah para "die hard" presiden yang, entah sadar atau sangat terencana, ingin menampar muka presiden Jokowi dengan lapor-melapor yang justru mencitrakan presiden sebagai antidemokrasi!

Bukan Rocky yang harus dilaporkan, justru kita harus ramai-ramai membela Presiden Jokowi dari para "die hard" yang bernafsu cari muka di penghujung masa kekuasaan presiden. Ini bisa jadi preseden buruk ke depan. Misal saja, UU Subversif dicetuskan di era Sukarno tetapi masif digunakan oleh Suharto untuk habisi lawan politik.

Membela presiden tidak perlu dengan "menembakkan meriam ke nyamuk", tidak perlu membungkam kritik dengan jebakan hukum untuk menghabisi kebebasan berpendapat warga negara, tetapi secara konsisten mengingatkan presiden Jokowi bahwa demokrasi harus terus diperjuangkan.

Pada akhirnya, segala prestasi dan warisan politik Presiden Jokowi adalah jawaban dari seluruh kritik dan hinaan yang dialamatkan kepadanya selama hampir satu dekade ini. Apakah presiden Jokowi, selama berkuasa, mampu menjadi "kusir" yang menarik dokar bernama Indonesia ke arah yang benar atau "vice versa"? Kita tunggu saja!

Pertanyaan reflektif yang perlu diajukan di sini adalah siapakah yang nantinya akan menjadi Brutus yang menikam Julius Caesar (baca: Presiden Jokowi) dari belakang: para "die hard" yang suka cari muka atau Rocky Gerung yang mengkritik dan menghina secara blak-blakan?

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya