Membayangkan Tiga Periode Jokowi: Pelecehan terhadap Konstitusi

Jurnalis & Penulis Lepas
Membayangkan Tiga Periode Jokowi: Pelecehan terhadap Konstitusi 01/04/2022 1238 view Politik beritasatu.com

Pada awal Maret 2022, wacana penundaan pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden saat pandemi, kembali mencuat di ruang publik. Hal itu terjadi lantaran dipantik oleh tiga petinggi partai: Abdul Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Airlangga Hartarto dari Partai Golkar, dan Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional (PAN).

Secara umum, ketiga petinggi partai ini beralasan, karena: 1) ekonomi Indonesia sedang melesu akibat gempuran pandemi Covid-19; 2) anggaran pemilu 2024 yang cukup besar; 3) serta banyaknya aspirasi masyarakat yang menginginkan masa jabatan Jokowi diperpanjang. Namun, ketiga alasan ini patut kita pertanyakan.

Pertama, jika ekonomi yang sedang melesu akibat gempuran pandemi Covid-19 dijadikan sebagai alasan, bukankah Pilkada Serentak pada 2020 kemarin saja bisa tetap dilaksanakan? Bahkan di tengah penyebaran virus sedang ganas-ganasnya, yang mana, hal ini sejatinya berpotensi menghabiskan anggaran kesehatan lebih banyak lagi?

Kedua, jika anggaran pemilu 2024 dinilai cukup besar. Mengapa pemindahan ibu kota Jakarta ke Kalimantan Timur yang menghabiskan anggaran sampai bertriliunan saja, juga bisa tetap dilaksanakan? Terlebih saat pandemi seperti ini? Padahal, banyak pakar dan akademisi yang telah menilai, bahwa pemindahan ibu kota di era Jokowi, adalah langkah yang amat terburu-buru.

Ketiga, jika banyaknya masyarakat yang menginginkan masa jabatan Jokowi diperpanjang, masyarakat seperti apa yang dimaksud? Apakah mereka telah merepresentasikan pendapat publik secara keseluruhan? Bagaimana proses pendapat mereka didapatkan, dari hulu sampai ke hilir? Seberapa besar legalitasnya? Jika seluruh hal tersebut tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, saya curiga, jangan-jangan, itu hanya “rekayasa persetujuan” belaka?

Pelecehan terhadap Konstitusi (Sejak dalam Pikiran)

Beberapa akademisi dan peneliti telah menolak wacana tersebut. Mulai dari Fakhris Lutfianto Hapsoro, Dosen Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum IBLAM Jakarta, yang membawa perspektif konstitusionalismenya; Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta, yang melontarkan empat pertanyaan, terkait perlu atau tidaknya UUD 1945 diamandemen; hingga Virdika Rizky Utama, penulis buku Menjerat Gus Dur (2019) yang juga seorang peneliti di PARA Syindicate, yang membawa perspektif otoritarianismenya.

Jika beberapa akademisi dan peneliti telah membawa perspektifnya masing-masing. Maka, saya sebagai masyarakat sipil, yang kebebasan berpendapatnya dijamin undang-undang, namun tetap bertanggung jawab dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku—juga ingin membawa perspektif tambahan, yakni “pelecehan terhadap konstitusi sejak dalam pikiran”.

Perspektif ini didasari, setelah saya menimbang argumen Pakar Hukum Tata Negara, Deny Indrayana. Secara singkat, jika menggulirkan wacana tersebut (3 periode) menurutnya dianggap sebagai pelecahan terhadap konstitusi yang dilakukan secara berjamaah. Maka, membayangkannya saja, saya pikir, sudah melecehkan sejak dalam pikiran.

Mengapa demikian? Pendapat adalah manifestasi (wujud) dari suatu pemikiran. Sebelum mengutarakan pendapat, terlebih di kanal resmi, biasanya kita akan merumuskan aspek apa saja yang ingin dimasukan sebagai sebuah pendapat.

Ketika kita merumuskan sesuatu yang sebenarnya “sudah disepakati secara bersama”, di mana prosesnya telah mengorbankan berbagai hal. Sedangkan yang kita rumuskan ingin mengubah “kesepakatan bersama itu”, terlebih alasan/pendapat yang diajukan serasa “dibuat-buat”. Hal ini tentunya akan menimbulkan konflik di masyarakat.

Selain itu, hak memilih bagi setiap warga negara untuk setiap lima tahun sekali merupakan upaya (kontrol) bagi kita bersama, agar kekuasaan yang diberikan kepada seseorang, tidak digunakan secara serampangan. Dan hal ini, senada dengan prinsip-prinsip demokrasi yang tertuang dalam konstitusi.

“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945).”

Pemilu, sejatinya merupakan sarana kedaulatan rakyat. Ia menjadi syarat minimal bagi setiap negara yang ingin disebut demokratis. Karena dengan pemilu, transisi dan rotasi kekuasaan bisa berjalan; regenerasi kepemimpinan bisa terlaksana; akuntabilitas bisa terpenuhi; serta kontrol publik (rakyat) terhadap negara bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Dari perspektif HAM, pemilu pada dasarnya harus dianggap sebagai bentuk pelaksanaan hak individu untuk berpartisipasi dalam urusan publik (Citrawan, 2014: 3). Artinya, negara sebagai pihak yang bertanggungjawab, wajib untuk memenuhi serta melindungi hak-hak warga negaranya, guna mewujudkan partisipasi tersebut. Negara tidak boleh mengingkari hal ini. Terkecuali situasinya benar-benar dalam keadaan darurat (yang bisa diukur pula, seberapa jauh tingkat kedaruratannya).

Sekali pun prinsip-prinsip demokrasi yang tertuang dalam konstitusi dapat ditinjau ulang pada konteks terkini. Akan tetapi, resiko yang ditimbulkan nantinya, mungkin akan menghabiskan banyak biaya, waktu, serta tenaga yang lebih besar. Oleh karenanya, pemerintah perlu menimbang berbagai aspek, seperti stabilitas politik, hukum, ekonomi, dan yang lain.

Tetap Menjalankan Pemilu 2024

Terkait dengan siapa yang sebenarnya gencar mengampanyekan wacana penundaan pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden ini, selain ketiga petinggi partai yang telah saya sebut di muka, ialah Jokpro 2024. Kumparan melalui Liputan Khususnya, bertajuk “Kasak-Kusuk Perpanjangan Jabatan Jokowi” (2021), mungkin bisa membantu saya untuk menjelaskan lebih lanjut, terkait pelecehan terhadap konstitusi ini, yang dimulai sejak dalam pikiran.

Menurut liputan tersebut, kelompok masyarakat sipil yang menamai dirinya sebagai Jokpro 2024-lah, yang aktif dan masif, mengkampanyekan masa jabatan presiden tiga periode. Kelompok masyarakat sipil ini adalah para relawan Jokowi yang memiliki sekitar 1.400 simpatisan, yang berharap supaya Jokowi dan Prabowo bisa bersanding di Pilpres 2024 nanti.

Mereka aktif menggaungkan wacana penundaan pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden di berbagai media sosial. Mulai dari Instagram hingga Tik Tok. Bahkan, mereka juga kerap menggaungkan gagasan serupa melalui podcast serta kegiatan webminar, di setiap akhir pekannya.

Mereka punya dua misi utama: 1) menyadarkan masyarakat terkait pentingnya Jokowi menjadi presiden untuk ketiga kalinya; dan 2) memuluskan jalannya perubahan amandemen UUD 1945, agar Jokowi bisa menjabat sampai tiga periode.

Padahal, kita sudah banyak melihat terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, ketika kekuasaan tersebut diberikan terlalu lama (pada konteks Indonesia, melebihi 10 tahun). Secara historis, Soekarno dan Soeharto, yang sewaktu itu ingin menjadi presiden seumur hidup. Mestinya jadi sejarah penting, yang bisa kita refleksikan secara bersama. Juga, sebagai bahan pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Agar di kemudian hari, “jalan menuju jurang” bagi suatu pemerintahan, tidak kembali terulang di masa yang akan datang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya