Memahami isu karantina wilayah dari perspektif teori permainan

Mahasiswa manajemen industri
Memahami isu karantina wilayah dari perspektif teori permainan 29/03/2020 979 view Opini Mingguan pexels.com

Per tanggal 27 Maret 2020, jumlah pasien positif corona di Indonesia sudah mencapai 1.046 orang dan sejumlah 87 pasien tidak berhasil diselematkan. Angka pertumbuhan korban dari virus ini sudah berada pada level yang mengkhawatirkan.

Jika dilihat lebih detail, persebaran jumlah pasien virus corona tunduk pada Pareto Law, sebuah konsep statistik yang menyatakan 20 persen entitas memiliki kontribusi sebanyak 80 persen dari hasil keseluruhan. Mengacu pada data per tanggal 26 Maret 2020, dari 893 kasus corona di Indonesia, 759 kasus diantaranya hanya berasal dari 5 provinsi padat penduduk di Indonesia (DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Jawa Tengah). Distribusi kasus semacam ini memberikan kesan pada less-populated region bahwa mereka harus melindungi diri dari datangnya orang – orang yang berasal dari daerah padat penduduk. Tidak mengherankan jika kemudian beberapa daerah seperti Solo, Tegal, Papua, dan Maluku memberlakukan aturan karantina wilayah (dengan detail aturan yang bervariasi) untuk membatasi penularan virus corona.

Walaupun terlihat melegakan kebijakan semacam ini bukan tanpa cela. Bapak Menkopolhukam Mahfud M.D. menyebutkan perlu adanya peraturan pemerintah (PP) untuk menyeragamkan desain dari karantina wilayah. Namun demikian, hingga hampir 4 minggu lamanya sejak kasus corona pertama diumumkan oleh Bapak Presiden Jokowi pada tanggal 2 Maret 2020, pemerintah memberikan kesan bahwa mereka tidak tertarik dengan kebijakan lockdown ataupun karantina dengan berbagai alasan. Hingga sampailah kita pada isu terbenturnya keinginan dari daerah untuk melakukan karantina wilayah dengan tidak siapnya pemerintah pusat mengakomodasi kebijakan tersebut.

Saya bukan orang yang paham hukum ketatanegaraan, namun saya akan mecoba menjabarkan logika dari perspektif teori permainan.

Di dalam konsep teori permainan, ada dua jenis permainan jika dilihat dari sistem koordinasi antar pemainnya, yaitu permainan kooperatif dan non-kooperatif. Dalam permainan kooperatif, dua pemain akan bekerja sama menghasilkan satu keputusan atau kebijakan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Sebaliknya dengan permainan non-kooperatif, dimana dua pemain akan mengeluarkan keputusan atau kebijakan dengan berusaha untuk mencapai tujuan mereka masing- masing.

Perlu dicatat bahwa telah terbukti secara sains jika skema kooperatif akan menghasilkan solusi yang lebih baik dibandingkan skema non-kooperatif secara keseluruhan. Situasi yang saat ini kita hadapi dapat mengilustrasikan konsep ini secara utuh.

Walaupun sekilas terlihat baik, pemberlakuan aturan karantina wilayah secara sendiri – sendiri akan menghasilkan masalah baru. Sudah jelas bahwa dalam aturan karantina wilayah seperti ini, sebuah wilayah akan berusaha untuk melakukan pencegahan penyakit hanya untuk keamanan wilayah tersebut saja. Untuk mencapai tujuan tersebut, bisa jadi ada aturan-aturan yang melibatkan entitas (bisa penduduk perorangan, korporasi, pemerintahan) antar wilayah yang terabaikan.

Jika masing-masing wilayah membuat aturan karantinanya sendiri, justru masyarakat sendiri yang dikorbankan atas irisan kepentingan masing-masing wilayah.

Belum lagi jika kita melihat lebih dalam fenomena di masyarakat saat ini, rasanya terlalu naif jika mengharapkan masyarakat kita bisa menjalankan karantina secara utuh hanya dengan peraturan daerah. Hashtag #dirumahaja yang begitu masif di media sosial hanya dibaca oleh masyarakat yang punya media sosial plus sadar pentingnya tetap di rumah.

Dari mereka yang sadar pentingnya tetap di rumah, ada yang tetap diwajibkan datang ke tempat kerja karena pabrik tempat mereka bekerja tidak bisa berhenti melakukan proses produksi (karena besarnya biaya shutdown yang diperlukan). Yang kantornya bisa meliburkan karyawannya, ada mereka yang bekerja sebagai petugas keamanan, yang tetap harus bertugas mengamankan kantor yang kosong. Yang tidak bekerja di kantor maupun pabrik dan memilih berwirausaha skala kecil, mereka lebih parah lagi. Pemilik toko kelontong, penjual nasi goreng keliling, tukang bangunan, petani, dan peternak bahkan tidak bisa makan jika tidak bekerja.

Belum lagi budaya sosial di Indonesia yang kelewat kuat. Di daerah yang lebih rural, rasanya nyaris mustahil membatasi bertemunya warga antar tetangga. Ditambah budaya mudik lebaran yang waktunya akan datang tidak lama lagi. Peraturan daerah yang tidak seragam akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara calon pemudik, mengingat budaya mudik ini sudah begitu mendarah daging di masyarakat Indonesia.

Dengan adanya PP kekarantinaan dari pemerintah, memang pencegahan corona dapat dilakukan lebih efektif dibandingkan dengan tiap wilayah membuat dan memberlakukan aturan karantina wilayahnya masing-masing. Tapi dengan melihat sikap pemerintah pusat selama 4 minggu ke belakang, rasanya wajar apabila pemerintah daerah berusaha mendahului PP dari pemerintah pusat.

Jika langkah cepat tidak diambil, daerah tersebut bisa jadi akan ikut tertular wabah dari daerah lain. Setelah beberapa daerah mengeluarkan aturan karantina wilayah, pada tanggal 27 Maret 2020 kemarin melalui Bapak Mahfud M.D. menyatakan bahwa PP terkait karantina wilayah sedang dirumuskan. Sepertinya bagus juga karena paling tidak, aturan karantina dari wilayah sanggup mentrigger pemerintah pusat untuk merumuskan solusi yang lebih baik.

Besar harapan saya pemerintah pusat mampu merumuskan kebijakan karantina yang kuat dan mengikat sesegera mungkin. Bagi saya yang memiliki keluarga di daerah pedesaan, saya paham betul menolak kedatangan tetangga ke rumah adalah sebuah dosa sosial yang besar. Tanpa adanya aturan yang kuat, mustahil untuk dilakukan.

Semoga aturan karantina yang dihasilkan mampu mengakomodasi kepentingan golongan masyarakat yang kondisinya tidak memungkinkan untuk tidak keluar rumah untuk bekerja. Bagi semua yang memungkinkan untuk bekerja dari rumah, semoga diberi kesadaran untuk tetap berada di rumah masing-masing sebisa mungkin..

Dan yang terakhir, saya berharap tidak ada lagi miskoordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Semua pihak harus bersatu dan memiliki tujuan yang sama untuk menjaga keselamatan rakyat Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya