Memahami Gagasan ‘Pariwisata Kerakyatan’

'Pulau Komodo’: di sana ada keindahan alam dan keunikan satwa yang memanjakan mata. Jangan lupa mampir sejenak di daerah kami untuk berlibur sambil belajar. Lewat tulisan kecil ini, saya ingin berbagi kisah sekaligus perspektif pribadi mengenai urgensi gagasan ‘pariwisata kerakyatan’ yang digagas oleh Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur terhadap salah satu destinasi wisata terbaik yakni Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo, Manggarai Barat - Pulau Flores.
Sebagai seorang anak yang lahir di pedalaman Timor, Provinsi NTT, saya rasa kita perlu sampaikan sedikit apa yang ada di dalam Taman Nasional Komodo (TNK). Dinobatkannya Pulau Komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, telah membawa angin segar bagi berkembangnya ketenaran pariwisata NTT secara Nasional maupun Global. Alhasil, Provinsi Nusa Tenggara Timur perlahan mulai bertransformasi menjadi salah satu daerah pariwisata baru di Indonesia.
Dalam menyambut kenormalan baru, Pemerintah Provinsi NTT sudah membuka kembali destinasi wisatanya mulai 15 Juni 2020. Kepala Dinas Pariwisata NTT, Wayan Darmawa menerangkan, pembukaan pariwisata NTT akan dibagi dengan tiga fase. (Kompas.com 12/6/2020). Fase pertama untuk wisatawan lokal (hanya orang NTT saja), fase kedua untuk wisatawan nusantara (orang Indonesia), dan fase ketiga untuk wisatawan mancanegara. Saya kira ini gagasan yang cukup baik bagi perkembangan pariwisata.
Dibukanya destinasi pariwisata, bukan suatu keterpaksaan yang terkesan terburu-buru, sebab saya yakin sudah ada kajiannya terlebih dahulu. Kita tahu bersama bahwa prioritas pengembangan pariwisata, akan menjadikan sektor tersebut sebagai pusat ekonomi baru di NTT. Selama ini, NTT hanya berjuang di sektor pertanian, perikanan, dan peternakan. Karena itu, dengan dijadikannya Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia (NTT khususnya), maka tujuan dan arah pembangunan NTT pun mulai menuju ke arah yang lebih baik, khususnya secara ekonomi.
Beberapa hal yang menjadikan sektor Pariwisata sebagai sentra ekonomi baru antara lain karena mobilitas wisatawan yang berkunjung ke NTT terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini tentu akan meningkatkan pendapatan daerah. Dengan meningkatnya mobilitas wisatawan, maka transaksi material (barang dan jasa) juga akan meningkat. Hal ini akan merambat pada peningkatan pendapatan domestik regional bruto. PDRB ini selanjutnya menjadi indikator domain bagi pertumbuhan ekonomi, (Vox NTT, 9/3/2020). Disamping itu, sektor pariwisata mampu menyerap tenaga kerja yang banyak.
Sejatinya, jika sektor pariwisata bisa berkembang dengan baik sesuai harapan kita semua, niscaya, imbasnya akan menjalar ke berbagai sendi kehidupan. Sebagai warga NTT, saya sangat bangga dengan adanya perhatian Pemerintah (Pusat) terhadap sektor pariwisata NTT khususnya di Taman Nasional Komodo (TNK). Adanya perhatian ini membuat Gubernur NTT mencanangkan gagasan baru yakni ‘Pariwisata Kerakyatan’. Inilah harapan besar bagi masyarakat NTT pada khususnya, karena kearifan lokal dan budaya daerah tidak luntur ditelan modernisasi yang terkandung di dalam konsep ‘Pariwisata Premium’.
Hemat saya, gagasan pariwisata kerakyatan adalah gagasan yang pro rakyat kecil, sebab rerata masyarakat NTT masih lekat dengan budaya dan kearifan lokal. Gagasan ini juga sebenarnya adalah jalan terbaik agar nilai jual destinasi wisata TNK bisa dikemas dalam balutan budaya lokal. Pariwisata perlu dibangun berbasiskan pemberdayaan ekonomi masyarakat, agar masyarakat bisa mendapat manfaat atas aset pariwisata (khususnya TNK) yang dikembangkan itu. Belum lagi, tenaga kerja sudah pasti akan direkrut dari masyarakat lokal sendiri. Inilah yang patut diindahkan Pemerintah agar destinasi TNK tidak merugikan rakyat sendiri.
Karena itu, secara logika, konsep pariwisata berbasis kerakyatan haruslah melibatkan masyarakat dalam segala aspek. Warga lokal harus menjadi subjek sekaligus objek dari pembangunan pariwisata. Ini merupakan syarat etis dari sebuah pembangunan, baik itu manusianya, budayanya, maupun lingkungan sekitar. Kendati begitu, apakah konsep pariwisata kerakyatan ini bisa benar-benar pro rakyat?
Saya kira kita musti jeli membaca hal tersebut, sebab belakangan ini, pembangunan sektor pariwisata, selalu ‘diganggu’ dengan konsep ‘pariwisata premium’. Kalau sampai hal ini terjadi, maka konsep tersebut pada dasarnya menegasikan visi pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan yang digagas pemerintah daerah NTT. Sudah pasti hal ini akan mengurangi peran serta masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata di daerahnya sendiri.
Saya kira kita perlu memangkas dominasi investasi langsung yang menyediakan layanan pariwisata premium oleh para pemilik modal, terlebih mereka yang bukan orang NTT, sebab kalau dibiarkan, maka semua UMKM lokal milik masyarakat kecil akan kalah bersaing. Atas dasar itu, maka Pemerintah Nusa Tenggara Timur harus melakukan pendampingan terhadap masyarakat pelaku pariwisata dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepariwisataannya yang berbasis kearifan lokal agar bisa menjadi komoditi unggulan yang akan dipamerkan.
Selain itu, agar pariwisata kerakyatan bisa berjalan, maka Pemerintah juga perlu membuat regulasi hukum yang jelas, yang mewajibkan wisatawan mana saja untuk menikmati layanan kepariwisataan yang disediakan oleh masyarakat lokal, semisal, kuliner ataupun homestay yang dikembangkan oleh masyarakat kecil, sebab kalau tidak, maka kita akan kalah bersaing dengan gagasan pariwisata premium yang hanya bisa diakses oleh masyarakat kelas atas.
Menimbang hal ini, maka Pemerintah harus bisa menyiapkan SDM masyarakat lokal sebaik mungkin, khususnya pengetahuan pariwisata yang baik, sehingga mampu menangkap peluang dari sektor ‘baru’ ini dan menciptakan kreativitas baru dalam mempromosikan TNK yang unik dan khas. Inilah tanggung jawab besar kita bersama dalam memajukan sektor pariwisata di bumi Flobamora. Kiranya semboyan “Bae sonde bae, Flobamora lebih bae” menggema dalam diri kita semua sehingga hidup kita menjadi lebih baik ke depannya.
Artikel Lainnya
-
112405/01/2021
-
59121/04/2022
-
81831/08/2020
-
Catatan Redaksi: Bagaimana Terorisme Tumbuh Di Era Digital?
83118/04/2021 -
Gerakan KAMI dan Demokrasi Kita
105310/08/2020 -
Lemahnya Kuasa Negara Atas SDA dalam Omnibus Law
190408/02/2020