Masyarakat Digital dan Implikasi Sosiologisnya

Akademisi dan Peneliti
Masyarakat Digital dan Implikasi Sosiologisnya 18/12/2023 356 view Ekonomi media.istockphoto.com

Dunia online sering dianggap sebagai dunia tanpa batas, di mana seluruh sumber informasi dan komunikasi secara merata dapat dibagikan kepada seluruh pengguna. Para pengguna internet yang dikategorikan sebagai jejaring komputer (computer networks) dilihat memiliki basis komunitarianisme. Ciri yang melekat di dalamnya yaitu adanya kapabilitas teknis, yang diinterpretasikan sebagai aksesibilitas universal.

Pandangan ini dikelompokkan sebagai determinisime teknologi, yang cenderung mengabaikan konteks sosial dalam penggunaan internet. Padahal, konteks sosial turut menghasilkan ketimpangan akses dalam mengakses internet dan memperoleh informasi dan jejaring sosial di dunia online (Dewantara, 2015).

Konektivitas tanpa batas ini mensyaratkan jejaring sosial online sebagai sebuah interkoneksi individu, kelompok, dan organisasi melalui internet. Jejaring sosial online lebih menekankan adanya keterhubungan individu yang terbangun melalui media elektronik. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa internet hanyalah teknologi yang memfasilitasi manusia untuk melakukan hubungan. Sebab, meskipun batasan spasial telah dihilangkan melalui “satu klik mouse” oleh internet yang membawa para penggunanya dalam jangkauan yang sama dalam dunia elektronik.

Kesenjangan digital merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Pasalnya, dunia online adalah bagian dari dunia nyata yang terpolarisasi dan tidak merata dalam distribusi material dan informasi. Aturan normatif yang beroperasi secara offline juga mengatur komunikasi manusia secara online, yang memungkinkan individu dan organisasi tertentu memperoleh bagian yang lebih besar dari sumber daya jaringan online yang berharga karena ditentukan oleh posisi dalam hierarki sosial. Internet sendiri tidak dapat menghindari hambatan kesenjangan berupa ketidaksetaraan dalam mengakses sumber daya online (Elesh, 2007).

Cakupan dari kesenjangan digital juga membahas bagaimana pengetahuan diperoleh secara tidak merata pada masyarakat informasi. Setidaknya tiga hal yang melingkupi kebutuhan terhadap pengetahuan, yaitu akses terhadap teknologi digital, akses untuk memperoleh informasi, dan untuk mengetahui bagaimana menggunakan teknologi digital. Pasalnya, ketika memiliki akses menggunakan internet tidak menjamin seberapa banyak nilai yang diperoleh pengguna dari internet. Literatur kesenjangan digital sebelumnya belum menggunakan pendekatan teoretis sebagai upaya untuk menganalisis kesenjangan digital dan implikasi sosialnya (Hargittai, 2003).

Terdapat beberapa penyebab mengapa kesenjangan ini terjadi. Pertama, internet tidak terlepas dari komersialisasi yang menjadikan dunia maya sebagai komponen penting dari ekonomi pasar offline.

Kedua, adanya integrasi yang menyeluruh antara dunia online dengan dunia offline juga mengalirkan modal, arus informasi, teknologi, interaksi organisasi, gambar, suara, dan simbol, dimana aliran ini tidak selalu menguntungkan semua masyarakat, sehingga meningkatkan kesenjangan digital yang kaya dan yang miskin.

Ketiga, terdapat wilayah-wilayah di dunia ini yang tidak terlalu membutuhkan internet untuk jejaring mereka karena unsur lokalitas masih berperan, justru dengan memaksakan secara cepat dan masif penggunaan internet ke mereka akan menganggu sistem kehidupan mereka sehari-hari.

Untuk menganalisis kesenjangan dalam masyarakat digital maka harus mengesampingkan perbedaan kepemilikan akses internet. Sebab, analisis terhadap kepemilikan akses internet hanya akan mengantarkan pada diskusi tentang penyebaran teknologi digital. Pada dasarnya kesenjangan digital membutuhkan analisis yang lebih mendalam. Utamanya terkait dengan ketidaksetaraan secara digital cenderung memperkuat ketidaksetaraan sosial dan mempengaruhi peluang hidup di era digital. Pada dasarnya, kesenjangan digital menggambarkan persebaran penetrasi teknologi tertentu dalam masyarakat tertentu.

Di sisi lain, kesenjangan digital dengan basis perbedaan dalam menggunakan dan mengakses internet, dapat juga digunakan untuk menganalisis kesenjangan sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Beberapa penelitian telah berfokus pada bagaimana modal sosial dapat mempengaruhi kesenjangan digital dengan menunjukkan bagaimana aktivitas online dapat meningkatkan modal sosial, modal manusia dan modal ekonomi. Literatur tentang hubungan antara modal sosial dan digital terutama berkaitan dengan bagaimana kesenjangan digital dapat meningkatkan ketidaksetaraan dalam hal kepemilikan modal sosial. Menurut Elesh (2007) kapital digital diartikan sebagai kolaborasi keahlian, pengalaman, keterampilan, pengetahuan, literasi digital, dan akses digital, serta konversi ekonomi, sosial, budaya, pribadi dan politik menjadi digital.

Kemunculan kapital digital, pada gilirannya, tidak hanya menghasilkan kesenjangan digital antara orang yang dapat dan tidak dapat mengakses internet, seperti dikenal dengan first digital divide, tetapi juga ketidaksetaraan dalam hal manfaat yang diperoleh secara online sebagai second digital divide (Elesh & David, 2007).

Keterhubungan ini cenderung menciptakan tingkat kesenjangan digital ketiga, yang dilihat sebagai manfaat sosial dari penggunaan internet. Seperti yang terlihat mengenai akses dan penggunaan internet dipengaruhi oleh posisi sebelumnya dalam sistem sosial. Latar belakang pengguna memengaruhi cara orang mencari informasi dan motivasi untuk menggunakan digital. Di samping itu, hal ini juga membantu memberikan keterampilan untuk menguraikan dan memproses informasi tersebut.

Penggunaan yang berbeda-beda, berdasarkan tingkat modal digital tertentu, pada gilirannya dapat menghasilkan hasil yang berbeda. Hal ini masih berpotensi untuk diinvestasikan di pasar berupa pengkonversian kapital ekonomi secara online, sehingga meningkatkan peluang kehidupan individu. Penggunaan teknologi digital yang tepat sangat membantu untuk meningkatkan status sosial ekonomi seseorang.

Kapital digital dapat dilihat sebagai “modal jembatan”, yang mentransfer manfaat berwujud dan tidak berwujud yang berasal dari lima modal ke dunia digital (Dewantara, 2015). Pada gilirannya, peningkatan modal berasal dari pengalaman digital yang berkontribusi terhadap konsolidasi dan peningkatan modal yang sudah dimiliki di ranah offline. Bentuk kapital digital secara lebih lanjut dapat diwujudkan melalui literasi digital, literasi, kepercayaan diri dan kemampuan, dan keterampilan bahasa.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya