Masyarakat Buta Istilah, Siapa Peduli?

Mahasiswa STFK Ledalero
Masyarakat Buta Istilah, Siapa Peduli? 31/03/2020 1676 view Pendidikan Flickr.com

"Si Mbah di Desa Tanya: 'Social Distancing' itu Makanan Apa?"

Tulisan di atas ialah judul salah satu esai yang ditulis Nurhidayah yang dimuat di media Mojok.co edisi 20 Maret 2020. Menurut dia, istilah social distancing itu gampang dipahami milenial dan kelas menengah, tetapi sulit dimengerti oleh Si Mbahnya yang tinggal di dusun pelosok. “Disuruh social distancing, Mbah,” tulisnya. Tetapi Si Mbah menjawab: "social distancing itu makanan apa?"

Hemat saya, sosok Si Mbah pada tulisan Nurhidayah merepresentasi semua masyarakat Indonesia yang sulit mengakses media teknologi sehingga mereka menjadi gagap internet dan akses informasi menjadi terbatas. Bukan tidak mungkin hal ini berdampak lanjut pada ketidaktahuan mereka terhadap istilah-istilah sulit di media. Selain akses ke media yang terbatas, bisa jadi ketidakpahaman mereka tentang istilah-istilah sulit tersebut disebabkan faktor buta huruf apalagi bila ini terjadi pada masyarakat pelosok seperti Si Mbah tadi.

Mesti diakui bahwa merebaknya berita pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di media saat ini, berbanding lurus dengan kuantitas istilah yang digunakannya. Kita bisa mendapatkan berita terkait kasus pandemi tersebut dari banyak pihak, baik dari teman sekitar, guru, pemerintah setempat, maupun dari media.

Berkaitan dengan pemberitaan dari media daring misalnya, tidak sedikit media daring memberitakan tentang pandemi Covid-19 termasuk pengertian, asal penyebab, sejarah awal, gejala, dampak, dan juga cara-cara mengatasi pandemi virus tersebut. Kendati demikian, dalam pemberitaan tersebut banyak pula istilah yang digunakan.

Berkaitan dengan ini, Indozone.id (21/03) menyebut ada 10 istilah seputar virus korona yang sering muncul dan dipakai media daring. Kesepuluh istilah tersebut ialah epidemi, pandemi, Orang Dalam Pengawasan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), suspect, swab test, lockdown, cairan disinfektan, Work From Home (WFH), dan social distancing.

Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa banyak juga istilah asing yang digunakan media. Dalam salah satu artikelnya, Kuncoro Maskuri melihat bahwa alasan-alasan penggunaan kata-kata asing dalam pemberitaan media terkait erat dengan fungsi bahasa.

Menurut gagasan Popper (1972), ada banyak fungsi bahasa. Dua di antaranya ialah fungsi informatif (the informative function) dan fungsi deskriptif (the descriptive function). Di sini kita bisa lihat bahwa fungsi bahasa tidak melulu untuk menyampaikan keterangan/informasi kepada orang lain (fungsi informatif), ini fungsi yang paling umum dikenal masyarakat. Akan tetapi, ada pula fungsi deskriptif, yaitu untuk memaparkan suatu objek/benda-benda dalam dunia eksternal.

Pada aras ini, poin saya ialah bahwa penggunaan istilah asing dalam pemberitaan media tidak selalu mendarat dengan baik dalam kamus perbendaharaan kata-kata masyarakat sederhana yang tidak mengerti betul tentang arti dari istilah tersebut. Sebagaimana Popper, media sebetulnya hanya berhenti pada fungsi informatif. Ia kurang peka untuk memakai pisau fungsi yang lain seperti fungsi deskriptif. Kembali pada gagasan Popper bahwa fungsi deskriptif ialah untuk memaparkan suatu objek (baca: berita) kepada dunia eksternal (baca: masyarakat).

Hemat saya, penggunaan istilah asing di media, seperti suspect, swab test, lockdown,Work From Home (WFH), dan social distancing, bisa saja menegasi adanya fungsi deskriptif dalam media. Hal ini terjadi apabila media tidak menjelaskan secara gamblang dan sederhana terkait maksud dari istilah-istilah tersebut.

Tentu saja hal ini sangat sulit jika pemberitaan semacam ini dialamatkan bagi masyarakat dengan keterbatasan perbendaharaan yang tidak cukup. Mereka tidak mengerti apa itu suspect, mengapa kita harus swab test dan tidak mesti lockdown, atau kenapa Work From Home (WFH) mesti dijalankan. Bahkan yang paling konyol dan lucunya ialah ketika masyarakat menyebut social distancing sebagai makanan.

Akhirnya, dalam melampaui kekeliruan-kekeliruan semacam di atas, saya menganjurkan solusi untuk kembali kepada kesadaran kita sebagai pemberi terang bagi beberapa masyarakat. Beberapa pihak yang bisa saya sebutkan di sini ialah mahasiswa dan pemerintah setempat. Pada titik ini kedua pihak tersebut mesti bergerak secara praktis di kehidupan nyata. Keduanya sudah semestinya menjembatani berita di dunia virtual media dengan dunia nyata di tengah masyarakat. Selain itu, keduanya juga mesti memberi terang atas istilah-istilah asing tersebut.

Pada konklusi ini, masyarakat mesti dibuka pikirannya bahwa kerja dari rumah itu penting untuk mengurangi kontak fisik dengan orang lain. Itulah maksud social distancing sebenarnya, membatasi relasi atau membuat jarak dengan siapa saja.

Sekali lagi, ia bukanlah sejenis makanan seperti kata Si Mbah. Jadi, mari kita membawa terang bagi masyarakat dan semua orang supaya mereka tidak kegelapan atau pun tidak buta akan istilah-istilah asing di media. Lantas, pertanyaan: "siapa yang peduli atas kebutaan istilah masyarakat?" itu mesti kita jawab sekarang, oleh kita sendiri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya