Masyarakat Besipae-NTT Membutuhkan Pemimpin yang Demokratis dan Dialogis

Pencinta Produk Lokal
Masyarakat Besipae-NTT Membutuhkan Pemimpin yang Demokratis dan Dialogis 05/06/2020 1189 view Politik Pixabay.com

Berbicara soal kepemimpinan selalu menjadi topik aktual dan mendesak untuk didiskusikan. Hal itu niscaya karena di era apapun, pemimpin dan kepemimpinan yang baik biasanya ekuivalen dengan kesejahteraan anggota-anggotannya.

Dalam hidup berbangsa, kepemimpinan merupakan instrumen penting yang menentukan arah dan kemajuan suatu bangsa sebagaimana yang diamanatkan konstitusi suatu negara. Terwujudnya tujuan suatu negara sangat ditentukan oleh gaya dan kualitas pribadi pemimpinnya.

Dewasa ini dunia tidak hanya sedang dilanda krisis moneter. Krisis lain yang muncul ialah krisis kepemimpinan yang seringkali membuat situasi menjadi tidak menentu. Krisis kepemimpinan terjadi di mana-mana. Skandal demi skandal pun bermunculan.

Pemimpin yang berkuasa dalam suatu negara atau daerah memang tidak bisa lepas dari sorotan dan kritikan berbagai pihak serta rongrongan berbagai kepentingan. Mulai dari oposisi (meski oposisi dalam konteks Indonesia secara nasional sudah tidak jelas), masyarakat yang menagih janji kampanye hingga sorotan media yang turut mengawasi kinerja mereka.

Kualitas seorang pemimpin dapat dinilai salah satunya melalui gaya kepemimpinannya. Tentu saja kritik dapat bermunculan oleh karena alasan krusial: pemerintah kurang efektif dalam menjalankan tanggung jawabnya.

Baru-baru ini, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat ramai diperbincangkan oleh khalayak dan menjadi sorotan banyak media. Laiskodat dikritik lantaran pemimpin yang pernah mengakui diri sebagai “profesor penjahat” itu melakukan aksi yang cukup menggemparkan masyarakat NTT.

Tepat pada Selasa 12 Mei 2020, khalayak dihebohkan dengan pemberitaan di berbagai media yang memuat aksi “telanjang dada” warga Besipae. Aksi tak biasa itu merupakan bentuk protes terhadap Gubernur atas klaim tanah adat milik warga oleh Pemerintah Provinsi NTT. Dan hal yang tidak kalah heboh ialah reaksi Laiskodat yang berani memanjat pagar dan memarahi masyarakat yang sedang melakukan aksi protes demi penuntutan keadilan dan transparansi penunjukkan tanah milik mereka.

Terhadap aksi Laiskodat tersebut, penulis menilai bahwa aksi Laiskodat merupakan tindakan yang mencerminkan sikapnya yang kurang dialogis dan demokratis dalam menyelesaikan suatu masalah. Eksistensinya sebagai seorang pemimpin dapat saja dipertanyakan khalayak. Pemimpin sejatinya adalah seseorang yang rendah hati dalam mendengarkan setiap aspirasi rakyat demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Akar Persoalan dan Kelayakan Laiskodat

Pemberitaan terkait aksi “telanjang dada” yang dilakonkan oleh perempuan Besipae bukan tanpa alasan. Hal itu mesti dilihat sebagai model aksi kemanusiaan. Sebagaimana ulasan Pos Kupang (12/05) “aksi bugil” itu merupakan bentuk protes masyarakat karena Pemprov NTT mengklaim kebun dan tanah mereka sebagai tanah Pemprov. Mereka menuntut sertifikat hak pakai Pemprov serta pemetaan ulang agar kebun dan rumah warga tidak masuk dalam tanah hak pakai Pemprov NTT.

Mengenai persoalan tersebut, Niko Mana’o selaku Amaf dari desa Pa’e ketika diwawancara via telepon oleh gardaindonesia.id (18/5) menegaskan: Pertama, persoalan sudah berlangsung selama 12 tahun namun belum diselesaikan. Karena itu, mereka kecewa dan ibu-ibu bertelanjang dada. Itu juga sebenarnya tidak disengaja atau tidak direkayasa. Mereka mengharapkan agar persoalan itu dapat terselesaikan dengan baik dengan duduk bersama.

Kedua, kalau bisa sertifikat yang diterbitkan Dinas Peternakan dicabut dan digugurkan karena di dalam poin kedua sertifikat mereka mengatakan bahwa sebidang tanah yang mereka miliki itu di luar dari kehutanan sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan. Ada dua sertifikat untuk satu lokasi, yaitu dari Dinas Peternakan tertanggal 19 Maret 2013 dan dari Dinas Kehutanan juga RPK.

Sejak persoalan itu dimulai, masyarakat setempat hidup dalam ketidakpastian dan penuh tekanan. Tanah mereka berada dalam kendali pemerintah. Sejak itu pula berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat demi menyelamatkan tanah mereka. Bahkan sampai pada aksi “bugil” demi memperoleh keadilan dan hak hidup karena bagi mereka tanah adalah ibu yang selalu memberikan kehidupan.

Muncul ketakutan dalam diri masyarakat jika sewaktu-waktu tanah mereka digerus atas nama pembangunan, padahal di balik itu ada sebagian elit berkonspirasi demi meraup keuntungan yang besar. Masyarakat tidak ingin kehilangan tanah, sehingga segala cara dilakukan bahkan menjual harga diri dengan aksi “bugil” di hadapan Gubernur. Mereka sedang melakukan aksi kemanusiaan.

Viktor Laiskodat merupakan “anak kampung” yang mengetahui secara jelas kehidupan masyarakat. Semestinya dia menyadari bahwa tanah merupakan satu-satunya sumber kehidupan bagi masyarakat petani. Ketika tanah mereka dijarah dan dirampas, dari mana mereka mengais rejeki? 

Tanpa tanah mereka tidak dapat bertahan hidup. Semoga hati Pak Gubernur sedang tidak tumpul terhadap jeritan dan tangisan masyarakat. Di sisi lain, orang akan bertanya-tanya masih layakkah Laiskodat disebut sebagai pemimpin yang bekerja untuk menyesejahterakan masyarakat apabila potret ketidakadilan dipertontonkannya?

Atas kasus tersebut, penulis menemukan tiga hal. Pertama, kelayakan gaya kepemimpinan Laiskodat benar-benar diuji. Ia diuji dengan apakah ia benar-benar mau membela rakyat atau tidak.

Kedua, karena ia tak mampu memberi jawaban pasti terhadap aksi itu, maka terbentuklah dekadensi kepercayaan masyarakat terhadap gaya kepemimpinanya. Ini dapat menjurus kepada krisis kepercayaan yang turut berimplikasi kepada gerak pembangunan, yang pada proses demokratisasi di Era Reformasi telah berkembang lebih maju dibandingkan dengan era-era sebelumnya.

Ketiga, kegagalannya untuk memberikan solusi. Jika kembali pada latar belakang historis dari tanah yang sedang dipersoalkan, Pemerintah Provinsi NTT dinilai cukup lamban dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan suatu sengketa.

Bayangkan, persoalan tanah sudah dimulai sejak zaman Belanda. Hal itu membuktikan bahwa pemerintah dinilai gagal dalam menyelesaikan persoalan yang sudah lama menggerogoti masyarakat. Bahkan masyarakat Besipae sudah lama hidup di bawah tekanan dan ancaman lantaran tangisan mereka yang kurang didengar serta hak-hak mereka yang kurang dihargai. Seandainya mereka membangun iklim yang demokratis dengan menjunjung tinggi nilai musyawarah, maka penulis yakin persoalan tanah itu tidak akan berlarut-larut.

Berhadapan dengan persoalan di atas, hemat penulis perlu dicari suatu solusi bagaimana mengatasi krisis kepemimpinan yang sedang dipertontonkan Viktor Laiskodat serta dekadensi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya.

Untuk itu, saya menawarkan tipe kepemimpinan demokratis dialogis yang hemat penulis relevan diterapkan dalam konteks masyarakat Besipae sekarang ini. Masyarakat Besipae sedang membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mendengarkan segala jeritan dan aspirasi serta mampu menyelesaikan persoalan dengan cara demokratis tanpa ada pihak yang dirugikan.

Kepemimpinan Demokratis

Berkaca pada peristiwa di Besipae, gaya kepemimpinan Laiskodat perlu ditransformasi ke gaya kepemimpinan demokratis dan dialogis dengan standar moral spiritual. Esensi dan substansi dari kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Rakyat menjadi subyek utama dalam kepemimpinan (Veithzal: 2009). Dalam tipe ini, pemimpin mengutamakan tercapainya tujuan organisasi dengan tidak merugikan dan mengabaikan kepentingan orang lain, berpikir dan bekerja yang benar sesuai dengan peraturan yang berlaku, sinergi dengan lingkungan serta bertanggungjawab.

Sudah seharusnya, Laiskodat mengintrospeksi diri untuk menyadari bagaimana ia harus membangun NTT ke arah yang lebih maju. Seorang pemimpin demokratis harus berani meninggalkan egosentrisme dalam diri demi kesejahteraan masyarakat. Ia mengedepankan rakyat, sesuai dengan slogan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Setiap ide dan keputusan berasal dari usulan rakyat dan dilakukan bersama-sama oleh rakyat dan bertujuan untuk kepentingan rakyat itu sendiri.

Laiskodat mesti mengedepankan pengakuan dan penerimaan bahwa setiap individu adalah makhluk yang memiliki harkat dan martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama. Dalam konteks masyarakat Besipae, Laiskodat mesti menyadari sungguh-sungguh perjuangan dan penderitaan yang dialami masyarakat atas tanah yang merupakan ibu yang memberikan kehidupan kepada mereka.

Jangan biarkan rakyat menderita dan hidup dalam ketidakpastian. Pemimpin harus berani membangun dialog dengan masyarakat agar segala aspirasi dapat tersalurkan dengan baik dan pemimpin bisa mengimplementasikan segala aspirasi yang ada.

Ingat, Indonesia adalah negara demokrasi. Oleh karena itu, prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” kiranya menjadi pedoman dalam mengambil segala keputusan. Salam demokrasi!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya