Masih Mungkinkah Kita Optimis Di Tengah Kuasa Oligarki?
Demokrasi Indonesia pasca reformasi sedang dibajak oleh oligarki. Terkait ini bisa dibaca dari temuan Vedi Hadiz (2005) dan Jeffrey Winters (2011) yang mengupas bagaimana demokrasi pasca reformasi di Indonesia justru menempatkan posisi oligarki sebagai salah satu aktor paling menentukan dan turut mempengaruhi agenda kepentingan pembangunan ekonomi-politik.
Tidak berhenti di situ, Vedi Hadiz (2005) dalam bukunya Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, menunjukan bagaimana di tengah kekuatan oligarki yang semakin dominan, justru posisi civil society malah terdepak dari arena panggung politik dan domain pembangunan negara.
Dalam konteks tenggelamnya kekuatan civil society sebagai kekuatan alternatif tandingan terhadap oligarki, tidak pelak demokrasi semakin dikapitalisasi dalam rangka mengamankan posisi kaum oligark. Kita bisa baca peristiwa ini dalam berbagai konteks dinamika politik pasca reformasi. Misalnya, pencaplokan lahan petani untuk kepentingan korporasi, pembungkaman aktivis, korupsi yang kian mengakar serta upaya pelemahan KPK, dan perluasan militer dalam situasi darurat, menunjukan suatu fakta ancaman regresi demokrasi.
Semua ini tidak terjadi hanya karena kurangnya partisipasi rakyat, melainkan menurut hemat saya dikarenakan kehadiran oligarki di satu sisi yang semakin menguat yang turut menggembosi dan mengamputasi partisipasi rakyat. Sementara pada sisi yang lain, negara pasca reformasi yang justru semakin terkesan menyediakan karpet merah bagi kepentingan oligarki yang tujuannya memupuk keuntungan material bagi kepentingan mereka sendiri. Singkatnya yang saya mau katakan adalah negara seolah menjadi "konco" dari oligarki.
Saya berpendapat bahwa dua hal ini turut serta menggemukkan postur oligarki di Indonesia, sementara mengkrempengkan kepentingan rakyat sebagai subjek dominan dari negara. Persis di sinilah saya tidak melihat bahwa negara hadir menyediakan layanan gratis bagi kepentingan rakyat. Yang ada, setiap layanan dan fasilitas dari negara justru dikapitalisasi di tengah kesulitan ekonomi dari rakyat. Bahkan lebih parahnya lagi, akses pemenuhan terhadap fasilitas dan layanan dasar dari negara (pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur) justru tidak sepenuhnya diakses oleh rakyat.
Di sinilah saya mendaratkan pertanyaan, masihkah kita optimis di tengah kuasa oligarki yang semakin mendominasi pusaran pembangunan negara hari ini? Apa kira-kira tawaran gerakkan alternatif yang kita tempuh dalam rangka meredam kuasa oligarki dan mengembalikan demokrasi persis pada nilai seutuhnya yakni melayani kepentingan rakyat? Tesis saya menjelaskan bahwa, selama kuasa oligarki semakin mendominasi arena pembangunan negara, selama itu pula rakyat tetap harus membentuk sikap optimis untuk mengalahkan oligarki.
Sebab, menyerah dan membentuk sikap pesimis dalam diri berarti semakin mendorong kuasa oligarki semakin memantapkan posisi politik dan ekonomi dalam negara. Kita mesti sadar bahwa sebagaimana Adolf Hitler berujar, beruntunglah penguasa bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Sebab, segala kekerasan, intimidasi, aneksasi dan berbagai bentuk represi penguasa dianggap benar di tengah ambruknya pikiran kritis rakyat. Karena di sana tidak ada pikiran alternatif yang mampu menghegemoni penguasa bila kekerasan demi kekerasan selalu terjadi pada rakyat.
Memutus Rantai Oligarki
Sudah menjadi jelas bahwa demokrasi di Indonesia pasca reformasi telah dicengkram oligarki, baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Kecenderungannya sama persis, yakni memupuk dan mempertahankan material sembari mengamputasi perlawanan rakyat melalui berbagai sarana dan upaya pelemahan. Persis pada situasi inilah kita temukan ketidaknormalan yang dinormalkan dengan terus mensegregasi pikiran kritis yang muncul dipermukaan.
Lantas, apakah situasi seperti ini membuat kita masih tetap optimis terhadap suatu negara di mana oligarki dan negara menjadi konco yang tanpa kita sadari menggebuk rakyat? Saya berpendapat bahwa situasi ini tidak boleh disikapi secara pesimis sekaligus apatis. Rakyat menurut saya harus membentuk satu solidaritas perlawanan sembari terus memperkuat jaringan kelompok arus bawah yang tujuannya memutus rantai oligarki.
Karena itu yang perlu dilakukan ialah tetap berdiri kokoh dan memanfaatkan setiap peluang politik yang ada serta mencari celah politik baru dalam rangka memperkuat basis arus bawah berhadapan dengan kuasa oligarki. Di tingkat lokal hal ini belum banyak dilakukan. Kita bisa baca dari berbagai fakta bagaimana pencaplokan lahan petani oleh korporasi, menguatnya praktik korupsi dan kekerasan kerap kali terjadi. Di sinilah kita letakkan titik perlawanan untuk menghancurkan tatanan oligarki.
Singkatnya yang saya mau katakan, selama kuasa oligarki terus tumbuh subur, selama itu pula sikap optimis untuk menghancurkannya selalu ada. Jika sikap apatis yang kita ke depankan bukan tidak mungkin segala penindasan akan terus menghantui setiap agenda pembangunan. Pun sebaliknya, optimis terhadap hancurnya oligarki akan memantik rasa solidaritas kelompok arus bawah untuk merangkul melakukan perlawanan. Negara yang latah di hadapan oligarki, adalah negara yang totaliter, dalam arti menciptakan suatu kekerasan bagi rakyatnya sendiri.
Artikel Lainnya
-
221125/04/2020
-
119309/02/2020
-
107522/08/2021
-
Pilkada, Partai Kartel dan Menguatnya Oligarki
202425/01/2020 -
Pembukaan Pendaftaran Kelas Menulis #Batch14
129621/09/2021 -
Kerja Tambahan Sebagai Upaya Pemenuhan Kebutuhan Hidup
39225/11/2022